Soal
Asing Kelola Pulau Kecil
Muhamad Karim ; Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan
dan
Peradaban Maritim, Dosen
Bioindustri Universitas Trilogi
|
KORAN SINDO, 19 Januari
2017
Mencuatnya
kehendak pemerintah melibatkan pihak asing untuk mengelola pulau-pulau kecil
patut dipertanyakan. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan Pasal 33 UUD
1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Berarti
pulau-pulau kecil di wilayah Republik Indonesia merupakan bagian yang
dimaksud dalam ketentuan tersebut. Apalagi pihak asing boleh menamai pulaunya
dengan bahasa sendiri. Ini juga bermakna mengabaikan budaya dan bahasa
nasional maupun lokal yang menjadi kekhasan bangsa Indonesia.
Pemerintah
mesti memikirkan ulang soal kehendak ini agar tidak menimbulkan polemik yang
berkepanjangan. Bila hal ini terjadi, bukankah pemerintah telah menggadaikan
sebagian wilayah kita hingga membiarkan asing secara perlahan- lahan merampas
ruang laut dan sumber dayanya (ocean
grabbing)?
Ruang dan Sumber Daya
Mengutip
pandangan Bennet etal dalam Jurnal Marine Policy No 57/2015, perampasan ruang
laut dan sumber dayanya (ocean grabbing)
adalah : (i) upaya perampasan hak masyarakat atas sumber data kelautan
khususnya pulau kecil untuk memanfaatkan, mengontrol dan mengakses ruang laut
(space) maupun sumber daya (resouces)
yang terkandung di dalamnya buat menopang kehidupannya selama ini;
(ii)
perampasan dilakukan lewat proses tata kelola yang tidak wajar, yaitu
bertindak melemahkan keamanan atau kehidupan masyarakat yang berimbas
menurunkan kesejahteraan sosial dan kerusakan ekologi; (iii) perampasan ini
dilakukan lembaga-lembaga publik maupun kelompok kepentingan pribadi;
umpamanya dilakukan kementerian/lembaga atau pemerintah daerah.
Apabila
merujuk pada pandangan itu dikaitkan dengan kehendak pemerintah membolehkan
asing mengelola pulaupulau kecil, berarti bahwa akan terjadi “perampasan” dua
hal pokok, yaitu sumber daya maupun ruang pulau tersebut. Kategori
perampasannya meliputi, pertama, aktivitas pemanfaatan ruang laut dan sumber
daya pulau kecil secara tertutup buat kepentingan pribadi:
(i)
pemanfaatan ruang laut dan sumber daya pulau kecil berdalih “konservasi”,
tetapi meminggirkan perikanan skala kecil dan masyarakat adat; (ii)
pembangunan enclave buat wisata bahari (hotel, resor dan cottage) di pulau
kecil tetapi membatasi akses penduduk lokal (masyarakat adat) di kawasan
itu—contohnya Pulau Maratua di Kalimantan Timur yang dikelola orang Malaysia;
(iii)
pengambilalihan lahan pulau kecil yang menjadi milik komunal (masyarakat
adat) oleh pihak asing. Kasus yang sempat mencuat ialah penjualan Pulau Dua
dan sebagian lahan di Pulau Enggano kepada asing di Bengkulu Utara. Kemudian
(iv), penyewaan pulau kecil kepada pihak asing mengakibatkan akumulasi
kapital dan meminggirkan nelayan lokal di wilayah tersebut.
Contohnya
pulau Komodo dikelola investor Malaysia atau Pulau Gangga di Minahasa Utara
oleh investor asal Italia. Kedua, membolehkan asing mengelola pulau kecil
bakal mengubah rezim property right atas sumber dayanya. Hal ini bertentangan
dengan Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5/1960 karena sama saja
memprivatisasi pulau kecil.
Pasalnya
aturan ini mensyaratkan perubahan rezim property right hanya boleh dilakukan
lewat mekanisme reforma agraria. Jika asing menyewa atau “menguasai”
pulau-pulau, sama halnya pemerintah mengangkangi aturan yang berlaku.
Perubahan rezim ini juga akan mengubah regulasi sehingga menghilangkan hak
tenurial dan pengelolaan secara yurisdiksi serta hak mengambil sumber daya
pulau kecil bagi masyarakat lokal.
Imbasnya,
bakal lahir peraturan baru yang membatasi akses masyarakat lokal atas ruang
dan sumber daya pulau kecil yang semula menjadi milik bersama (common
property area). Ketiga, membolehkan asing mengelola pulau kecil juga bakal
mengubah rezim alokasi sumber daya.
Imbasnya,
aktivitas perikanantangkapdiperairan pesisir pulau kecil yang semula dikelola
nelayan tradisional bisa saja berubah menjadi pihak asing secara terpadu dan
modern. Misalnya, asing menjadikan pulau kecil sebagai pangkalan pendaratan
ikan, dan akses bagi kapal—kapalnya menangkap ikan di perairan Indonesia
hingga mengangkutnya keluar negeri baik secara legal maupun ilegal.
Imbasnya,
nelayan lokal akan gigit jari dan hasil tangkapannya kian merosot. Dan tidak
menutup kemungkinan aktivitas ilegal , unreported and unregulated (IUU)
fishing bakal lebih masif yang berkedok pengelolaan pulau kecil. Perubahan
ini juga berimbas pada timbulnya sentralisasi terhadap hak akses serta
pemanenan sumber daya pulau kecil yang jatuh pada pengelolaan asing seperti
terumbu karang dan mangrove.
Akibatnya
nelayan lokal dan masyarakat adat akan hilang aksesnya untuk mendapatkan
sumber daya tersebut. Keempat, pengelolaan asing di pulau kecil akan mengubah
rezim “pemanfaatan” sumber daya. Pemanfaatan sumber daya ikan yang selama ini
diperuntukkan bagi perikanan skala kecil berubah menjadi pemanfaatan lain.
Contohnya,
eksploitasi pasir laut di Kepulauan Riau sejak 1970-an hingga awal
2000—kemudian dijual ke Singapura buat reklamasi daratannya oleh pengusaha domestik
maupun asing— adalah fakta empiris yang tak terbantahkan. Imbasnya, nelayan
tradisional dan pemilik perikanan “kelong” di Kepulauan Riau mengalami
kemerosotan hasil tangkapan ikan hingga mencapai 60% serta kerusakan ekologi
laut akibat pengambilan pasir laut.
Strategis
dan Vital
Konsep
yang penulis uraikan di atas mencerminkan bahwa diperbolehkannya hak
pengelolaan pulau-pulau kecil kepada pihak asing masuk kategori “perampasan
atas ruang dan sumber daya”(ocean grabbing ) pulau kecil.
Memang
Pasal 26A ayat (1) UU Nomor 1/2014 tentang Perubahan UU Nomor 27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil membolehkan asing
mengelola pulau-pulau kecil atas izin dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Namun
pemerintah mestinya tidak mudah memberikan izin pengelolaan kepada asing.
Apalagi sebuah pulau kecil memiliki nilai strategis dan vital bagi
kepentingan nasional secara geopolitik, geostrategis, dan geoekonomi.
Misalnya Pulau Natuna, Biak, Morotai, dan pulau kecil yang berlokasi di perairan
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) hingga di perbatasan maritim negara
kita.
Mengapa?
Sebabnya, pertama, beberapa pulau kecil di Indonesia dimiliki oleh adat
berbentuk hak ulayat yang tidak bisa berubah dari rezim common pool resources menjadi private
property right. Kedua, ada sumber daya pulau kecil yang melekat dalam
kehidupan budaya masyarakat lokal (embedded)
sehingga tidak bisa dilakukan perubahan “rezim alokasi dan pemanfaatan sumber
daya” seperti Sasi di Maluku dan Papua, Mane’e di Minahasa dan Awig-awig di
Bali dan NTB.
Ketiga
, ada pulau yang kecil yang menjadi penanda batas teritorial Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang diakui dalam hukum laut internasional yang
menandakan Indonesia sebagai negara kepulauan. Jadi, niat pemerintah untuk
memperbolehkan asing untuk mengelola pulau kecil berpotensi menimbulkan
konflik baru di masyarakat dalam penguasaan dan pemilikan sumber dayanya.
Pasalnya,
belajar dari kasus-kasus pengelolaan lahan di darat buat perkebunan besar di
Indonesia, hal itu justru menimbulkan dampak sosial ekonomi bagi masyarakat
lokal dan adat. Akibat kebijakan itu, mereka kehilangan hak akses dan ruang
hidup serta sumber kehidupannya karena secara perlahan-lahan mengalami
perampasan lahan (land grabbing)
berkedok investasi perkebunan.
Apakah
niat pemerintah memperbolehkan asing mengelola pulau-pulau kecil akan
mengulangi hal serupa yang sudah berlangsung di daratan? Belajar dari kasus
tersebut, pemerintah mestinya mengurungkan niatnya untuk memperbolehkan asing
kelola pulau kecil sehingga tidak memproduksi kemiskinan dan kesenjangan baru
serta menambah daftar kerusakan ekologi perairannya.
Pasalnya,
pulau kecil bukan hanya berguna bagi kepentingan ekonomi semata, melainkan
juga menyangkut kedaulatan nasional yang memosisikan negara sebagai pemilik
ruang sekaligus sumber dayanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar