Inpres
Percepatan yang Belum Cepat
Budhi Wibowo ; Ketua
Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia
(AP5I)
|
KOMPAS, 04 Januari
2017
Para
pelaku industri perikanan nasional merasa sangat senang dengan diterbitkannya
Inpres No 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan
Nasional pada 22 Agustus 2016. Inpres bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, baik nelayan, pembudidaya, pengolah maupun pemasar hasil
perikanan, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dan meningkatkan devisa
negara.
Inpres
ini memerintahkan 25 instansi pemerintah, di antaranya Menko Kemaritiman,
Menko Perekonomian, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri
Perindustrian, agar melakukan langkah nyata percepatan pembangunan industri
perikanan nasional.
Kata
percepatan pada judul inpres itu menunjukkan bahwa Presiden Jokowi
menyadariada hal yang tak beres dalam industri perikanan nasional sehingga
perlu dilakukan upaya khusus perbaikan dan percepatan industri perikanan
nasional. Sangat disayangkan, setelah sekitar empat bulan inpres diterbitkan,
sampai saat ini belum terlihat langkah nyata pelaksanaan inpres. Berbagai
instansi telah mengadakan berbagai rapat tentang pelaksanaan inpres,
terapirapat-rapat itu masih berkutat pada sinkronisasi data dan pembuatan
peta jalan (road map). Belum terlihat adanya rencana aksi (action plan) nyata untuk melakukan
percepatan pembangunan industri perikanan nasional.
Kemungkinan,
salah satu yang menjadi penyebab keluarnya inpres tersebut adalah terjadinya
penurunan yang tajam ekspor produk perikanan Indonesia. Dari tahun 2014 ke
2015, turun lebih dari 15 persen, dari 4,6 miliar dollar AS(2014)menjadi
3,9miliar dollar AS (2015).
Tahun
2016 diperkirakan ekspor produk perikanan Indonesia masih di sekitar 4 dollar
AS, jauh tertinggal dari Vietnam yang pada 2015 ekspornya mencapai 6,8 dollar
AS dan tahun 2016 diperkirakan naik menjadi 7,1 miliar dollar AS, hampir dua
kali lipat ekspor perikanan Indonesia. Sangat ironis, sebagai negara maritim
dengan potensi yang jauh lebih besar dari Vietnam, ekspor produk perikanan
Indonesia jauh tertinggaldari Vietnam.
Defisit bahan baku
Permasalahan
utama industriperikanan nasional adalah kekurangan bahan baku yang
menyebabkan utilitas industriperikanan nasional menjadi rendah. Data yang
disampaikan berbagai asosiasi pengolahan perikanan menunjukkan, utilitas
industri perikanan nasional hanya di kisaran 50 persen. Bahkan di daerah
tertentu seperti di Bitung utilitasnya jauh di bawah 50 persen. Langkah awal
yang harus dilakukan untuk percepatan pembangunan industri perikanan nasional
adalah melakukan upaya nyatapeningkatan bahan baku, baik dari sektor
perikanan tangkap maupun budidaya.
Dalam
upaya peningkatan sektor perikanan tangkap, perlu segera dilakukan
penyederhanaan perizinan bagi kapal nelayan yang sangat rumit dan melibatkan
banyak instansi. Sebagai contoh, diperlukan setidaknya 17 surat izin yang
diterbitkan oleh tiga instansi untuk kapal nelayan yang berukuran di atas30
gros ton (GT).Selain penyederhanaan perizinan,yang perlu segera dilakukan
adalah melakukanevaluasi peraturan perundangan yang menghambat pengembangan
perikanan tangkap, sesuai denganinpres poin kedua butir 1a.
Berbagai
peraturan yang perlu segera dievaluasiantara lain adalah peraturan pelarangan
penggunaan pukat hela dan pukat tarik, peraturan tentang alih muat di laut,
peraturan pembatasan GT kapal pengangkut ikan dan peraturan penangkapan
lobster, kepiting,dan rajungan. Berbagai peraturan itu berpotensi menurunkan
upaya pengembangan perikanan tangkap danmenimbulkan kontroversi yang hebat
terhadap masyarakat perikanan.
Peraturan
tentang pelarangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik yang melarang
penggunaan 17 jenis alat tangkap (akan diberlakukan pada 1 Januari 2017)
telah menimbulkan keresahan yang luar biasa pada nelayan dan industri
pengolahan perikanan. Data yang disajikan Pemerintah Provinsi Jawa Timur,
Jawa Tengah, dan Banten menyatakan, sekitar 38.000 kapal nelayan atau sekitar
760.000 nelayan akan terkena dampak pelarangan penggunaan 17 jenis alat
tangkap tersebut.
Jika
ditambah nelayan dari Provinsi Jawa Barat dan beberapa provinsi lain di luar
Jawa, diperkirakan lebih dari 1 juta nelayan akan terkena dampak peraturan
tersebut. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah bersedia mengevaluasi
kembali aturan pelarangan tersebut agar tidak terjadi gejolak ekonomi dan
sosial di masyarakat.
Selain
dari perikanan tangkap, upaya peningkatan bahan baku juga harus dilakukan
melalui pengembangan perikanan budidaya. Indonesia memiliki garis pantai yang
panjangnya hampir mencapai 100.000 kilometer sehingga seharusnya perikanan
budidayabisa menjadi andalan utama dalam upaya peningkatan bahan baku bagi
industri perikanan. Pemerintah bisa mendukung perikanan budidaya dengan jalan
membangun infrastruktur (jalan, jembatan, listrik, saluran irigasi dan
lain-lain) pada sentra-sentra perikanan budidaya.
Revitalisasi dan insentif
Selain
itu, pemerintah secara bertahap bisamelakukan revitalisasi ratusan ribu
hektar tambak telantar. Khusus untuk budidaya udang yang merupakan komoditas
andalan Indonesia, peningkatan produksi udangbisa dilakukan dengan cara
melakukan intensifikasi dari tambak-tambak tradisional menjadi tambak
intensif yang mempunyai produktivitas tinggi.
Selain
peningkatan suplai bahan baku,hal lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan daya saing industri perikanan antara lain pemberian insentif
berupa pengecualian pengenaan tarif beban puncak listrik. Industri perikanan
memerlukan listrik untuk pembekuan dan penyimpanan ikan terus-menerus selama
24 jam sehari sehingga adanya tarif beban puncak sangatlah memberatkan.
Industri perikanan bahan bakunyabersifat musiman sehingga bahan baku yang
masuk jumlahnya berfluktuasi tidak bisa konstan.
Kondisi
tersebut mengharuskan industri perikanan lebih banyak menggunakan tenaga
kerja borongan/paruh waktu dibandingkan tenaga kerja tetap. Oleh karena itu,
pemerintah perlu memberi kepastian hukum pada pola hubungan kerja musiman
pada industri perikanan.
Pelaksanaan
Inpres No 7/2016melibatkan banyak instansi (lintas instansi) sehingga sangat
diperlukan koordinasi kuat antarinstansi. Presiden perlu mempertegas siapa
yang bertanggung jawab dan memegang komando pelaksanaan inpres tersebut.
Selain itu,sangatlahdiperlukan komunikasi yang intens antara pemerintah,
pelaku usaha, dan akademisi agar pelaksanaan inpres tersebut bisa berjalan
sesuai dengan keinginan presiden dan harapan pelaku industri perikanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar