Peradilan
Koneksitas Kasus Korupsi
Emerson Yuntho ; Anggota Badan Pekerja ICW
|
INDONESIANA, 18 Januari
2017
Operasi
tangkap tangan (OTT) yang biasa dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
merupakan sesuatu yang menakutkan bagi koruptor. Selama ini, pelaku korupsi
yang terkena OTT sangat sulit lolos dari jerat hukum. Selain ditahan dan
dijadikan tersangka, pada akhirnya pelaku dinyatakan bersalah oleh hakim dan
dijatuhi hukuman penjara.
Namun
kehebatan OTT yang dilakukan KPK ternyata memiliki keterbatasan. Lembaga
antirasuah ini hanya mampu menjerat dan menangkap pelaku yang berasal dari
kalangan sipil atau tunduk pada peradilan umum.Adapun dalam kasus korupsi
yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia dan kalangan yang
tunduk pada peradilan militer, KPK menyatakan tidak berwenang.
Contoh
peristiwa ini terjadi pada akhir tahun lalu, yakni kasus dugaan suap dalam
proyek pengadaan satelit pemantau di Badan Keamanan Laut (Bakamla) senilai Rp
200 miliar. Dari lima orang yang ditangkap saat OTT, empat orang langsung
ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Mereka adalah Deputi Bidang
Informasi Hukum dan Kerja Sama Eko Susilo Hadi dan Direktur Utama PT Melati
Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah, serta dua pegawainya, Hardy Stefanus
dan Muhammad Adami. Adapun Danang Radityo, yang diduga sebagai anggota TNI,
akhirnya dilepas dan KPK hanya bisa berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer
(POM) TNI (Tempo.co, 16 Desember 2016).
Pelepasan
pihak yang diduga sebagai oknum TNI memunculkan pertanyaan: benarkah KPK
tidak dapat menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI aktif?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU
Peradilan Militer)-meski masih dapat diperdebatkan-setiap tindak pidana yang
dilakukan oleh anggota TNI akan tunduk pada peradilan militer dan proses
hukumnya ditangani oleh polisi militer (POM) atau oditur militer.
Namun
jika kasus korupsi tersebut dilakukan bersama orang sipil, seperti yang
terjadi di Bakamla, KPK seharusnya masih berwenang, meski terbatas dan tidak
langsung. Kewenangan terbatas KPK dalam menangani kasus korupsi yang
melibatkan anggota TNI tercantum dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketentuan ini menyebutkan "KPK
berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang
tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".
Untuk
penanganan kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI bersama kalangan sipil,
KPK dan POM TNI dapat menangani perkara ini secara bersama-sama melalui
peradilan koneksitas. Peradilan koneksitas menangani kasus pidana yang
dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada kekuasaan peradilan umum
dan militer. Proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh tim yang terdiri
atas jaksa, polisi militer, dan oditur militer. Adapun proses pemeriksaan di
pengadilan dilakukan oleh lima hakim yang berasal dari unsur hakim peradilan
umum dan peradilan militer.
Peradilan
koneksitas untuk kasus korupsi pada dasarnya bukanlah sesuatu yang baru di
Indonesia. Kejaksaan sudah memulai langkah ini pada 2002 dengan membentuk tim
koneksitas dari unsur Kejaksaan dan TNI untuk penanganan kasus korupsi
technical assistance contract antara Pertamina dan Ustraindo Petrogas. Kasus
ini melibatkan Ginandjar Kartasasmita, mantan menteri pada era Soeharto yang
juga tercatat sebagai anggota TNI, serta sejumlah pejabat di Pertamina.
Contoh lainnya, pada 2006, pernah dibentuk Tim Koneksitas dalam penanganan
kasus pengadaan helikopter MI-17, yang diduga merugikan negara sebesar US$ 3
juta.
Sejak
berdiri pada 2003 hingga saat ini, KPK belum pernah sekali pun menangani
kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI, meski ada sejumlah laporan korupsi
pengadaan kebutuhan militer yang masuk. Lembaga ini juga belum pernah
membentuk tim koneksitas bersama pihak TNI untuk menangani perkara korupsi
yang melibatkan pelaku dari unsur sipil dan militer.
Terdapat
sejumlah keuntungan jika suatu kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI dan
kalangan sipil ditangani secara terkait. Pertama, lebih memudahkan koordinasi
dan percepatan penuntasan kasus korupsi. Sebab, jika proses penyidikan dan
penuntutan dilakukan oleh tim koneksitas, tidak akan muncul istilah "bolak-balik"
perkara antara penyidik dan penuntut. Kedua, proses penanganan perkara
korupsi yang ditangani oleh penegak hukum, khususnya KPK, bisa lebih
transparan dan akuntabel daripada yang selama ini ditangani sendiri oleh TNI.
Namun,
sekali lagi, proses peradilan koneksitas dalam perkara korupsi akan sangat
bergantung pada komitmen bersama dari masing-masing pemimpin KPK, Panglima
TNI, dan Ketua Mahkamah Agung. Penanganan kasus suap proyek Bakamla
seharusnya menjadi momentum bagi KPK dan TNI untuk membentuk tim koneksitas
untuk pertama kalinya.
Semoga
ke depan KPK lebih berani melakukan terobosan penting dengan membentuk tim
koneksitas antikorupsi dan menyelesaikan kasus korupsi di tubuh militer. KPK
dan TNI seharusnya bahu-membahu dalam memberantas korupsi di Indonesia,
termasuk yang melibatkan oknum militer di dalamnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar