Setop
Memviralkan Korban Anak-Anak
Reza Indragiri Amriel ; Pengurus
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
03 Januari 2017
HANYA
dalam waktu kurang dari 24 jam setelah kejadian pembunuhan di Pulomas,
Jakarta, berlangsung pula aksi pelanggaran hukum berikutnya. Pelakunya
mungkin mencapai ribuan orang. Lokasinya juga terus meluas dari satu titik ke
titik lain, lintas kota, lintas provinsi. Antara satu kejadian dan kejadian
berikutnya bisa berlangsung dalam hitungan detik. Sangat masif. Barang
buktinya ialah sejumlah foto korban khususnya anak-anak aksi kejahatan
Pulomas yang menyebar dari satu ponsel ke ponsel lain.
Sedih
hati melihat foto anak-anak malang itu. Kian pedih ulu hati menyaksikan
banyaknya anggota masyarakat yang secara keblinger ikut menyebar foto-foto
tersebut. Namun, sedih tidak boleh menjadi akhir dari respons yang harus
dibangun masyarakat. Penyebarluasan foto anak-anak korban kejahatan
sedemikian rupa ialah pelanggaran terhadap Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA). Tercantum dalam UU tersebut, antara lain, identitas
dan wajah korban kanak-kanak wajib ditutup. Ketika identitas anak korban
termasuk wajah anak korban dibuka ke publik, ini merupakan pelanggaran
terhadap UU SPA, yakni Pasal 97 yang berbunyi 'Setiap orang yang melanggar
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah)'.
Berbagai
dugaan pun muncul, dari mana penyebaran foto-foto itu bermula? Apakah ada
orang yang tidak semestinya berada di tempat kejadian perkara, lalu
mencuri-curi kesempatan memotret tubuh para jenazah, kemudian mengirimnya ke
pihak-pihak lain? Lebih parah lagi--semoga tidak--ialah apabila ada
kecerobohan dari otoritas penegakan hukum sehingga foto-foto yang
sesungguhnya diambil semata-mata untuk kepentingan investigasi justru
berpindah dari satu tangan ke tangan lain.
Tangan
yang tidak ada hubungannya dengan pengungkapan kasus. Anggaplah bahwa UU SPPA
belum tersosialisasikan secara memadai ke publik. Akibatnya, banyak kalangan
yang belum mengetahui ihwal pelarangan dimaksud. Namun, persoalan tidak
serta-merta bisa dianggap rampung. Pertanyaan lanjutan yang tak kalah penting
ialah apa gerangan kepentingan terbaik anak yang tengah coba dicapai para
penyebar foto korban kanak-kanak tersebut?
Ini
perkara absolut mengingat UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa dalam segala
situasi, oleh semua pihak, kepentingan terbaik anak harus berada di urutan
tertinggi. Kian relevan karena, sebagaimana isi Inpres Gerakan Nasional
Revolusi Mental yang baru diluncurkan pada pekan pertama Desember 2016,
penciptaan lingkungan ramah anak dan nirkekerasan ialah agenda pembenahan
mentalitas semesta komponen bangsa.
Hasrat hormonal
Bahkan,
apabila 'kepentingan terbaik anak' juga dipandang sebagai term asing dan
masih sulit dipahami, masalah tetap berlanjut. Pada tataran paling awam,
pertanyaannya ialah apa yang dicari, apa yang ingin diraih, apa yang hendak
dipuaskan, ketika seseorang secara sengaja membagi-bagikan foto anak-anak
yang telah menjadi korban kekejian?
Boleh
jadi hanya tiga kemungkinan jawaban; menciptakan ketakutan bahkan kepanikan
massal, menunjukkan 'kehebatan'-nya memperoleh foto-foto eksklusif, atau maaf
kata itulah perilaku bak merancap, yakni memuaskan hasrat hormonal yang
adiksi akan situasi centang-perenang. Barangkali mirip dengan orang-orang
memekik girang dan jejingkrakan tatkala berada di tengah-tengah kerusuhan
massa. Memang, ada 'teori' feel bad-do good.
Artinya,
agar orang terdorong melakukan kebaikan, kepadanya perlu terlebih dahulu
disodorkan stimulus-stimulus yang memantik perasaan negatif. Berdasarkan
'teori' tersebut, dengan kengerian sekaligus kesedihan yang muncul setelah
melihat foto korban kanak-kanak, pemirsa diharapkan akan termotivasi untuk
meningkatkan keamanan lingkungan. Lebih khusus, setelah dibombardir dengan
foto anak-anak tergeletak mengenaskan, masyarakat akan terpacu untuk
melindungi anak-anak secara lebih baik lagi. Harapan akan 'teori' itu
tampaknya jauh panggang dari api.
Yang
justru lebih potensial ialah penumpulan kepekaan pemirsa akan bahaya,
penurunan penghormatan terhadap individu kanak-kanak. Apa pun itu,
menyebarkan foto korban kanak-kanak pantas dijuluki sebagai tindak-tanduk
barbar. Anak-anak, dalam kondisi tak bernyawa sekalipun, tetap insan yang
bermartabat. Martabat mereka harus dipelihara.Begitu pula, atas nama
kemanusiaan, perasaan keluarga dan kerabat anak-anak itu sudah sepatutnya
dijaga.
Tindakan
yang jauh dari tepa selira terhadap korban kanak-kanak, harus dihentikan.
Karena itu, penting utamanya bagi Polri mencari tahu titik awal tersebarnya
foto-foto tersebut. Bahkan seperti yang juga gencar Polri lakukan belakangan
ini, pihak-pihak yang terlibat dalam aksi penyebaran foto korban kanak-kanak
dimaksud, baik melalui media sosial maupun media komunikasi berbasis ponsel
lainnya, patut diperkarakan seserius mungkin. Allahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar