TVRI,
Sekoci Penyelamat Era Digital
Diani Citra ; Kandidat
Doktor Columbia University, AS
|
KOMPAS, 02 Januari
2017
Dalam
beberapa dekade terakhir, Gelanggang Olahraga Bung Karno yang berseberangan
dengan TVRI sudah menikmati perbaikan berkali-kali. Kedua kawasan yang
sengaja dibangun berhadap-hadapan ini pada masanya merupakan lambang kejayaan
Indonesia. Sayangnya, perkantoran TVRI seluas 12.000-an meter persegi di
kawasan premium Senayan itu tidak lagi sedigdaya dulu. Kerusakan menahun
dapat terlihat, bahkan dari kejauhan.
Di
daerah, nasib stasiun-stasiun cabang TVRI lebih buruk lagi. Direktur Teknik
TVRI Syafrullah memperkirakan bahwa daya siar keseluruhan jaringan TVRI jika
dirata-rata hanya 30 persen dari potensi penuh.
Sudah
bertahun-tahun infrastruktur TVRI di daerah tidak pernah diperbaiki. Uzurnya
infrastruktur dan keterbatasan biaya berujung pada perbaikan dengan metode
kanibal, yaitu pengambilan suku cadang dari infrastruktur transmisi lain.
Ibarat opelet tua, onderdil asli TVRI sudah tidak ada lagi yang memproduksi,
sedangkan penggantian mesin secara keseluruhan dianggap terlalu mahal.
Biaya
memang selalu menjadi hambatan TVRI, tetapi ujung pangkal masalahnya adalah
politik. TVRI berkali-kali menjadi tumbal pergantian angin politik di
Indonesia.
Pada
era Orde Baru, stasiun ini dimanfaatkan sebagai perpanjangan tangan rezim.
Tahun 1989, hak beriklan TVRI dikebiri saat anak-anak mantan Presiden
Soeharto mendirikan TV swasta. Pengebirian ini awalnya tidak terlalu
berdampak pada operasional TVRI karena masih adanya pemasukan dari iuran
publik. Iuran publik ini pun akhirnya terhenti dengan diresmikannya beberapa
stasiun swasta Indonesia yang berjanji mengganti iuran tersebut dengan
membayar sewa siaran kepada TVRI. Iuran televisi swasta ini pun akhirnya
gagal terlaksana.
Pada
era reformasi, publik menuntut independensi TVRI. Sayangnya, tuntutan itu
tidak dibarengi dengan sumber dan mekanisme pendanaan yang mencerminkan
semangat independensi tersebut. Selanjutnya, status struktural TVRI terus
diubah, mulai dari perusahaan jawatan (perjan) ke perjan plus, lalu perseroan
terbatas (PT), hingga akhirnya menjadi
TV publik.
Baru
pada awal 2000-an, TVRI diizinkan kembali menerima iklan, itu pun secara
terbatas. Namun, pada saat itu kualitas TVRI sudah jauh menurun sehingga
sulit untuk bersaing dengan televisi swasta, apalagi dengan dana operasional
dari negara yang sangat terbatas. Kesulitan pendanaan TVRI ini juga tidak
bisa dipisahkan dari kuatnya lobi televisi swasta.
Kini,
ketika semakin banyak publik yang tidak puas dengan kualitas tayangan
televisi swasta, nama TVRI kerap disebut-sebut sebagai alternatif tontonan
yang bisa menyelamatkan kecerdasan bangsa. Namun, lagi-lagi, idealisme
tersebut masih belum dibarengi dengan mekanisme pendanaan yang realistis
untuk sebuah stasiun televisi nasional agar bisa bertahan hidup. Nasib TVRI
saat ini bukanlah sebuah dilema yang bisa mudah dijawab dengan
"beriklan". TVRI memerlukan
suntikan dana besar untuk bisa kembali bersaing di pasar konten yang sudah
semakin ketat dengan hadirnya televisi berlangganan dan media daring.
TVRI
tentu saja bukan tanpa cacat. Tubuhnya terlalu gemuk dan tidak efisien.
Publik juga beberapa kali dikejutkan dengan laporan media atas kasus korupsi
di tubuh TVRI. Kasus Mandra dan Sumita Tobing masih segar dalam ingatan
publik. Agar semua hal itu tidak terulang, TVRI perlu perampingan manajemen
dan pengawasan yang ketat.
Harapan baru di era
digital
Televisi
digital bisa menjadi jalan keluar permasalahan TVRI. Problem uang yang selama
ini melingkupi TVRI mungkin bisa diselesaikan jika TVRI beroperasi sebagai
penyelenggara multipleksing.
Kesuksesan uji coba siaran digital yang dilaksanakan tahun ini
menunjukkan bahwa potensi TVRI masih sangat besar walaupun dengan dana yang
sangat terbatas.
Di
sinilah kerangka infrastruktur transmisi TVRI yang berskala nasional dapat
menjadi nilai tambah dalam penyelenggaraan multipleksing, sebuah aspek yang
tak dimiliki stasiun lain. Proses multipleksing adalah bagian dari transmisi.
TVRI memiliki puluhan stasiun cabang dan 300-an pemancar yang tersebar di
seluruh Indonesia. Sebagai perbandingan, sebuah TV swasta besar mungkin
memiliki sekitar 50 pemancar.
Transmisi
TVRI mencapai berbagai pelosok Indonesia, tidak hanya di kota besar seperti yang dilakukan
televisi swasta. Misalnya, di Jambi terdapat 28 stasiun TV. Hampir semua
stasiun swasta nasional yang bersiaran di Jambi hanya bersiaran di ibu kota
provinsi. Sejumlah stasiun lokal bersiaran di empat kota lainnya. Hanya TVRI
yang memiliki stasiun di lima kota di Jambi. Menjadikan TVRI sebagai
penyelenggara multipleksing dapat menjadi langkah awal dalam mewujudkan
penyiaran digital yang inklusif.
Apalagi
jika TVRI dijadikan sebagai penyelenggara multipleksing tunggal. Menurut data
frekuensi LPS Kementerian Komunikasi dan Informatika per tahun 2015, lebih
dari 850 stasiun televisi memiliki izin siaran di Indonesia. Jika semua
stasiun tersebut membayar sewa multipleksing kepada TVRI, problem biaya
infrastruktur bisa selesai. Selanjutnya, pemasukan dari iklan ataupun APBN
bisa dialokasikan untuk pembaruan isi tayangan.
Cikal bakal perombakan
industri televisi
Pada
era digital, jika TVRI menjadi penyelenggara tunggal, pengukuran jangkauan
wilayah siaran semua televisi akan menjadi lebih mudah. Semua stasiun yang
mengklaim berjangkauan nasional wajib bersiaran di seluruh zona multipleksing
TVRI.
Hal
ini juga akan sangat membantu penyeragaman jangkauan siaran dan perhitungan
audience share. Misalnya, jika Sumatera Utara dihitung sebagai satu wilayah
siar, semua stasiun TV yang bersiaran melalui multipleksing (TVRI) Sumatera
Utara akan memiliki jangkauan siaran dan capaian pemirsa yang sama. Dengan
demikian, kompetisi antara stasiun dan stasiun televisi di Sumatera Utara
dapat dihitung dengan membagi-bagi pola tonton total pemirsa di wilayah
tersebut.
Saat
ini, yang terjadi adalah wilayah siaran yang tidak seragam. Jika kita kembali
pada contoh di Jambi, ketidakseragaman jangkauan siaran ini berujung pada
perhitungan audience share yang timpang. Akibatnya, lembaga rating hanya akan
menghitung audience share di kota-kota besar saja.
Beberapa
tahun belakangan sudah banyak terdengar pembicaraan mengenai perlunya
reformasi dalam industri rating. Zona multipleksing TVRI dapat dijadikan
sebagai satuan wilayah siar untuk perhitungan rating. Jika sebuah stasiun
tidak bersiaran di salah satu atau lebih zona multipleksing TVRI, lembaga
rating tidak boleh mengeluarkan proyeksi audience share nasional stasiun
tersebut. Sebaliknya, lembaga rating harus memiliki sample pemirsa di setiap
zona multipleksing. Dengan metode ini, negara mendorong agar suara pemirsa
daerah di luar ibu kota provinsi terus terwakili di layar kaca.
Jika
TVRI dapat beroperasi sebagai penyelenggara multipleksing tunggal, masalah
pendanaan yang selama ini melanda TVRI dapat diselesaikan tanpa harus
mengorbankan idealisme dan independensi TVRI.
Pembangkitan
kembali TVRI perlu kerja keras dan waktu lama. Untuk itu, kita perlu
memikirkan mekanisme pendanaan yang keberlanjutannya tanpa terlalu
membebankan kepada negara. Dengan menjadikan TVRI sebagai penyelenggara
multipleksing tunggal, biaya yang memang sudah dialokasikan negara untuk
menyubsidi migrasi televisi digital dapat memberikan manfaat ekstra:
merejuvenasi TVRI dan pemerataan akses televisi ke seluruh pelosok Indonesia.
Jika
kita memang ingin memperbaiki sistem penyiaran Indonesia, negara harus berani
merombak sistem secara keseluruhan. Penguatan TVRI bisa menjadi langkah awal
perombakan tersebut. Kita semua sepakat bahwa televisi digital akan menjadi
pintu gerbang kemajuan teknologi informasi pada masa depan. Kalau begitu,
bukankah sudah sepantasnya kita memasuki gerbang tersebut dengan kerangka
berpikir yang efisien, terbuka, dan inklusif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar