Fatwa
MUI, Hukum Agama, dan Keberagaman
Denny Indrayana ; Guru
Besar Hukum Tata Negara UGM; Visiting Professor pada Melbourne Law School dan
Faculty of Arts, University of Melbourne
|
KOMPAS.COM, 29 Desember
2016
Catatan
Kamisan kali ini masih saya dedikasikan untuk membahas soal Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan posisinya dalam sistem hukum nasional, khususnya
dari sudut pandang hukum tata negara, bidang ilmu yang masih terus saya
tekuni dan pelajari.
Setelah
dibahas minggu lalu dengan judul "Fatwa MUI, Hukum Positif, dan Hukum
Aspiratif", banyak tanggapan yang bermunculan.
Dua
Guru Besar Hukum Tata Negara Moh. Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra adalah
di antara dua profesor yang ikut memberikan sumbang pikir melalui artikel dan
komentarnya di media massa.
Pemikiran
dua pakar hukum tata negara itu memperkaya apa yang telah saya tuliskan, dan
menjadi alternatif pendapat bagi sidang pembaca.
Pasti
tidak semua pendapat kami sama—dan justru di situlah asyiknya. Perbedaan itu
memang tidak hanya diciptakan dalam beragama, tetapi juga berpendapat. Kalau
semua pendapat ahli hukum itu sama, maka ilmu hukum akan mati, layu tak
berkembang.
Sebagaimana
jika Allah menciptakan semua agama itu sama, mungkin peradaban kemanusiaan
juga akan hilang. Perbedaan dan keragaman warna memang sengaja diciptakan,
justru untuk kita saling belajar, saling menghormati, saling tepo-seliro,
saling bertoleransi.
Dalam
konteks debat keilmuan hukum agama yang beragam, lawan dalam berdebat adalah
kawan dalam berfikir, dan sobat dalam berzikir.
Salah
satu persamaan kami terkait Fatwa MUI adalah, bahwa ia bukanlah hukum positif
(ius constitutum). Fatwa MUI jelas bukan hukum negara yang berlaku di wilayah
Indonesia.
Karena
bukan hukum positif negara, maka pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan
sebagaimana hukum positif pada umumnya. Apalagi, jika cara pemaksaan itu
menggunakan metode hukum pidana seperti sweeping dan sejenisnya.
Terlebih
karena sanksi pidana—termasuk caranya diterapkan (hukum acara atau hukum
formilnya)—hanya mungkin dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Daerah,
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Karena
bukan hukum positif negara, maka Fatwa MUI tidak dapat dilaksanakan oleh aparatur
negara, termasuk aparat kepolisian ataupun pemerintah pusat dan daerah.
Justru, jikalau ada upaya untuk memaksakan pelaksanaan Fatwa MUI oleh
sekelompok orang ataupun organisasi masyarakat, aparatur negara harus
mencegah dan melarangnya.
Dalam
konteks itu, sudah tepat kebijakan dan pernyataan Presiden Jokowi yang
memerintahkan kepada aparat polisi untuk menindak tegas ormas yang melawan
hukum. Karena memang sweeping berdasarkan Fatwa MUI, apalagi jika meresahkan
dan anarkis, justru adalah tindakan melawan hukum.
Bukan
sebaliknya, sweeping justru dikawal aparat kepolisian. Bukan pula, Fatwa MUI
justru menjadi dasar hukum bagi terbitnya surat edaran aparat kepolisian
untuk dilaksanakan, misalnya pada level Polres.
Sekali
lagi, karena bukan hukum positif negara, Fatwa MUI tidak berlaku sebagai
dasar hukum yang mengikat warga negara, serta bukan dasar penegakan hukum
bagi aparatur negara.
Di
samping kesamaan pandang bahwa Fatwa MUI itu bukan hukum positif (ius
constitutum), ada pula perbedaan pendapat di antara kami. Agar jelas, saya
berpandangan bahwa Fatwa MUI bukanlah hukum positif, tetapi ia memang dapat
menjadi hukum yang diangankan, hukum aspiratif.
Sedangkan,
di sisi lain, ada pendapat bahwa Fatwa MUI—sebagai bagian dari hukum Islam,
bukanlah hukum positif tetapi bukan pula hukum yang diangankan (ius
constituendum), tetapi adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat (living
law).
Pertama,
izinkan saya menjelaskan kenapa saya menggunakan istilah hukum aspiratif
sebagai terjemahan dari ius constituendum. Istilah hukum aspiratif ini memang
tidak ada dalam literatur hukum.
Ini
adalah istilah yang saya pilih dan ciptakan untuk membedakan antara hukum
yang diberlakukan negara (hukum positif, ius constitutum), dengan hukum yang
belum diberlakukan negara, tetapi diangankan berlaku oleh sekelompok
masyarakat atau golongan.
Saya
sengaja menggunakan istilah hukum aspiratif, karena sifatnya yang masih
aspirasi, masih cita-cita, belum terwujud. Saya berpendapat, istilah
"hukum aspiratif" itu jauh lebih tepat dibandingkan memakai istilah
"hukum negatif" sebagai lawan dari "hukum positif".
Selanjutnya,
perbedaan pendapat di atas muncul karena sudut pandang yang tidak sama. Saya
memandang dari sisi hukum negara. Dari sisi pandang ini, hukum negara yang
sudah berlaku adalah hukum positif (ius constitutum), sedangkan hukum yang
belum diberlakukan oleh negara, masih dicita-citakan adalah hukum aspiratif
(ius constituendum).
Bahwasanya
hukum yang masih dicita-citakan itu sudah hidup dalam masyarakat (living law),
dari sisi pandang hukum negara, dia tetap tidak berlaku sebagai hukum
positif, dan hanya bisa menjadi bagian dari hukum negara melalui proses
legislasi.
Tegasnya,
dari sisi negara, bahkan hukum Islam yang sudah hidup dalam masyarakat masih
harus melalui proses positivisasi untuk menjadi hukum positif negara dan
berlaku mengikat seluruh warga negara Indonesia.
Istilah
hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) untuk menggambarkan keberadaan
hukum Islam dalam masyarakat Indonesia sendiri perlu penjelasan lebih rinci.
Hukum yang hidup bisa bermakna dua, yaitu hidup dalam arti berlaku, dan hidup
dalam arti berkembang (dinamis).
Jika
living law dimaksudkan sebagai hukum yang dipraktikkan di tengah masyarakat,
maka hukum Islam sebagaimana hukum agama lainnya adalah sama-sama the living
law. Tegasnya, living law adalah juga hukum yang dipratikkan umat agama
Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, serta termasuk hukum adat yang tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah suku adat yang tersebar di banyak wilayah Tanah
Air.
Sedangkan
jika living law dimaksudkan sebagai aturan yang dinamis, maka ia sejalan
dengan konsep the living constitution yaitu suatu aturan yang sifatnya
dinamis, berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Di
era Orde Baru, UUD 1945 disebut bersifat singkat dan supel, karena pendek dan
dianggap lentur menyesuaikan diri dengan keperluan hidup bernegara.
Padahal,
dalam hukum Islam, sependek yang saya pelajari, ada aturan yang sifatnya
sudah pasti dan tidak bisa diubah.
Dalam
hal ibadah, misalnya ayat Al Qur’an maupun hadits diyakini bersifat qat’i
(pasti), sedangkan dalam hal muamalah hukum Islam masih ada yang mempunyai
sifat zanni (dinamis).
Kembali
ke Fatwa MUI, kalau fatwa itu sifatnya pasti dan jelas, biasanya tidak ada
perdebatan, dan karenanya tidak menimbulkan persoalan. Namun, jika terkait
dengan fatwa yang zanni, dalam hal muamalah apalagi toleransi dalam beragama,
maka tidak jarang menimbulkan pro dan kontra.
Maka,
dalam perbedaan demikian, perlu kembali dipahami bahwa Fatwa MUI itu bukan
hukum positif. Yang meskipun hidup di tengah masyarakat, keberlakuannya tidak
mengikat, serta tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya kepada warga negara.
Pertanyaannya,
apakah fatwa soal Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), atau atribut maupun ucapan
Natal, adalah hukum yang sudah berlaku di tengah masyarakat? Atau, apakah itu
fatwa lahir dari dinamika politik bernegara? Karena kalau merupakan respon
dari kehidupan bernegara, tidak jarang fatwa agama hasilnya tidak persis
serupa. Sebagaimana Fatwa MUI yang mungkin berbeda dengan fatwa ulama
Nahdlatul Ulama (Lembaga Bahtsul Masa’il), Muhammadiyah (Majelis Tarjih),
ataupun ormas Islam lainnya, ataupun ormas agama lainnya.
Apakah
itu berarti saya mengatakan MUI adalah ormas? Tidak juga. Sebagaimana saya
paparkan dalam Catatan Kamisan minggu lalu, MUI mempunyai bentuk kelembagaan
hukum yang unik. MUI mempunyai sifat organ negara, utamanya karena
menjalankan fungsi penerbitan sertifikasi halal—meskipun akan digantikan
Badan Halal—dan menarik dana sertifikasi tersebut. Namun, peran sebagai organ
negara itu gugur ketika MUI tidak bersedia diperiksa keuangannya oleh lembaga
auditor negara (BPK atau BPKP).
Bagi
Profesor Tim Lindsey dari Melbourne Law School, MUI adalah lembaga negara
setengah LSM, atau dalam konsep di Australia dikenal sebagai QuANGO
(Quasi-Autonomous Non-Governmental Organization).
Berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 151 Tahun 2014 tentang Bantuan Pendanaan Kegiatan,
MUI seakan-akan diposisikan sebagai Ormas, utamanya ketika dalam bagian
"Menimbang" Perpres tersebut dirujuk UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013.
Sedangkan,
dalam penelusuran saya di Kementerian Hukum dan HAM, MUI justru terdaftar
sebagai badan hukum "Perkumpulan" berdasarkan SK
AHU-00085.60.10.2014, tertanggal 25 April 2014. Singkat kata, apakah
sebenarnya badan hukum kelembagaan MUI, sebenarnya tidak jelas betul.
Ketidakjelasan
kelembagaan hukum MUI itu menjadi relevan jika dikaitkan dengan klaim
kewenangannya untuk menerbitkan fatwa. Sebagai bayangan, pendapat Mahkamah
Agung yang sering juga disebut fatwa, mempunyai dasar hukum yang kuat
berdasarkan UU MA.
Namun
bahkan MA, yang menurut putusan Mahkamah Konstitusi, adalah organ utama (main
organ), fatwanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Jika Fatwa MA
saja—yang kelembagaan negaranya sangat jelas tidaklah mengikat, apatah lagi
Fatwa MUI yang kelembagaannya masih belum jelas.
Memang
perlu dijelaskan pula di sini, keberadaan MUI dan fatwanya mempunyai derajat
yang berbeda dalam praktik bernegara kita dibandingkan fatwa keagamaan lainnya.
MUI
paling tidak disebut keberadaannya dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal; UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji; UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara; dan UU
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dalam
UU Surat Berharga Syariah bahkan ditegaskan, lembaga yang memiliki kewenangan
dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah MUI atau lembaga lain yang
ditunjuk Pemerintah (Penjelasan Pasal 25).
Sedangkan
dalam UU Perbankan Syariah, prinsip syariah merujuk pada Fatwa MUI (Pasal 26
ayat (2)). Meskipun pada ayat (3) pasal 26 tersebut ditegaskan pula, untuk
menjadi hukum positif, Fatwa MUI dalam perbankan syariah itu harus
diterbitkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
Pertanyaan
selanjutnya: Apakah negara harus menghormati hukum Islam—atau dalam hal ini
Fatwa MUI? Sebagai fatwa agama, tentu maksud diterbitkannya fatwa adalah
baik, dan karenanya menjadi wajar bagi negara untuk menghormatinya.
Namun,
jika fatwa itu justru berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat, di
sinilah peran negara untuk menegakkan hukum dan ketertiban, dan hanya tunduk
pada hukum positif yang berlaku, dan bukan kepada Fatwa MUI.
Penghormatan
negara kepada Fatwa MUI itu, lebih kepada kedudukan fatwa yang mungkin
menjadi sumber hukum (hukum aspiratif), tetapi tetap bukan bagian dari hukum
positif yang harus dilaksanakan aparatur negara. Sekali lagi, untuk menjadi
hukum positif negara, hukum agama harus melalui proses positivisasi,
sebagaimana hukum adat melalui proses resepsi.
Bahkan
dalam konstitusi (UUD 1945), penghormatan hukum adat lebih mendapatkan dasar
legitimasi yang kuat berdasarkan Pasal 18B ayat (2), yang mengatur
"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang".
Sebaliknya,
secara konstitusi, eksistensi hukum syariat Islam masih menimbulkan
perdebatan, utamanya dengan simbolisasi tujuh kata Piagam Jakarta yang selalu
gagal menjadi bagian dari konstitusi.
Apapun,
hukum agama (termasuk Fatwa MUI) dan hukum adat, akan dihormati oleh negara
sebagaimana Pasal 18B ayat (2) di atas, sepanjang "masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI".
Meskipun,
dalam kehidupan bernegara kita, penerapan konsep hukum Islam sudah menjadi
bagian dari beberapa hukum positif seperti undang-undang haji, zakat dan
perbankan syariah. Serta yang paling monumental adalah UU Pemerintahan Aceh
dengan penerapan syariat Islamnya.
Akhirnya,
sebagai penutup, saya ingin mengamini pendapat banyak ahli hukum dan politik
bahwa, gesekan antara sistem dan norma hukum yang berbeda adalah alamiah dan
biasa terjadi.
Apalagi
jika perbedaan hukum itu lahir berdasarkan ketidaksamaan norma
adat-kebiasaan, apalagi keyakinan beragama. Gesekan alamiah demikian biasanya
akan menemukan jalan keluarnya yang damai dan harmonis di tengah masyarakat
yang majemuk.
Berbeda
halnya jika gesekan itu tidak alamiah, namun bermotif nafsu politik
kekuasaan, maka konflik hukum demikian dapat berujung sengketa yang sangat
merusak dan menghancurkan peradaban kemanusiaan.
Dengan
penutup itu, mari berdoa agar kita semua terus makin dewasa merawat hukum
positif kita di tengah berbinnekanya living law yang berkembang, termasuk di
tengah keberagaman beragama.
Keep on fighting for the
better Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar