Freeport
Dulu, Kini, dan Nanti
Fahmy Radhi ; Dosen UGM;
Mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas
|
INDONESIANA, 16 Januari
2017
Dulu,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Modal Asing, kontrak
karya (KK) Freeport untuk pertama kali ditandatangani pada 1967. Pada 1991,
kontrak itu diperpanjang lagi selama 30 tahun hingga kontrak baru akan
berakhir pada 2021. Sudah lebih dari setengah abad pemerintah Indonesia
mendapatkan pembagian saham PT Freeport Indonesia (PTFI) hanya sebesar 9,36
persen. Mayoritas saham sebesar 90,64 persen dikuasai oleh Freeport-McMoRan
Copper & Golden Inc. Parahnya, dividen yang jumlahnya kecil kerap kali
tidak dibayarkan. Dalam dua tahun terakhir, PTFI tidak membayarkan sepeser
pun pembagian dividen kepada pemerintah dengan alasan laba ditahan untuk
ekspansi.
Terkuaknya
skandal "papa minta saham" tahun lalu sesungguhnya mengkonfirmasi
dugaan skandal serupa saat perpanjangan kontrak karya pada 1991 di bawah
rezim Orde Baru. Konon, pejabat setingkat menteri dan pengusaha beserta
kroni-kroninya mendapat bagian sejumlah saham dari PTFI. Tapi, tidak berapa
lama kemudian, saham tersebut dijual kembali kepada PTFI. Untungnya, skandal
"papa minta saham" itu terkuak sehingga perpanjangan kontrak karya
Freeport yang merugikan negara dapat dicegah.
Setelah
terkuaknya skandal itu, Maroef Sjamsoeddin secara mengejutkan mengundurkan
diri sebagai Presiden Direktur PTFI. Untuk menggantikan Maroef, PTFI
mengangkat Chappy Hakim, mantan Kepala Staf Angkatan Udara. Pengangkatan
Chappy mengindikasikan bahwa PTFI bukan mencari figur profesional, melainkan
figur yang bisa menjamin keamanan serta melancarkan lobi ke pemerintah dan
DPR. Lobi itu berkaitan dengan ekspor konsentrat, divestasi saham PTFI, dan
perpanjangan kontrak karya Freeport 2021.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara kini mewajibkan
perusahaan tambang membangun smelter untuk mengolah mineral dan batu bara
mentah di dalam negeri. Aturan itu juga melarang ekspor mineral dan batu bara
mentah dalam bentuk konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan dalam kadar
tertentu. Kendati undang-undang itu telah memberikan tenggat selama lima
tahun, sebagian besar perusahaan tambang tidak mampu memenuhi kewajiban
smelterisasi.
Sejak
diberlakukan larangan ekspor konsentrat pada 12 Januari 2014, Freeport
termasuk yang menolak keras sembari mengancam akan menghentikan produksi dan
melakukan PHK besar-besaran. Bahkan, Freeport sempat mengancam akan menggugat
Indonesia ke arbitrase internasional atas larangan tersebut.
Bagi
Freeport, pelarangan itu merupakan ancaman serius terhadap aliran kas masuk.
Perusahaan itu sangat bergantung pada kas masuk ekspor konsentrat, yang
kemudian diolah menjadi emas batangan dengan nilai tambah berlipat. Bagi
Indonesia, ekspor konsentrat yang dilakukan oleh Freeport tidak memberikan
nilai tambah yang berarti.
Karena
itu, pemerintah harus menghentikan kebijakan relaksasi ekspor konsentrat.
Pemerintah harus kembali ke Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
yang secara tegas melarang ekspor mineral dan batu bara mentah. Pelarangan
ekspor konsentrat dalam jangka pendek memang berpotensi menurunkan nilai
ekspor mineral dan batu bara Indonesia. Namun, dalam jangka panjang, ekspor
mineral dan batu bara yang sudah diolah di smelter Indonesia akan kembali
meningkat dengan nilai tambah yang jauh lebih besar daripada nilai tambah
ekspor konsentrat.
Kegagalan
PTFI mengupayakan perpanjangan kontrak karya Freeport tidak menyurutkan
langkahnya untuk menempuh upaya lain. Kali ini, PT FI menggunakan kewajiban
divestasi saham sebagai "perangkap" bagi pemerintah. Sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, PTFI wajib menawarkan sahamnya
sebesar 10,64 persen paling lambat pada Oktober 2016 dan sisanya yang 10 persen
harus sudah ditawarkan pada 2019. Tapi, baru di akhir tenggat PTFI akhirnya
menawarkan 10,6 persen sahamnya dengan harga yang sengaja dipatok sangat
tinggi, yakni US$ 1,7 miliar atau Rp 23,8 triliun.
PTFI
sengaja menetapkan harga tawaran yang sangat tinggi dengan harapan Pemerintah
akan menawarnya. Saat pemerintah mengajukan tawaran, PTFI akan menerima
begitu saja berapa pun harga yang diajukan. Ketika pemerintah sudah
memutuskan pembelian 10,6 persen saham, saat itulah pemerintah
"terperangkap". PT FI akan menjadikan keputusan pemerintah itu
sebagai pembenaran perpanjangan kontrak karya Freeport pada 2021 hingga 2041.
Dengan demikian, pemerintah tidak lagi punya alternatif untuk mengambil alih
Freeport pada 2021. Agar tidak terperangkap oleh jebakan itu, pemerintah dan
BUMN jangan pernah membeli divestasi saham PT FI, berapa pun harganya.
Nantinya,
sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, tidak ada jalan lain bagi pemerintah kecuali
mengambil alih penguasaan dan pengelolaan tambang Freeport. Untuk itu,
pemerintah harus menguasai tambang Freeport saat kontrak karya Freeport
berakhir pada 2021 sehingga tidak ada konsekuensi hukum dan biaya dalam
pengambilalihan Freeport.
Maka,
sejak sekarang, pemerintahan Joko Widodo dan berbagai komponen bangsa perlu
meneriakkan secara bersama: "Stop Perpanjangan Kontrak Karya
Freeport" pada 2021. Pengambilalihan Freeport tidak hanya meningkatkan
kemakmuran rakyat, tapi juga manifestasi dari kedaulatan energi, seperti yang
diamanahkan oleh konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar