Jalan
Berliku Konsolidasi Demokrasi
Teuku Kemal Fasya ; Dosen
Antropologi Universitas Malikussaleh
|
MEDIA INDONESIA,
03 Januari 2017
PEPESAN
kosong bernama konstruksi demokrasi pascareformasi akhirnya disadari banyak
pihak mulai memperlihatkan bentuknya. Pengelolaan dan keterampilan dalam
membedah problem demokrasi secara proseduralisme (perbaikan terus-menerus
sistem kepemiluan, pilkada langsung, penguatan MK, gerakan antikorupsi
melalui KPK, pilpres, dll) tidak mengarah kepada penguatan demokrasi
substansial.
Dalam
konteks itulah menjelang tutup tahun lalu, Media Research Centre (MRC)
bekerja sama dengan Metro TV dan Media Indonesia mengadakan diskusi kelompok
terfokus (FGD) dengan tema Konsolidasi demokrasi di Indonesia di Jakarta.
Dengan menghadirkan para pakar dari pelbagai disiplin ilmu, diskusi itu
mencoba menaksir kualitas demokrasi Indonesia yang telah berjalan 18 tahun
sejak reformasi 1998.
Tema
itu sekaligus ujian atas hipotetis para cendekiawan politik, bahwa sejak terpilihnya
Susilo Bambang Yudhoyono kedua kali sebagai presiden, Indonesia dianggap
sudah mulai memasuki tahapan demokrasi terkonsolidasi (Crouch, 2010; Dhakidae, 2011; Klinken, 2014). Era pemerintahan
kedua akhir SBY menjadi ruang pendalaman demokrasi (deepening democracy). Di era Jokowi Indonesia akan memasuki arena
pemantapan atau penebalan demokrasi (thickening
democracy) dari tahap pendalaman sebelumnya.
Pengalaman
dua tahun di era Jokowi memperlihatkan borok warisan pemerintahan sebelumnya.
Ibarat membuka kotak pandora, apa yang dihipotesiskan akan hadir demokrasi
terkonsolidasi (consolidated democracy),
malah memperlihatkan wajah buruk demokrasi Indonesia. Penguatan sistem dan
hukum tidak serta-merta melahirkan kedewasaan dalam berinteraksi, kepatuhan pada
hukum dan perundang-undangan, dan takzim pada nilai-nilai demokrasi. Upaya
pemerintahan SBY sejak 2008 membuat acara internasional, Bali Democracy Forum
(BDF), lebih menjadi agenda seremonial dan elitis.
Ulasan
perkembangan demokrasi dan proses saling belajar dari negara-negara
Asia-Pasifik yang telah maju demokrasinya, ternyata tidak cukup membekas
untuk konteks nasional. Hal itu telah terlihat ketika Pilpres 2014. Aura
sentimen agama dan primordialisme dikontestasikan dan dikompetensikan secara
terbuka dan memublik (publicly opened). Relasi eksekutif dan legislatif yang
sebelumnya meraung, kali ini juga tak kurang ritualnya. Meskipun pragmatis,
Jokowi berhasil mengompromikan aneka kepentingan itu sehingga keberantakan
hubungan eksekutif-legislatif hanya berlangsung kurang dari setahun.
Sementara
itu, agenda pembangunan nasional dengan reorientasi kiblat ekonomi ke
beberapa negara lain seperti Tiongkok, Rusia, dan Iran, sehingga tidak melulu
hanya berporos kepada Amerika Serikat, sedikit banyak menjadi artikulasi
semangat Nawa Cita agar ekonomi nasional lebih berdikari. Sisi lain yang
menunjukkan konsolidasi demokrasi masih jauh dari harapan ialah hadirnya
masyarakat yang tersegregasi secara sosial-politik berbasis identitas
keagamaan. Isu-isu politik agama muncul di ruang publik dan perbincangan di
media sosial, seolah-olah konstruksi masyarakat Indonesia serbatunggal secara
identitas agama, etnik, budaya, dan sejarah.
Padahal
konsep keindonesiaan kita hadir dari sebuah pergulatan sejarah yang majemuk.
Ideologisasi nasional dan Pancasila saja telah membuat Indonesia bisa
tegak--memakai istilah pemikir poskolonial India, Partha Chatterjee--sebagai
'bangsa dengan perbedaan waktu' (nation
in heteregeneous time), kini mulai digoda untuk ideologi lain.
Sebagai
bangsa yang plural dan multikultural kita memiliki sirkuit kesejarahaan yang
berbeda satu suku dan masyarakat dengan lainnya, tapi memiliki imajinasi
genap untuk menjadi Indonesia bersama di bawah naungan Pancasila dan UUD
1945.
Kelas menengah intoleran
Salah
satu sisi sungsang demokrasi di Indonesia ialah dialektika perkembangan kelas
menengah yang semakin negatif. Dalam kajian Asian Development Bank, kelas
menengah Indonesia telah tumbuh hampir separuh total penduduk sejak reformasi
dan tingkat konsumsi mereka terus meningkat dalam kurun 1999-2009, dari 25%
menjadi 43% (Gerry van Klinken, 2014).
Meskipun
ada beberapa kamuflase statistik dalam melihat kelas menengah Indonesia, yang
paling memprihatinkan karena mereka hanya tumbuh secara ekonomi. Sebagai
kelas menengah ekonomi, mereka mapan dan memiliki sosialitanya, tapi secara
inteligensi mereka tidak kritis dan kreatif. Pada masalah keyakinan mereka
sangat konservatif dan mudah terpancing oleh informasi sektarian dan ide-ide
eksklusif.
Secara
politik mereka bukan komunitas yang bisa menggerakkan agenda-agenda demokrasi
ke kelas bawah dan atas. Jadi, jika ingin melihat kelas menengah Indonesia
lihatlah perilaku publik mereka di perkotaan. Mereka senang dengan hidup
hedonis, makan di mal, berbelanja daring tas-tas bermerek, dan pelesiran ke
luar negeri, tapi secara politik illiterate
karena memang bukan pembaca (termasuk bukan pembaca koran) yang kritis.
Sedekah
keberagaman mereka kurang. Impian mereka menjadi bagian dari kelas elite dan
borjuasi nasional. Absorsi informasi yang mereka terima saat ini ialah
melalui media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Whatsapp yang berisi
pengetahuan yang sifatnya anonim, sinkronis, yaitu tidak mempertimbangkan
konteks waktu dan latar belakang sosial-kemasyarakatan Indonesia, suka dengan
cerita derita umat Islam di dunia, dan berpandangan konservatif terhadap
agama.
Tanpa
kritisisme, mereka tumbuh sebagai kelas menengah malas dan--seperti
diistilahkan Jeremy Menchik--komunitas intoleran yang produktif, yang dengan
mudah men-share info grafis, meme,
dan video intoleran kepada seluruh kolega dan kerabat. Ide-ide kebencian
terhadap tetangga beda agama pun mulai dipraktikkan akibat terpapar pola
komunikasi kompleks media sosial ini. Kelas menengah Indonesia yang minim
pengetahuan demokrasi ini mudah terpesona pada gigantisme aksi massa seperti
yang pernah terjadi beberapa waktu lalu.
Alih-alih
membangun gaya komunikasi sendiri, agenda politik mereka lebih dikendalikan
kelompok radikal. Mereka terpesona oleh ide-ide kesalehan individual dan
kurang antusias kepada ide-ide demokrasi dan kebangsaan. Vigilantisme pun
tidak dianggap membahayakan jika menjadi pilihan protes, sebaliknya dianggap
sikap patriotik kaum beragama.
Inilah
yang diistilahkan Sidney Jones (2015) sebagai sisi gelap demokrasi, yang
menyebabkan demokrasi Indonesia gagal terkonsolidasi. Pekerjaan berat memang
masing dipikul pemerintahan Jokowi-JK untuk menata kembali demokrasi sejak
awal sehingga cita-cita pembangunan dan nasionalisme tidak pecah berantakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar