Labirin
Praktik Korupsi
Saldi Isra ; Profesor
Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS, 04 Januari
2017
Ibarat
labirin, korupsi menjadi virus perusak yang terus membelit dan melilit
sekujur tubuh Indonesia. Sekalipun telah disuntikkan berbagai vaksin guna
menghentikan dan sekaligus mengurangi lajunya, hingga pengujung tahun 2016
belum terlihat tanda-tanda praktik korupsi berkurang. Karena itu,
menghentikan laju praktik koruptif akan selalu jadi pekerjaan yang
membutuhkan komitmen dan perjuangan panjang nan melelahkan.
Secara
kuantitatif, sebagaimana dicatat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga
31 Oktober 2016, perkara korupsi menunjukkan kenaikan tajam dibandingkan
2015. Misalnya, penanganan tindak pidana korupsi tahap penyidikan naik dari
57 menjadi 81 kasus dan penuntutan naik dari 62 menjadi 70 kasus (Kompas,
17/12). Apabila ditambah perkara sampai hari terakhir 2016, kenaikannya pasti
semakin memprihatinkan. Cacatan ini akan makin memprihatinkan apabila
ditambahkan dengan data kejaksaan dan kepolisian.
Kenaikan
itu, misalnya, berasal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap salah
seorang deputi Badan Keamanan Laut dan seorang pejabat eselon III Direktorat
Jenderal Pajak (DJP). Dalam batas penalaran yang wajar, sebagai kejahatan
yang tidak mungkin bekerja dengan pelaku tunggal, kedua kejadian itu pasti
melibatkan pelaku lain. Tambahan lain, banyaknya jejaring korupsi yang berada
di sekitar kepala daerah yang terperosok dalam ”pelukan” KPK.
Contoh
paling mutakhir, hanya dalam hitungan jam menuju pergantian tahun, KPK
disibukkan oleh OTT terhadap Sri Hartini, Bupati Klaten, Jawa Tengah, periode
2016-2021. Penangkapan ini terkait jual-beli jabatan dalam pengisian susunan
organisasi dan tata kerja di lingkungan pemerintah daerah. Dari perspektif
yang lebih luas, penangkapan Sri Hartini sekaligus menjadi bukti betapa
perilaku koruptif-primitif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah terus
berlangsung.
Tiga penyebab
Sekalipun
data yang disajikan itu hanya berasal dari catatan KPK, angka itu lebih dari
cukup guna menggambarkan betapa agenda menghentikan praktik korupsi masih
jauh dari berhasil. Padahal, menilik perjalanan waktu, pemberantasan korupsi
telah menjadi agenda prioritas selama hampir dua dekade terakhir. Tak sebatas
prioritas, pemberantasan korupsi pun dilakukan secara luar biasa (extraordinary).
Selama
ini, salah satu penyebab yang sering dikemukakan dalam menjelaskan meruyaknya
perilaku koruptif adalah kelemahan elementer dari materi hukum (legal substance). Sebagaimana acap
kali saya kemukakan, salah satu kelemahan paling dasar adalah banyak aturan
hukum yang tak jelas, memiliki makna ganda (multiinterpretasi), dan memihak
pelaku korupsi. Namun disadari, secermat dan sebaik apa pun membuat UU, sulit
keluar secara paripurna dari kelemahan tersebut.
Karena
itu, meningkatnya perkara korupsi sepanjang 2016 menjadi tak cukup relevan
hanya dijelaskan dari kelemahan materi hukum. Bagaimanapun, dalam bingkai
penegakan hukum, materi hukum salah satu faktor yang dapat memengaruhi
pemberantasan korupsi. Karena itu, di antara penyebab berikut dapat dikatakan
memberikan kontribusi penting sulitnya membendung dan menghentikan laju
korupsi. Tentunya, penyebab dimaksud memberi kontribusi pula meningkatnya
perkara korupsi pada tahun-tahun sebelumnya, termasuk tahun 2016.
Pertama,
perilaku koruptif telah menjadi praktik keseharian sehingga menjadi sulit
membedakan antara perilaku koruptif dan perilaku yang seharusnya. Bahkan acap
kali terdengar ungkapan ”jika korupsi dihentikan, gerak pembangunan pun akan
berhenti secara tiba-tiba”. Bagi mereka yang menerima kebenaran ungkapan ini,
korupsi dipandang semacam pelumas bergeraknya roda pembangunan. Oleh karena
itu, di tengah masyarakat korupsi dianggap sesuatu yang umum, biasa dan tak
dipandang sebagai bentuk kejahatan.
Bilamana
pandangan di atas dikerucutkan menjadi perilaku menyimpang yang menjangkiti
birokrasi, praktik suap di lingkungan birokrat benar-benar memiliki akar
sejarah dalam membiaknya perilaku koruptif. Hasil penelitian Bruce
Glassburner (1978) membuktikan betapa kebijakan pemerintah dan perilaku
aparat menjadi akar meruyaknya praktik korupsi di Indonesia. Boleh jadi,
perilaku koruptif sama sekali belum hilang sekalipun pemberantasan korupsi
jadi agenda sentral hampir dua dekade terakhir. Setidaknya, sejumlah
peristiwa sepanjang 2016 membuktikan betapa mengakarnya perilaku korupsi.
Karena
itu, jangan kaget saat perilaku menyimpang memperdagangkan kuasa dan wewenang
terkuak ke permukaan. Sangat mungkin perilaku itu masih amat mengalir dengan
masif dalam penyelenggaraan negara. Bisa jadi, kejadian yang menimpa deputi
Badan Keamanan Laut dan pejabat eselon III DJP serta sejumlah OTT KPK
terhadap kepala daerah sepanjang 2016 hanya karena mereka bernasib sial.
Artinya, peristiwa itu semacam puncak gunung es betapa masifnya praktik
jual-beli kuasa dan wewenang.
Kedua,
tindakan dan langkah pembaruan begitu mudah terjebak pada perilaku
”hangat-hangat tahi ayam”. Fakta empirik membuktikan, sejumlah skandal
korupsi yang terkuak di lingkungan pemerintah hanya memiliki daya kejut dalam
waktu terbatas. Seperti terjebak dalam sebuah pola: sebuah skandal segera
menguap begitu skandal baru terkuak. Kecenderungan, terkuaknya skandal
korupsi nyaris tak pernah menjadi momentum melakukan perubahan secara total.
Biasanya, ketika pelaku yang bernasib sial dihukum, upaya untuk mengungkap
jejaringnya tidak pernah dilakukan dengan serius. Padahal jamak dipahami
bahwa korupsi, apalagi yang masuk kategori skandal, tidak mungkin dijalankan
pelaku secara tunggal.
Menilik
kasus tangkap tangan terhadap seorang pejabat eselon III DJP di atas,
kejadian ini membuktikan bahwa proses hukum dan tindakan lain dalam skandal
penggelapan pajak yang pernah dilakukan Gayus P Tambunan tak mampu sepenuhnya
memberikan efek jera. Sangat mungkin pengulangan kasus di lingkungan DJP
disebabkan gagalnya melakukan upaya terus-menerus ”menjaga” makna efek jera
penjatuhan hukuman bagi Gayus. Lebih dari itu, tidak tertutup pula, perilaku
serupa belum sepenuhnya berhenti.
Ketiga,
selain kedua faktor di atas, penyebab lain tidak mudah mengurangi dan
menghentikan laju praktik korupsi dipicu oleh penjatuhan hukum (vonis hakim)
yang jauh dari memadai untuk mampu memberikan efek jera. Bukti paling
menonjol, sejak 2013, secara umum, pengadilan menjatuhkan vonis semakin hari
makin ringan. Bahkan, akhir-akhir ini, vonis bagi mereka yang melakukan
korupsi berada di kisaran dua tahun. Celakanya, kecenderungan penurunan ini
terjadi sejak pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi daerah. Padahal,
sebagai bagian menimbulkan efek jera, UU pemberantasan tindak pidana korupsi
memberikan ruang untuk menjatuhkan hukuman secara maksimal.
Sebagai
contoh, dalam hal seseorang tersangkut tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur Pasal 2 Ayat (1) UU No 31/1999, UU memberi ruang untuk menjatuhkan
pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat empat tahun dan
paling lama 20 tahun. Begitu pula dengan Pasal 3 UU No 31/1999, UU memberi
ruang menjatuhkan pidana penjara seumur hidup/pidana penjara paling singkat
satu tahun dan paling lama 20 tahun. Sekalipun kedua pasal memberi ruang
untuk menjatuhkan pidana minimal satu tahun, penjatuhan hukuman harus selalu
diletakkan dalam bingkai pesan efek jera memberantas korupsi. Karena pesan
penjeraan itu, UU No 31/1999 memberi ruang menjatuhkan pidana mati apabila
korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.
Sejumlah
pengalaman menunjukkan, penjatuhan pidana rendah diikuti dengan kemudahan lain
yang dinikmati mereka yang dipidana. Kemudahan dimaksud adalah adanya
ketentuan selama melaksanakan hukuman memiliki kesempatan menghuni rumah
tahanan lebih singkat dari vonis hakim. Bahkan, berkaca dari sejumlah kasus,
dengan kemampuan keuangan yang dimiliki terpidana korupsi, rumah tahanan
tidak cukup memberikan efek penjeraan. Sebagian di antara terpidana mudah
menikmati segala macam kemewahan, termasuk mangkir dari rumah tahanan
sebagaimana yang pernah dilakukan Gayus Tambunan.
Tidak
kalah mengkhawatirkan, bekas narapidana korupsi diberi ruang untuk ikut
kontestasi politik begitu selesai menjalani masa hukuman. Dengan kemudahan
itu, sebagian mereka yang pernah dipidana kasus korupsi dengan mudah
mengikuti kontestasi politik. Jalan mudah berkiprah kembali di panggung
politik meruntuhkan misi politik menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar
biasa. Disadari atau tidak, segala kemudahan tersebut membuat banyak kalangan
tidak takut melakukan korupsi.
Jalan keluar
Sebagai
catatan awal tahun, perlu disadari, labirin perilaku koruptif sangat mungkin
kian menggila sepanjang 2017. Untuk itu, haruslah ditemukan jalan keluar dari
labirin perilaku koruptif yang telah lama menjadi virus perusak yang terus
membelit dan melilit negeri ini. Melihat daya rusak yang ditimbulkan, tak
cukup lagi dengan mengimbau agar menghentikan perilaku koruptif. Untuk itu,
mereka yang diberikan wewenang mengelola kepentingan publik apabila terbukti
melakukan korupsi, hukuman harus mampu memberikan efek jera.
Begitu
juga bagi pelaku korupsi karena ketamakan, hukuman maksimal harus mampu
menjangkau dan memiskinkan pelaku korupsi. Tak berhenti sampai pelaku,
penegakan hukum harus mampu membongkar jejaring pelaku korupsi secara tuntas.
Selama hanya berfokus pada pelaku, koruptor mungkin saja menggunakan pihak
lain sebagai tempat menyimpan harta hasil korupsi. Karena itu, langkah serius
mengejar dan membongkar semua pihak yang jadi jejaring koruptor menjadi
pilihan yang tak terhindarkan.
Sementara
itu, bagi pelaku politik yang terbukti melakukan korupsi, hukuman tidak cukup
dengan pidana badan dan pemiskinan, tetapi harus berani juga mencabut hak
politik mereka. Tanpa itu, politisi yang pernah dihukum karena terbukti
korupsi akan tetap memiliki ruang ”merampas” panggung politik. Tanpa keberanian
mencabut hak politik, banyak kalangan percaya, suatu waktu nanti panggung
politik negeri ini akan dikuasai oleh bekas pelaku korupsi. Saya termasuk
orang yang percaya: pidana maksimal dan memangkas segala kemudahan dapat
menjadi strategi ampuh keluar dari jebakan labirin praktik korupsi di
kalangan politisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar