Demokrasi
Indonesia dalam Ujian
Budiman Tanuredjo ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 31 Desember
2016
Kalender
hanyalah pagar yang kita tancapkan pada sang waktu. Sabtu, 31 Desember,
adalah hari terakhir di tahun 2016 dan akan kita masuki fajar baru 2017. Jika
harian ini menyebut tahun 2015 sebagai annus
horribilis yang berhasil dilalui, 2016 menjadi tahun penuh ujian. Ujian
terhadap demokrasi, ujian terhadap konstitusi, dan ujian terhadap eksistensi
negara hukum.
Dunia
memasuki tahun ketidakpastian. Dunia menantikan formasi kabinet Presiden
Amerika Serikat Donald Trump. Apakah sosok kabinet Trump akan mengubah AS
beralih menuju proteksionisme atau tetap mendukung globalisme. Kebangkitan
terorisme global menambah ketidakpastian baru dunia. Kejahatan terhadap
negara dan kemanusiaan terjadi di berbagai belahan dunia. Aksi teror terjadi
di sejumlah tempat. Terakhir, Duta Besar Rusia untuk Turki ditembak mati oleh
polisi Turki. Dunia masih direpotkan dengan sepak terjang Negara Islam di
Irak dan Suriah (NIIS).
Tahun
2016 ditandai dengan penuh amarah. Amarah terhadap globalisasi, amarah
terhadap demokrasi, amarah terhadap kemapanan, amarah terhadap keteraturan
informasi. Melalui jalan demokrasi, mayoritas rakyat Inggris memutuskan untuk
keluar dari Uni Eropa. Melalui jalur demokrasi, mayoritas rakyat AS memilih
Donald Trump sebagai presiden. Sebuah tindakan politik yang kadang sama
sekali tak terduga. Atas nama demokrasi dan kebebasan berekspresi,
demokratisasi media pun menemui bentuknya yang nyata.
Melalui
media sosial, ekspresi kebebasan mencapai puncaknya. Bebas sebebas-bebasnya.
Kedaulatan di media berada di jari-jari manusia. Ekspresi amarah juga bisa
didapati di media sosial. Ujaran kebencian dan hasutan memenuhi lini masa
dunia maya. Kebohongan telah menjadi industri informasi yang seharusnya
mencerahkan justru kadang menjadi sumber kecemasan.
Di
Indonesia, pengumpulan massa dalam jumlah besar terjadi. Syukur penyampaian
aspirasi dan doa untuk negeri itu berjalan damai. Namun, di sisi lain, ada
yang juga membaca aksi itu sebagai tidak berfungsinya partai politik sebagai
penyalur aspirasi masyarakat. Tidak ada yang mengira pula ruang kosong media
sosial dijadikan sarana untuk melampiaskan semua aspirasi politik yang
mungkin tersumbat.
Pemilu
2019 masih akan berlangsung dua tahun lagi. Namun, pertarungan soal itu akan
dimulai saat Undang-Undang Pemilu dibahas di DPR. Pemilu 2019 adalah pemilu
serentak yang akan menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu presiden
sekaligus. Itu adalah konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi. Apakah
pemilu presiden akan menggunakan ambang batas (presidential threshold) dan berbasiskan hasil pemilu legislatif
akan menjadi perdebatan panjang yang membutuhkan waktu serta kesabaran untuk
mencapai konsensus.
Pada
tahun 2017-lah desain pemilu serentak 2019 akan menjadi perdebatan elite
politik, pemilihan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) akan ditetapkan. Mereka akan menjadi penyelenggara Pemilu
2019 yang kompleks karena menggelar pemilu serentak lima kotak: pemilu DPR
pusat, pemilu Dewan Perwakilan Daerah, pemilu presiden, dan pemilu DPRD
provinsi, serta DPRD kabupaten/kota.
Rasanya,
memang terlalu cepat dan singkat bangsa ini kembali masuk ke pertarungan
politik. Pertarungan pilkada Jakarta terasa seperti pemilu presiden atau
malah ancang-ancang Pemilu Presiden 2019. Pilkada Jakarta sebenarnya hanya
salah satu dari 101 pilkada serentak yang digelar serentak 15 Februari 2017.
Sebagai ibu kota negara, pusat perekonomian, pusat perwakilan asing,
pemilihan gubernur Jakarta wajar menjadi perhatian publik dan dunia. Pilkada
Jakarta menjadi adu prestise tiga tokoh nasional, seperti presiden kelima
Indonesia yang juga Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
Megawati Soekarnoputri, presiden keenam Indonesia yang juga Ketua Umum Partai
Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia
Raya (Gerindra) Prabowo Subianto.
PDI-P
mendukung Gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat,
Susilo Bambang Yudhoyono mendukung Mayor Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana
Murni, serta Prabowo mencalonkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Jakarta menjadi pertarungan gengsi politik
antartokoh yang relasi personalnya sebagai sesama elite bangsa terlihat
kurang mulus.
Panasnya
politik Jakarta juga terkait dengan dugaan penodaan agama oleh Basuki Tjahaja
Purnama. Status terdakwa terhadap Basuki menjadi berkah elektoral bagi kedua
pesaingnya. Proses hukum itu akan memakan waktu dan akan melampaui 15
Februari 2017. Persidangannya telah digelar dan diteruskan.
Konsistensi
Perjalanan
tahun 2016 hingga 2017 akan menjadi ujian apakah Indonesia akan tetap setia
dan konsisten dalam jalur demokrasi atau berpaling ke sistem pemerintahan
lain. Gagasan teokrasi mulai terdengar. Ide kembali ke UUD 1945 mulai
disuarakan. Model pemerintahan dengan cara mobocracy menjadi fenomena yang
mengemuka di akhir tahun 2016. Isu makar dan pembentukan pemerintahan
transisi di media sosial mulai diwacanakan. Eksistensi negara hukum yang
mengedepankan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman juga tak kalah
mendapatkan ujian.
Situasi
inilah yang ditangkap Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letnan
Jenderal (Purn) Agus Widjojo. "Indonesia sepertinya berada di
persimpangan jalan," kata Agus saat memaparkan Indeks Ketahanan Nasional
Indonesia. Agus pun mengutip apa yang ditulis Juan J Linz soal teori transisi
demokrasi. Linz mengatakan, demokrasi terkonsolidasi jika demokrasi diyakini
sebagai the only game in town.
Menurut dia, semua proses politik haruslah melalui jalur demokrasi. Namun,
kemunculan ide untuk mengambil alih kekuasaan, membentuk pemerintahan
transisi-meskipun sementara pihak meragukannya -merupakan pertanda belum
terkonsolidasinya demokrasi Indonesia dan pertanda demokrasi Indonesia masih
sebatas prosedural dan belum menjadi substansial.
Demokrasi
diyakini hanya menguntungkan segelintir elite. Keyakinan itu dibuktikan
dengan makin tingginya kesenjangan sosial. Rasio gini kian melebar. Aset
sumber daya ekonomi hanya dikuasai beberapa orang di Indonesia. Kondisi pasca
reformasi inilah yang kemudian memunculkan perlawanan dari kelas menengah
Indonesia-baik yang sedang menurun atau bangkit-untuk melawan kemapanan
terhadap hasil demokrasi.
Perlawanan
kelas menengah itu mendapatkan salurannya melalui demokratisasi media, yakni
kehadiran media sosial. Media sosial bukan hanya menjadi tempat pamer dan
narsis, melainkan menjadi sangat politis. Pesan-pesan politik-entah benar
atau tidak-dengan cepat menjadi viral di media sosial. Ungkapan-ungkapan
kebencian (hate speech) mendapatkan
ruang di media sosial. Informasi disebar berdasarkan kesamaan pandangan
antara si penyebar dan kontennya. Akibatnya, Indonesia terbelah. Hampir tak
ada narasi atau konter narasi. Polarisasi media sosial menjadi polarisasi
bangsa.
Kondisi
inilah yang digambarkan Yudi Latif. Fondasi demokrasi Indonesia rapuh karena
sayap persatuan dan sayap keadilan terkoyak. Dan Indonesia memang di
persimpangan jalan. Ini tantangan bersama kita sebagai warga bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar