Burung
Garuda tanpa Kaki?
Ari Dono Sukmanto ; Kepala
Badan Reserse dan Kriminal Polri
|
MEDIA INDONESIA,
30 Desember 2016
DUKA
dunia kembali hadir di wajah kita semua. Hingga hari ini ratusan manusia
meninggal dan terluka. Di Istanbul, Kairo, Mogadishu, dan Aden kemanusian
kembali porak-poranda. Nyaris juga terjadi di Indonesia. Fundamentalisme dan
radikalisme seakan hendak menunjukkan wajah lebih jauh lagi, rona bengisnya
yang paling terbuka. Semoga saja tidak terjadi pada esok di hari-hari kita:
terorisme!
Terorisme
lahir dan tumbuh dari keyakinan diri sebagai yang ‘paling’. Baik paling suci,
paling benar, lalu menganggap yang lain berlumuran dosa dan patut menerima
hukuman. Jika akar penyimpangan ini ditelusuri, memang ada berbagai macam
teori yang berangkat dari berbagai penelitian. Namun, khusus di RI, salah
satu teori dan hasil penelitian hadir dengan cukup mengejutkan.
Melalui
survei yang dipaparkan pada Agustus 2016, Wahid Foundation dan Lingkaran
Survei Indonesia (LSI) menemukan data bahwa dari 1.520 responden yang dipilih
secara acak terukur di seluruh Indonesia sebanyak 49% muslim dari responden
itu resisten terhadap mereka yang berbeda. Dengan kata lain, mereka sulit
menerima perbedaan, intoleransi! Dari sisi potensi, ini tentu saja cukup
mengkhawatirkan. Proyeksi terhadap sekitar 150 juta muslim Indonesia, 7,7%
atau 11,5 juta orang berpotensi bertindak radikal dan 0,4% atau 600 ribu
pernah terlibat di dalamnya. Dari jumlah itu juga, sebanyak 7,7%-nya bersedia
mendukung gerakan intoleransi seperti sweeping, berdemonstrasi menentang
kelompok yang dinilai menodai dan mengancam kesucian atau menyerang rumah
ibadah pemeluk agama lain. Sementara itu, 0,4% responden mengaku pernah
berpartisipasi dalam kegiatan yang berpotensi melibatkan kekerasan atas nama
agama. Ini tentunya mesti mendapat perhatian.
Fakta
lainnya, berdasarkan survei jejak pendapat yang dilakukan Majalah Tempo awal
September 2016 terhadap 544 responden, 64,5% responden percaya kelompok
pendukung radikalisme akan berkembang di Indonesia, 33,1% responden
menyatakan tidak akan berkembang, dan 2,4% tidak tahu. Kesadaran kelam yaitu
ketidakmampuan menerima manusia lainnya untuk berbeda dengan dirinya menjadi
transportasi yang memberangkatkan para penganut fundamentalisme dan
radikalisme menuju aksi teror. Merasuk dalam ideologi menolak keragaman untuk
menggantikannya dengan kehomogenan. Intoleran terhadap sesamanya. Hendak
memenggal kaki Burung Garuda pemegang pita Bhinneka Tunggal Ika. Akan seperti
apa jika Garuda Pancasila tanpa kaki?
Harus berkeringat
Pada
perjalanannya, radikalisasi melibatkan proses pencucian otak dari pemilik
kepentingan teror dengan meradikalisasi para calon anggota kelompok radikal.
Konten hingga materi cuci otak itu terdiri atas berbagai macam bentuk
pengajaran yang sebenarnya mengerucut pada satu titik, yaitu isu SARA, secara
spesifik menggelembungkan demarkasi antara ‘aku’ dan ‘manusia yang lain’.
Intoleransi.
Dalam
perspektif hukum dan kajian tentang HAM, tindak pidana terorisme merupakan
kejahatan luar biasa (extraordinary
crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan cara-cara luar biasa (extraordinary measure). Upaya
pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme juga tidak dapat dilakukan
dengan hanya mengandalkan ketentuan-ketentuan hukum secara normatif serta
sikap-sikap represif dari pihak penegak hukum saja.
Dalam
konteks Indonesia, konsep extraordinary
measure pemberantasan tindak pidana terorisme harus dipahami sebagai
kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif serta berlandaskan
kehati-hatian, juga bersifat jangka panjang.
Karena
itu, pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia bukan merupakan
masalah hukum dan penegakan hukum semata karena juga terkait dengan masalah
sosial kenegaraan, budaya, ekonomi, dan keterkaitannya dengan pertahanan
negara. Meski demikian, masih ada banyak cara atau upaya yang dapat dilakukan
masyarakat maupun negara untuk melakukan pemberantasan terorisme dan bahkan
penanggulangan terhadap kejahatan lain pada umumnya.
Di
titik itu, menurut Satjipto Rahardjo dalam Jurnal Polisi Indonesia No 7, Juli
2005, perubahan paradigma pemolisian di Indonesia mesti bergulir menyesuaikan
zaman, yaitu falsafah pemolisian ialah fungsi dari masyarakat serta
perkembangan masyarakat. Dengan demikian, pemolisian bersifat progresif yang
artinya setiap saat melakukan penyesuaian terhadap perubahan dan perkembangan
masyarakat yang dilayaninya.
Tapak
dekonstruksi menuju filsafat pemolisian sipil ini akan berujung pada banyak
keuntungan lain bagi RI. Konsep pemolisian sipil itu justru mengukur
kemampuan bukan dari banyaknya orang yang ditahan, diproses, dan masuk
penjara. Keberhasilan justru terukur pada tingginya tingkat keamanan dan
rendahnya insiden kejahatan.
Untuk
itu, perubahan paradigma ini bisa langsung terwujud dengan kehadiran dari
setiap anggota Polri di tengah masyarakat, khususnya dalam menanggulangi
gerakan radikalisme atau juga bentuk kejahatan lainnya. Melakukan
transformasi dari pemolisian tradisional menjadi pemolisian berbasis sipil
dan komunitas.
Parsudi
Suparlan dalam Polisi Sipil dan Pemolisian Komuniti dalam Masyarakat Majemuk
Indonesia di Jurnal Polisi Indonesia No 8/2006 menyatakan, secara ideologis
dan program-programnya, pemolisian tradisional hanya berpatokan pada
memerangi dan memberantas kejahatan yang ada dalam masyarakat serta
upaya-upaya melalui bentuk penegakan hukum saja. Dalam pemolisian komuniti,
penekanannya ialah menjaga agar jangan sampai tindak kejahatan itu terwujud.
Bila pun sudah terwujud, harus segera dipecahkan dengan melibatkan warga
komunitas setempat. Paling sederhana, bagi seluruh aparatur negara, termasuk
Polri ialah memahami antropologi sosial dan budaya di lokasi saat bertugas.
Jembatan kesejahteraan
Jemalin
tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagai bagian ekses kehadiran
tindak pidana di Tanah Air menjadi salah satu karakteristik yang tidak bisa
dimungkiri dan mesti dituntaskan segera. Jika mengartikannya melalui
perspektif ekonomis belaka, intoleransi sebagai akar terorisme tentu saja
dikatakan tidak relevan. Namun, kemudian, jika ditinjau dari dimensi umum,
makna sejahtera memiliki arti ‘menunjukkan keadaan yang baik, kondisi manusia
ketika orang-orang dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai’. Lalu
dalam dimensi kebijakan sosial, ‘kesejahteraan justru merujuk pada jangkauan
pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat’.
Dari
titik ini, kehadiran Polri kini juga dituntut untuk menjadi jembatan atas
permasalahan kesejahteraan masyarakat, baik secara nasional maupun lingkungan
sekitarnya. Paradigma menunggu masyarakat untuk datang sudah tidak relevan
lagi. Justru saat ini seluruh anggota Polri mesti jemput bola. Menjemput
komunikasi. Menciptakan kesejahteraan yang sebenarnya bisa terwujud dengan
segera dan cepat.
Misalnya
saja meluangkan waktu bersama masyarakat untuk mencari solusi peningkatan
perekonomian, menghadirkan koperasi unit desa. Atau menyingsingkan lengan baju
untuk menghadirkan ekonomi kreatif, sawah atau kebun atau tambak milik
bersama, bahkan jika perlu mencari solusi secara berbarengan untuk mewujudkan
itu semua dengan masyarakat.
Menghadirkan
kesejahteraan masyarakat dengan menyentuh langsung hati, sebenarnya justru
menciptakan rasa memiliki terhadap komunitas, wilayah, daerah, dan negaranya.
Dengan itu, bangsa ini pasti akan langsung bergerak maju untuk menghapus
batas ‘aku’ dan ‘yang lain’. Lalu jika itu terwujud, Indonesia akan memiliki
peradaban yang justru mampu memproteksi diri sendiri dari berbagai jenis
tindak kejahatan, termasuk intoleransi.
Tidak
lupa juga peran media massa sebagai pilar keempat demokrasi yang juga
memiliki posisi penting: mengedukasi mengenai toleransi, transmisi perbedaan
kultural, dan menciptakan rasa kesatuan sebagai bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar