Pengandaian-pengandaian
Demokrasi
Paulinus Yan Olla MSF ; Rohaniwan;
Lulusan Program Doktoral
Universitas Pontificio Istituto
di SpiritualitÀ Teresianum, Roma;
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat
Teologi Widya Sasana, Malang
|
KOMPAS, 04 Januari
2017
Media
sosial tengah menjadi buah bibir nasional dan internasional. Ada keprihatinan
mendalam baik dari Presiden Joko Widodo maupun pemimpin dunia, seperti Paus
Fransiskus, tentang penyalahgunaan media untuk menyebarkan berita palsu
ataupun kebencian demi tujuan politis (Kompas, 9/12). Jika media menjadi
adalah salah satu batu sendi demokrasi, mengapa ia menjadi masalah?
Demokrasi
sejatinya membutuhkan prasyarat-prasyarat (baca: pengandaian-pengandaian)
dasar. Tanpanya demokrasi akan direduksi menjadi sekadar wadah kosong.
Pluralisme, misalnya, sebenarnya prasyarat dasar dan ekspresi ontologis dari
realitas yang diwadahi demokrasi.
Ia
mengandaikan adanya kesamaan ontologis, yakni kesamaan dasar dalam martabat,
kehormatan, dan hak untuk hidup layak secara damai dengan manusia
lain.Kesamaan ontologis itu tak hanya diterima sebagai fakta pluralitas,
tetapi dihayati sebagai gaya hidup. Ia menjadi perwujudan jati diri bangsa
yangsejak semula sangat plural dan heterogen dalam segala aspek kehidupan
seperti Indonesia.
Kegamangan
menghadapi globalisasi di segala bidang kehidupanmenjadikan sebagian besar
masyarakat dunia mengalami demokrasi sebagai ancaman bagi identitas diri dan
kehidupannya pada masa depan. Sejak tahun 1960-an, para sosiolog sebenarnya
telah mendeteksi bahwa tribunalisme tak mati bersamaan tumbuhnya nasionalisme
dan internasionalisme. Ia tetap hidup ketika dunia mengklaim diri sangat maju
dalam sains dan teknologi.
Globalisasi,
di samping aspek- aspeknya yang positif, telah melahirkan ketakpastian
identitas. Pluralisme dianggap ancaman terhadap identitas primordial, seperti
suku dan agama. Nilai-nilai dasar suku dan keyakinan keagamaan terguncang.
Tradisi mulia kabur dan moralitas publik terancam dihancurkan. Individu-individu
lalu mengembangkan suatu kesetiaan mendalam hanya pada kelompoknya. Ada
kesetiaan total, misalnya terhadap agamanya sendiri tetapi sangat sedikit
rasa tanggung jawabnya terhadap orang di luar kelompoknya (Gerhard Lenski, The Religious Factor: A
Sociological Study of Religion’s Impacts on Politics, Economics and Family
Life, 1961: 329-330).
Dalam
konteks di atas, demokrasi perlu dibangun, meminjam pemikiran Arnold Joseph
Toynbee (1889-1975), sebagai sebuah proses ”transformasi rohani”. Ia
mengandaikan nilai-nilai etis-religius publik yang mendasarinya. Demokrasi
mengandaikan adanya penerimaan pluralisme sebagai penghayatan hidup,
penerimaan kebebasan mengungkapkan pendapat dengan tetap toleran terhadap
perbedaan, kebebasan berkumpul tanpa menjadikan kumpulan massa senjata
penindasan. Ia mengandaikan pula rasa tanggung jawab bagi keberlangsungan
hidup bersama.
Tanggung
jawab itu ekspresi ”kerinduan berada bersama” sebagai syarat dasar eksistensi
sebuah negara-bangsa (Ernest Renan, 1823-1892).
Absen
Kejadian-kejadian
terakhir yang membingkai peristiwa publik di negeri ini justru mengancam
kerinduan berada bersama dan perasaan senasib sebagai bangsa. Ruang publik
lebih sering didominasi suasana kebencian, saling melukai, dan saling
”meniadakan” antarsesama warga bangsa. Ini mengindikasikan nilai-nilai dasar
yang diandaikan/ menjadi prasyarat demokrasi ternyata masih absen dalam
komunikasi publik.
Bangsa
ini seakan digiring mengotakkan dirimenurut agama, suku, ras dan etnisitas.
Kondisi kehidupan bersama lebih diwarnai penghakiman dengan penggambaran
bahwa ”orang lain adalah neraka” bagi kelompok dan kepentingan sendiri
(JeanPaul Sartre, 1905-1980).
Kegalauan
para pemimpin tentang penyalahgunaan media mengindikasikan parahnya
pelaksanaan demokrasi tidak hanya pada dimensi sosial-politis, tetapi juga
pada basis etis-religius. Paus Fransiskus melihat manipulasi media sebagai
bentuk penyimpangan psikologis koprofilia (kegemaran tak wajar terhadap
kotoran), tetapi juga lebih dalam secara rohani merupakan suatu dosa besar.
Orang
yang menyebarkan informasi bohong dan penuh kebencian seperti ”teroris yang
melemparkan bom” untuk menghancurkan orang lain dan lidahnya seperti ”lidah
iblis” yang penuh kebohongan di Taman Firdaus. Hubungan sosial antarmanusia
dan hubungan rohani dengan yang Ilahi pun terputus (bdk Fransiskus, Homili di
Santa Marta, 4 September 2015).
Demokrasi
mengandaikan pula adanya jaminan dasar atas hak-hak dan kebebasan individu di
hadapan hukum dan lembaga tanpa melihat ras, jender, atau agama. Maka,
penggunaan media, secara khusus media sosial, sebagai alat teror dan
pemaksaan pendapat di ranah publik jelas berlawanan dengan nilai-nilai dasar
demokrasi. Media bisa menjadi aksentuasi istimewa hak berbicara, tetapi hal
itu tidak berarti menafikan pemuliaan prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti
pluralisme dan penerimaan akan adanya perbedaan.
Suatu
bangsa yang menamakan dirinya demokratis hanya dapat bertahan jika memiliki
nilai-nilai bersama untuk dibagikan dan dihidupi baik pada tingkat rohani
maupun etis. Pancasila telah diusung sebagai sumber berkelimpahan nilai-nilai
tersebut. Bahkan, Indonesia sejatinya memiliki sumber tidak terbatas
nilai-nilai itu dari keberagaman agama yang dimilikinya. Ironisnya,
agama-agama yang diharapkan memancarkan energi dan terang kebenaran kini
diselubungi kegelapan malam kebencian, nafsu balas dendam, dan kecurigaan tak
berkesudahan. Demokrasi di negeri ini pun mati suri! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar