Investasi
Asing Vs Kesempatan Kerja Lokal
Razali Ritonga ; Alumnus
Georgetown University, USA, jurusan Kependudukan dan Ketenagakerjaan; Bekerja
sebagai Kapusdiklat BPS
|
MEDIA INDONESIA,
30 Desember 2016
PEMBANGUNAN
infrastruktur yang kini gencar dilakukan pemerintah membutuhkan pembiayaan
yang sangat besar. Tentunya, semakin besar ketersediaan pendanaan, akan
semakin banyak infrastruktur yang dibangun. Maka, atas dasar itu, pemerintah
aktif melakukan berbagai upaya untuk mengundang investor dalam dan luar
negeri agar berinvestasi membangun infrastruktur di Tanah Air. Salah satu
yang diundang ialah investor dari Tiongkok.
Tiongkok
sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia kini memang menjadi salah satu
pemain dunia yang berinvestasi di berbagai belahan dunia, terutama di Afrika
dan sejumlah negara berkembang. ‘Negara Tirai Bambu’ itu termasuk yang paling
sukses dalam berinvestasi jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Kesuksesan
Tiongkok dalam berinvestasi itu tidak terlepas dari penawaran biaya yang
cukup murah dalam membangun infrastruktur, seperti jalan raya, jembatan, rel
kereta api, dan pelabuhan. Menurut catatan Sautman dan Hoirong (dalam The
World Post, 8/12/2016), biaya yang ditawarkan dalam suatu proyek
infrastruktur bisa mencapai 50% lebih murah jika dibandingkan dengan biaya
yang ditawarkan investor lainnya.
Rendahnya
biaya yang ditawarkan para investor Tiongkok merupakan suatu keniscayaan
karena mereka mampu melakukan efisiensi yang mungkin tidak mudah dilakukan
investor lainnya. Upaya yang dilakukan ialah mengintegrasikan sistem
keuangan, penguasaan teknologi, dan sumber material (Sautman dan Hairong,
2016).
Distorsi kesempatan kerja
Namun,
celakanya, rendahnya penawaran investor dari Tiongkok itu kerap disertai
dengan permintaan untuk menggunakan tenaga kerja sendiri. Hal itu juga dapat
dicermati dari investasi Tiongkok dalam membangun berbagai proyek
infrastruktur di Afrika. Hasil riset John Hopkins School Advanced
International Studies bahkan menyebutkan perusahaan Tiongkok kerap menolak
mempekerjakan tenaga kerja lokal dan berupaya mempekerjakan pekerja dari
negara.
Secara
faktual, cukup banyak alasan kenapa investor Tiongkok berupaya membawa
pekerja dari negaranya. Salah satu alasan terpenting ialah pekerja Tiongkok
mampu bekerja sangat keras dan sangat cepat (Xan Rice, The Guardian,
6/2/2011). Selain itu, faktor komunikasi pekerja dalam manajemen perusahaan
turut menjadi pertimbangan untuk merekrut pekerja dari negara sendiri.
Namun,
klausul menggunakan pekerja sendiri itu kerap menimbulkan persoalan di negara
tujuan investasi, seperti halnya di Afrika. Kualifikasi pekerja yang
didatangkan dari negara itu bukan pekerja spesialis dengan keahlian tertentu,
tetapi sebagai buruh biasa.
Padahal,
kualifikasi pekerja sebagai buruh dapat dipenuhi tenaga kerja lokal yang
jumlahnya di Tanah Air sangat banyak. Hasil Sakernas Agustus 2016, misalnya,
menunjukkan dari sekitar 7,03 juta penganggur, 11,11% di antara mereka
berpendidikan SMK, 8,73% SMA, 5,75% SMP, dan 2,88%SD ke bawah, yang secara
keseluruhan dapat bekerja sebagai buruh. Karakter investor Tiongkok yang
membawa pekerja mereka sendiri ke mana pun perusahaan mereka berada agak
berbeda dengan perusahaan dari negara lainnya. Investor dari negara lain
umumnya menggunakan pekerja sendiri untuk pengelolaan manajemen yang jumlah
terbatas, sementara kegiatan operasionalnya disubkontrakkan ke perusahaan
lokal (Global Labour Institute, 1999).
Persoalan
penggunaan pekerja sendiri dengan kualifikasi buruh biasa itu kini kian diperparah
dengan masuknya tenaga kerja ilegal dari Tiongkok sehingga dikhawatirkan kian
menurunkan peluang bekerja penduduk lokal. Secara faktual, ada tiga cara
pekerja Tiongkok masuk ke suatu negara yang sedang mengerjakan proyek
pembangunan infrastruktur atau bertujuan lain melakukan kegiatan
usaha/perusahaan (Sasha Gong dalam laman International UCLA.edu). Pertama,
berdasarkan rekomendasi dari negara pengirim yang sesuai dengan permintaan
dalam kontrak kerja. Pekerja dengan cara ini merupakan pekerja legal.
Kedua,
pekerja yang dikirim dari perusahaan swasta di Tiongkok untuk bekerja di
cabang perusahaan di suatu negara. Kehadiran pekerja dengan cara ini
tergolong semilegal. Ketiga, pekerja masuk ke suatu negara yang berbeda
dengan cara pertama dan kedua. Cara ini kini cukup banyak ditemukan di Tanah
Air, antara lain, dengan menggunakan visa kunjungan. Dengan mencermati
fenomena membanjirnya pekerja Tiongkok di sejumlah negara, khususnya di
Afrika, Presiden Obama dalam US/Africa summit mengingatkan agar pembangunan
infrastruktur yang dilaksanakan di suatu negara harus menomorsatukan pekerja
lokal. Bahkan, sejumlah pihak mengusulkan agar perusahaan Tiongkok juga
menggunakan konten lokal dan berbaur dengan penduduk lokal.
Atas
dasar itu, ketegasan pemerintah dalam menangani pekerja asing, terutama dari
Tiongkok, amat diperlukan agar tidak mendistorsi kesempatan kerja di Tanah
Air. Dalam konteks itu, diharapkan upaya Menaker Hanif Dhakiri untuk menindak
tegas pekerja ilegal Tiongkok di Tanah Air segera terwujud (Media Indonesia,
28/12/2016). Secara faktual, hal itu sekaligus mengisyaratkan pengawasan
terhadap pekerja tenaga kerja asing perlu diintensifkan. Bahkan, perjanjian
investasi asing untuk membangun berbagai proyek infrastruktur perlu dikaji
secara mendalam agar kehadiran investasi asing tidak berada dalam posisi
dilematis.
Di
satu pihak, pemerintah berharap mengalirnya investasi asing ke Tanah Air
dapat mempercepat pembangunan infrastruktur yang dapat memacu pertumbuhan
ekonomi dan membuka kesempatan kerja. Namun, di pihak lain terbukanya
kesempatan kerja atas kehadiran investasi asing ternyata tidak optimal
menyerap pencari kerja di Tanah Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar