Jimat
Indra Tranggono ; Rohaniwan;
Lulusan Program Doktoral
Universitas Pontificio Istituto
di SpiritualitÀ Teresianum, Roma;
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi Widya Sasana, Malang
|
KOMPAS, 04 Januari
2017
Dunia
politik negeri ini pada era demokrasi liberalmirip jagat persilatan dalam
dunia komik Indonesiatahun 1970-an. Setiap pendekar berkontestasi menggunakan
jimat atau ajian. Jika para pendekar dalam komik menggunakan jimat klabang
sewu, rawa rontek, lembu sekilan, belut putih, para pendekar politik
menggunakan jimat bernama primordialisme.
Primordialisme
merupakan sekumpulan pemahaman dan keyakinan atas nilai-nilai kesukuan,
agama, dan ras yang hidup serta mengakar dalam jiwa individu atau kelompok.
Banyak kelompok dalam masyarakat di negeri inimenjadikan primordialisme
sebagai jimatyang dijunjung tinggi dan dirawat.
Sama
ampuhnya dengan jimat-jimat mistik tradisional dalam melumpuhkan seteru,
jimat primordialisme pun memiliki adidaya berupa sihir politik dan sosial.
Sihir-sihir itu mampu melumpuhkan rasionalitas masyarakat. Tidak aneh jika
kemudian kita menyaksikan begitu mudah orang digiring dan patuh pada kemauan
sang pengguna jimat (yang ditopang para juragan politik).
Ditelikung primordialisme
Jimat
primordialisme diberdayakan untuk memunculkan dan mengapitalisasi sentimen
agama, kesukuan, dan ras demi kepentingan politik. Tak ayal, kecemasan pun
menyeruak ketika sentimen primordial diproyeksikan secara sosial.
Lalu,
muncullah ketegangan di dalam relasi sosial, yang—antara lain—tecermin dalam
ujaran kebencian melalui media sosial alias medsos. Ironisnya, tidak sedikit
orang yang terlibat dalam ”perseteruan virtual” tersebut adalah mereka yang
masuk dalam kelas menengah secara intelektual dan ekonomi.
Mereka
merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai civil society atau kerap juga
disebut masyarakat madani. Kelompok masyarakat ini semestinya kenyang
literasi, terbiasa berpikir jernih, bisa mengendalikan diri danmengutamakan
rasio daripada emosi. Namun, kenyataannya tidaklah demikian.
Hal
itu menunjukkan betapa primordialisme tetap dijadikan jimat bagi kelompok
sosial apa pun. Jimat itu akan bicara dan beraktualisasi ketika sentimen
primordial gagal ditekan dan disaring untuk mendapatkan kejernihan berpikir.
Kelas
terdidik, yang sejatinya telah melakukan mobilitas vertikal pun, tidak
sedikit yang masih bisa ditelikung oleh primordialisme sempit. Pikiran dan
perilaku mereka tak jauh berbeda dengan kelompok sosial yang masih kukuh
bertahan dalam cangkang tebal primordial, yakni mereka yang melihat, mengukur
dan menilai budaya atau sistem kepercayaan kelompok lain dengan kacamata dan
ukuran budaya/keyakinan sendiri demi memaksakan kebenarannya.
Betapa
krusialnya mempertentangkan nilai-nilai antar-keyakinan atau sistem kepercayaan.
Keyakinan dan keimanan yang semestinya berada di ranah privat lalu ditarik,
dilucuti, dan dinilai di ruang publik.
Bukankah
guru-guru agama dan para orangtua kita berulang kali mengajarkan tentang
pentingnya menghargai keyakinan orang lain? Bukankah setiap orang punya hak
dan kedaulatan diri untuk menentukan keimanan dan jalan keselamatannya
sendiri? Bukankah Tuhan sendiri tidak pernah memaksa hambaNya untuk memeluk
keyakinan tertentu dan menolak keyakinan yang lain? Namun, pada kenyataannya,
manusia sering merasa lebih berkuasa daripada Tuhan.
Faktor
penyebab maraknya ketegangan primordial antarkelompok sosial sangat mungkin
dipicu oleh beberapa hal. Pertama, faktor primordialisme di mana rasa tidak
suka kepada kelompok lain yang berbeda sering menjadi akibat ikutan penanaman
fanatisme sempit.
Kedua,
persaingan kaum elite politik dalam perebutan kekuasaan di mana perbedaan
berbasis suku, agama, ras, dan antar-golongan alias SARA dikapitalisasi
secara optimal dan berdampak padaemosi publik.
Ketiga,
resonansi ”konflik peradaban” global seperti disinyalir Samuel Huntington.
Keempat,
persaingan secara terselubung antarkelompok sosial yang menggunakan keyakinan
agama, sistem kepercayaan dan kesukuan sebagai identitas sekaligus ”amunisi”
nilai yang menggerakkan.
Kelima,
kesenjangan sosial- ekonomi yang dipersembahkan oleh ketakadilan secara
sistemik.
Keenam,
ketakmampuan masyarakat dalam mengelola waktu luang untuk melahirkan
kreativitas bermakna sehingga mereka pun terseret dalam arus perseteruan
primordial yang sangat mungkin tak dipahami. Orang- orang Yogya menamakan
mereka ”kelompok sela” (banyak waktu luang, untuk menganggur).
Kebo Ijo
Tidak
ada salahnya siapa pun menjadikan primordialisme sebagai jimat (nilai yang
dijunjung tinggi) karena primordialisme merupakan kenyataan sejarah dan
budaya yang tidak dapat diingkari/dihapus. Namun, jimat tersebut selayaknya
dirawat dan disimpan di ruang privat, bukan malah dipamerkan dan dipakai
untuk mengancam layaknya tokoh Kebo Ijo yang memamerkan keris buatan Empu
Gandring dalam episode sejarah Ken Arok-Tunggul Ametung, Kerajaan Singasari
(tahun 1222 Masehi). Akhirnya Kebo Ijo sendiri yang tertikam keris itu.
Begitu
pula dengan elite politik-kekuasaan di negeri ini yang kurang elok jika tega
mengobarkan sentimen primordial demi agenda politiknya. Kita percaya bahwa
pecahnya beberapa negara yang disebabkan kobaran api primordialisme sudah
menjadi pelajaran yang diserap para elite politik-kekuasaan.
Kita
pun yakin, mereka tak akan menciptakan neraka di negaranya sendiri dengan
namak-ke (menggunakan) jimat primordialisme. Terlalu besar ongkos yang harus
dibayar. Selayaknya mereka justru mengaktualisasi jimat- jimat lain yang
memberi kedamaian, seperti pluralisme/ multikulturalisme, nasionalisme,
komunalisme (keguyuban, gotong royong) demi mengimbangi jimat adidaya dan
adikuasa bernama liberalisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar