Tantangan
Diplomasi Ekonomi
Makmur Keliat ; Pengajar Hubungan Internasional FISIP
Universitas Indonesia; Analis Senior pada Kenta Institute Jakarta
|
KOMPAS, 17 Januari
2017
Identifikasi
yang dilakukan sejauh ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat di bawah
kepemimpinan Donald Trump kemungkinan besar akan memperkuat ketidakpastian
perekonomian dunia, termasuk perekonomian negara berkembang seperti
Indonesia.
Setidaknya
penilaian tentang ketidakpastian itu terpolakan melalui dua arus besar. Arus
besar pertama, AS diyakini akan lebih memprioritaskan pendekatan unilateral
(sepihak) dalam merancang kesepakatan-kesepakatan terhadap pihak luar. Kritik
dan pernyataan Trump dalam masa kampanye menunjukkan itikad kebijakan yang
sangat jelas untuk menganut pendekatan sepihak itu.
Dalam
berbagai kesempatan, Trump telah menyatakan bahwa AS merupakan pihak yang
dirugikan dalam berbagai kesepakatan regional dan internasional, termasuk
pandangan negatifnya terhadap kerja sama regional Kemitraan Trans-Pasifik
(Trans-Pacific Partnership/TPP). Walau telah ditandatangani Februari tahun
lalu dan kini sebenarnya tinggalmenunggu proses politik ratifikasi dari 12
negara anggotanya (termasuk AS), Trump menegaskan bahwa salah satu agenda
kebijakannya ketika memimpin AS adalah menghilangkan TPP.
Ini
tak berarti bahwa AS secara total akan meninggalkan komitmen pendekatan
banyak pihak (multilateral) yang diimplementasikan melalui pembentukan
institusi dan pembangunan norma-norma bersama, baik di tataran regional
maupun internasional. Hal ini hanya untuk menyatakan bahwa AS akan lebih
memprioritaskan instrumen-instrumen realpolitik, seperti ancaman sanksi dan
tindakan proteksionis lain secara sepihak sebelum berusaha mewujudkan
kepentingan ekonominya melalui tataran negosiasi serta kesepakatan regional
dan internasional.
Konsekuensi
dari pendekatan sepihak sepertiini sangat nyata. Interaksi melalui mekanisme
pertemuan dua pihak (bilateral) menjadi sangat strategis untuk menyembunyikan
tekanan-tekanan realpolitik itu. AS diperkirakan akan memiliki keleluasaan
dan ruang manuver kebijakan yang jauh lebih luas untuk menerapkan pendekatan
sepihak itu melalui mekanisme bilateral dibandingkan dengan, misalnya,
melalui mekanisme multilateral.
Arus
besar kedua melalui lalu lintas modal (capital
flow). Janji kampanye Trump untuk memotong pajak, meningkatkan
pembangunan infrastruktur, dan memacu industri pertahanan diperkirakan akan
menciptakan pertumbuhan ekonomi bagi negeri itu. Platform kebijakan melalui
insentif fiskal seperti ini sekaligus diperkirakan akan mendorong investor
untuk menjadikan AS sebagai wilayah investasi baru yang menjanjikan.
Dorongan
arus masuk modal yang semakin menguat ini membawa dua konsekuensi khas bagi
negara berkembang.
Pertama,
nilai tukar dollar AS akan semakin menguat. Bagi negara berkembang yang
menghadapi masalah ketidakseimbangandalam neraca perdagangannya, situasi ini
akan membuat beban biaya impor mereka semakin tinggi dalam mata uang
nasionalnya.
Kedua,
kebijakan guna menarik arus modal internasional untuk kebutuhan pembangunan
dan akselerasi industri akan menjadi lebih sulit dibandingkan dengan
sebelumnya. Kesulitan ini bahkan semakin membesar karena kebijakan
peningkatan tingkat bunga dari bank sentral AS. Dirancang untuk meredam
kemungkinan dampak inflasi sebagai akibat platform kebijakan ekonomi Trump,
peningkatan tingkat bunga itu tentu saja akan menciptakan efek peningkatan
tingkat bunga di tempat lain, termasuk di negara berkembang. Para pelaku
bisnis akan menanggung beban biaya modal (cost
of capital) yang lebih tinggi ketika melakukan investasi.
AS dalam peta ekonomi
Indonesia
Apa
yang harus dilakukan? Tanggapan kebijakan tentu saja pertama-tama harus
didasarkan pada gambaran makro tentang peran penting AS dalam peta ekonomi
Indonesia. Data Kementerian Perdagangan, misalnya, menyebutkan, hubungan
perdagangan Indonesia dengan AS untuk komoditas nonmigas terus meningkat. Di
sisi ekspor, pasar dalam negeri AS pada 2015 menyerap sekitar 15,3 miliar
dollar AS komoditas nonmigas Indonesia. Ini berarti AS telah menggantikan
posisi Tiongkok sebagai negara tujuan ekspor terbesar untuk nonmigas.
Tiongkok
kini menempati posisi kedua, senilai 13,3 miliar dollar AS diikuti Jepang
(13,1 miliar dollar AS), India (11,6 miliar dollar AS), Singapura (8,7 miliar
dollar AS), Malaysia (6,2 miliar dollar AS), Korea Selatan (5,4 miliar dollar
AS), dan Thailand (4,6 miliar dollar AS). Pangsa pasar ekspor Indonesia ke AS
diperkirakan 11,6 persen dari total nilai ekspor, sedangkan ke Tiongkok 10,1
persen.
Di
sisi impor, angkanya sedikit berbeda. AS masih tertinggal dibandingkan dengan
Tiongkok. Negara terbesar asal impor nonmigas Indonesia masih Tiongkok. Persentase
Tiongkok dalam memenuhi kebutuhan impor Indonesia tercatat 24,7 persen pada
2015. AS beradapadaposisi kelima dengan persentase 6,4 persen, disusul Jepang
(11,2 persen), Singapura (7,6 persen), dan Thailand (6,8 persen).
Sebagai
negara asal impor terbesar, nilai impor Tiongkok ke Indonesia pada 2015
tercatat 29,2 miliar dollar AS, sedikit menurun dari tahun 2014 sebesar 30,5
miliar dollar AS. Dibandingkan dengan Tiongkok, nilai impor dari AS
menunjukkan tren menurun sejak 2011. Dari 10,7 miliar dollar ASpada 2011
menjadi 7,5 miliardollar AS pada 2015.
Di
sisi investasi asing, AS menempati posisi keenam terbesar dalam realisasi
investasi penanaman modal asing (PMA) di Indonesia. Berdasarkan data BPS
tahun 2016, nilai total realisasi investasi AS di Indonesia tercatat 893 juta
dollar AS.Sebagai pembanding, investasi dari Tiongkok di posisi pertama
dengan nilai 5,9 miliar dollar AS. Meski angka investasi dari AS tidak
sebesar Tiongkok,layak dicatat bahwa AS adalah sumber arus modal keluar
(capital outflow) terbesar di dunia. Data UNCTAD tahun 2015 menyebutkan, pada
2014 total nilai capital outlow yang berasal dari AS sebesar 336,9 miliar
dollar AS. AS hingga kini masih merupakan salah satu poros utama dalam
pergerakan modal global.
Tantangan diplomasi
ekonomi
Dari
gambaran makro di atas, diplomasi ekonomi Indonesia tengah menghadapi
tantangan-tantangan besar yang akan memaksanya untuk melakukan perubahan.
Tantangan pertama terkait dengan keyakinan terhadap pembangunan norma bersama
(norms building activities). Gaya pembangunan norma bersama yang berasal dari
kalangan institusionalis-liberal kemungkinan besar tidak lagi dapat
diharapkan terlalu banyak dalam meningkatkan ekspor. Tidak hanya ke pasar
nasional AS, tetapi juga ke pasar internasional secara umum.
Kecuali
konsesi-konsesi tertentu diberikan, semangat realpolitik dan pendekatan
sepihak Trump akan memaksa banyak negara untuk juga berperilaku transaksional
serta meninggalkan semangat dan norma-norma kolektif. Intinya adalah mengapa
harus mengikuti aturan main ketika pihak lain tidak melakukannya.
Demikian
juga halnya di sisi investasi, tidak terlalu tinggi harapan untuk tetap
menarik arus modal internasional yang lebih besar. Kecuali perbaikan atmosfer
investasi dilanjutkan terus melalui deregulasi dan debirokratisasi, justru
fenomena arus balik modal ke AS akan terus semakin menguat.
Tantangan
kedua terkait dengan ketidakpastian masa depan TPP. Penolakan Trump terhadap
TPP justru dapat memberikan ruang dan momen emas untuk mempercepat kerangka
Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Kawasan (RCEP). Namun, seperti yang
disebutkan, semangat realpolitik haruslah juga mewarnai realisasi lebih
segera dari RCEP. Ia dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengutamakan
leverage dari ASEAN guna menghadapi semangat realpolitik, sepihak, dan
proteksionisme AS.
Realisasi
RCEP, misalnya, dapat menyampaikan sinyal yang kuat bagi Trump bahwa
Indonesia dan ASEAN tidak sendirian berhadapan dengan AS, tetapi juga bersama
dengan negara besar lainnya, seperti Tiongkok, sehingga menjadi suatu
kekuatan geo-ekonomi tersendiri.
Tantangan
ketiga terkait dengan kemungkinan terwujudnya perjanjian perdagangan bebas
(FTA) bilateral dengan AS. Indonesia hingga kini memang belum memiliki
kerangka FTA bilateral dengan AS, tetapi Indonesia memiliki kerangka kerja
sama Kemitraan Komprehensif AS-Indonesia (US-Indonesia Comprehensive
Partnership) yang ditandatangani pada 2010.
Kerangka
kemitraan ini tentu saja dapat dijadikan ruang dan titik masuk bagi
pemerintahan Trump untuk menggunakaninstrumen realpolitiknyasehingga
menciptakan kerangka FTA yang menguntungkan AS. Kecuali terdapat konsesi-konsesi
politik dan ekonomi yang jelas yang dapat dipetik Indonesia, perlu
kehati-hatian ekstra untuk mengembangkan FTA dengan AS di bawah Trump.
Ungkapan
lama tentang interaksi antarnegara di tataran internasional barangkali perlu
diingatkan kembali. ”Biasanya pihaklemahsenang mengutip aturan-aturan.
Sementara pihak kuat biasanya cenderung untuk menekankan adanya
pengecualian-pengecualian (exceptions)
dalam setiap aturan”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar