Mayoritas
Diam
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia (AIPI)
|
KOMPAS, 17 Januari
2017
Adanya
mayoritas diam (silent majority)
telah cukup lama menjadi perhatian sekaligus sasaran kritik kalangan aktivis
dan Indonesianis. Fenomena ini terkait dengan kenyataan, diamnya warga
mayoritas menimbulkan banyak dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dalam
konteks itu, pernyataan Megawati Soekarnoputri tentang silent majority dalam peringatan hari lahir ke-44 Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Selasa (10/1) pekan lalu, sangat
tepat waktu dan perlu. Megawati dalam pidatonya yang oratoris mengimbau,
sudah saatnya silent majority
bersuara dan menggalang kekuatan untuk mempertahankan NKRI, Pancasila, UUD
1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Megawati
melihat, NKRI dalam kesulitan. Salah satu kesulitan itu adalah memelihara
keutuhan eksistensi negara-bangsa (nation-state)
Indonesia. Dengan mengisyaratkan bahaya diamnya mayoritas, Megawati percaya,
”mayoritas rakyat Indonesia mencintai NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika”.
Di
sini, bagi rakyat mayoritas, mencintai saja tak cukup. Cinta rakyat mayoritas
kepada NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika mesti
diekspresikan secara terbuka, khususnya ketika empat prinsip dasar
negara-bangsa Indonesia ini mendapat tantangan serius yang bisa mengancam
persatuan, kesatuan, dan keutuhan Indonesia.
Siapa
sebenarnya yang dimaksud Megawati dengan rakyat mayoritas yang diam itu? Dari
sudut politik, tampaknya yang dimaksudkan adalah mayoritas absolut dari
totalitas warga yang memiliki kecintaan dan komitmen sepenuhnya kepada
negara-bangsa Indonesia dengan empat prinsip dasar UUD 1945, Pancasila, NKRI,
dan Bhinneka Tunggal Ika.
Di
luar kumpulan mayoritas ini adalah minoritas yang menolak atau skeptis
terhadap negara-bangsa Indonesia lengkap dengan keempat prinsip dasarnya.
Mereka punya orientasi ideologi transnasional dengan tujuan menciptakan
negara dalam bentuk lain, misal khilafah atau daulah Islamiyah.
Sebagai
gejala sosiologis-politis sekaligus religio-politis, kelompok minoritas ini
cenderung agresif dan militan. Berkat demokrasi, mereka dapat secara bebas
menggunakan ruang publik untuk menegaskan diri, lengkap dengan tujuan yang
ingin mereka capai yang tidak sejalan dengan keempat prinsip dasar
negara-bangsa Indonesia.
Berhadapan
dengan fenomena ini, warga mayoritas sebaliknya lebih banyak bersikap pasif.
Meski tidak setuju dengan ekspresi dan agenda minoritas yang kian menguasai
panggung, mereka bersikap berdiam diri.
Sikap
membisu mayoritas memunculkan banyak dampak negatif. Kebisuan mayoritas,
misalnya, terlihat dalam hal korupsi yang mengakibatkan penyakit ini tetap
menjadi salah satu masalah besar dan serius. Selama berpuluh tahun, rakyat
umumnya hanya diam melihat dan mengalami korupsi yang merajalela sejak
tingkat paling bawah sampai tingkat atas birokrasi.
Alih-alih
bersuara lantang menentang, mayoritas warga memilih diam dan permisif atau
merestui (condoning) serta menerima
korupsi dalam berbagai bentuknya. Hasilnya, korupsi seolah menjadi budaya
yang sangat sulit diberantas. Dampak negatif lain juga terlihat dalam
kehidupan keagamaan. Banyak bukti historis dan empiris yang memperlihatkan,
kaum Muslim yang merupakan penduduk mayoritas Indonesia adalah umat beriman
yang inklusif akomodatif.
Namun,
berbagai perkembangan hampir dua dasawarsa ini menunjukkan meningkatnya sikap
tidak toleran di sebagian warga atas nama agama. Intoleransi itu meruyak,
baik intra-agama maupun antar-agama.
Menghadapi
gejala tidak menguntungkan ini, mayoritas umat beragama—khususnya pemimpin
arus utama—lebih banyak berdiam diri. Jika ada yang bersuara, nadanya tidak
cukup tegas dan lantang sebagai peringatan (warning) untuk mencegah keadaan lebih buruk. Problemnya adalah
mayoritas warga yang diam menghadapi masalah dan kendala yang membuat mereka
tidak bisa menembus kebisuan. Akibatnya, mereka sering menjadi buih,
terombang-ambing terseret arus.
Banyak
faktor yang membuat mayoritas lebih banyak berdiam diri. Umumnya rakyat
mayoritas lebih sibuk dengan urusan dan kegiatan sehari-hari yang bukan tidak
sering bersifat eksistensial bagi masing-masing.
Lagi
pula, kebanyakan rakyat mayoritas tidak berorientasi politis dan juga bukan
aktivis politis-ideologis transnasional. Boleh jadi juga mereka tidak terlalu
paham tentang ideologi dan praksis ideologi religio-politik transnasional.
Jika cukup paham, dalam diam mereka lebih nyaman dengan realitas politik
kebangsaan yang bersifat indigenous.
Sementara
di lingkungan elite kepemimpinan politik mayoritas, sikap diam lebih banyak
didasarkan pertimbangan pragmatis tentang dukungan konstituen. Bukan tidak
jarang di antara mereka malah berpihak dan merestui pemahaman serta praksis
religio-politik yang tidak sesuai dengan keempat prinsip dasar negara-bangsa
Indonesia.
Kecenderungan
sama juga ada di lingkungan kepemimpinan sosial, budaya, dan agama.
Kepemimpinan agama, khususnya di lingkungan ormas arus utama yang besar,
sering lebih sibuk dengan rutinitas pengelolaan organisasi dan berbagai
lembaganya.
Kepemimpinan
ormas bersifat kolektif dan kolegial juga sering membuat tidak mudah bagi
pemimpin puncak memberikan respons memadai dan tepat terhadap dinamika dan
eskalasi sosial, politik, dan agama yang dimunculkan minoritas militan
intoleran.
Dalam
keadaan seperti itu, organisasi dan kelompok masyarakat madani (civil society) menjadi sangat penting.
Indonesia kaya dengan organisasi, kelompok, dan lembaga civil society (LSM) yang bergerak dalam advokasi demokrasi,
jender, HAM, perdamaian, dan toleransi. LSM masyarakat sipil sepatutnya kian
memperkuat perannya sebagai salah satu lokomotif untuk menarik
gerbong-gerbong mayoritas dari kebisuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar