Siapa
Peduli?
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 21 Januari
2017
Ada
pertanyaan sangat mengganggu: sampai kapan Republik ini mampu bertahan?
Banyak orang melihat gelagat yang tidak baik: meningkatnya radikalisme,
menguatnya massa yang intoleran, kohesi bangsa yang terkikis, ketidakhormatan
pada institusi-institusi negara, hingga dugaan penghinaan terhadap lambang
negara bendera Merah Putih dan dasar negara Pancasila. Keterbelahan bangsa
ini sangat kentara, terlebih jika lewat dunia maya. Indeks ketahanan nasional
bangsa kita—sebagaimana kajian Lemhannas tahun 2016—hanya 2,60. Angka itu
diwarnai kuning, artinya ”kurang tangguh”, terkhusus untuk empat aspek, yaitu
ideologi (2,06), politik (2,43), sosial-budaya (2,14), dan sumber kekayaan
alam (2,56).
Apakah
kita masih peduli dengan kondisi kebangsaan kita? Kalau mencermati situasi
sosial politik saat ini, kepedulian itu sepertinya kian terkikis. Sebab,
bukan lagi ribut dalam tataran wacana perbedaan pendapat, melainkan pada
taraf gontok-gontokan fisik. Benturan massa sangat rawan. Demokrasi yang
begitu berisik sekarang ini jangan-jangan salah arah. Kebebasan, baik ucapan
maupun tindakan, semakin tidak berkualitas. Kebebasan tidak melahirkan
nilai-nilai dan karakter mulia sebagai anak bangsa. Kebebasan justru
menyuburkan kekasaran, kekurangajaran, dan kedengkian. Dunia maya ibarat
ruangan pengap yang dipenuhi dengan caci-maki dan amarah. Di dunia maya,
anehnya, berita bohong (hoax)
justru paling dipercaya.
Dunia
nyata juga tak kalah hebohnya. Paling sederhana adalah budaya dialog yang
rasa-rasanya semakin luntur. Sekarang ini setiap orang sebebas-bebasnya
berkomentar tanpa mau memahami setiap intonasi, substansi, atau reaksi pihak
lain. Tak ada peduli lagi, apakah omongan itu akan melukai orang lain,
komunitas lain, etnik lain, atau agama lain. Atau, boleh jadi memang itulah
tujuannya karena merasa di pihak yang paling benar. Peribahasa lama
menyatakan bahwa kebenaran saja kalau disampaikan tidak pas, tidak membawa
kebaikan. Namun, siapa peduli?
Tokoh
bangsa yang juga Ketua Partai Masyumi M Natsir ketika berpidato pada
peringatan 11 tahun partai tersebut, 7 November 1956, menegaskan, ”....
Seluruh pendukung demokrasi yang memikul tanggung jawab, baik yang berada
dalam lapangan perlengkapan negara dari atas sampai ke bawah maupun yang
berada dalam aparatur, baik sipil maupun militer, ataupun pemikul tanggung
jawab di partai-partai yang mana pun, baiklah sama-sama kita mencari bahwa
pokok persoalan tidak akan terjawab dengan menunjuk-nunjuk. Pihak lain
seolah-olah yang mempunyai telunjuk itu terlepas sama sekali dari kesalahan
dan kekeliruan.”
Pidato
Natsir puluhan tahun silam itu masih relevan sampai hari ini untuk
mengingatkan siapa pun kita yang merasa paling benar atau merasa punya
kekuatan massa. Republik ini adalah negara hukum, bukan negara atas dasar
kekuatan kekuasaan. Kekuatan massa (rakyat) yang anarkistis justru menjadi
ancaman bangsa. Kekuatan rakyat seharusnya menjadi energi yang menghidupkan
bangsa ini.
Di
dalam demokrasi, massa memang merupakan elemen paling penting. Namun, ketika
massa rakyat memperlihatkan sikap dan tindakan semakin brutal terlebih
berkelindan dengan agenda-agenda politik, negara tentu tak bisa berdiam diri.
Ada orang yang merasa ”paling Indonesia”, tetapi tampak kurang sinkron dengan
tindakan atau perbuatannya. Dalam konteks ini, negara harus memastikan bahwa
hukum benar-benar tegak terhadap siapa pun yang bertindak di luar hukum.
Penegakan hukum yang tegas juga akan mengawal indahnya demokrasi.
Karena
itu, negara dan bangsa ini tidak boleh letih meskipun di panggung politik
juga sering terlihat sejumlah elite politik berakrobat. Sekadar contoh, ada
politikus parlemen yang semestinya berperan memperkuat kerja-kerja parlemen
mengawasi pemerintah, justru malah ikut turun ke jalanan alias di luar
parlemen.
Bahkan,
dalam kasus tuduhan makar sejumlah orang, misalnya, pimpinan parlemen meminta
polisi menghentikan kasusnya karena dianggap tidak ada bukti kuat. Bukankah
lebih elegan parlemen mengawal proses hukum kasus tersebut agar sesuai
koridor hukum dan bukan tekanan kekuasaan. Itulah yang harus dikawal dan
dipastikan, bukan malah melakukan intervensi pihak kepolisian.
Namun,
begitulah panggung politik kita yang lebih banyak mempertontonkan drama yang
mengecewakan. Lihat saja parpol semakin pragmatis. Parpol gagal melakukan
kaderisasi untuk melahirkan pemimpin-pemimpin baru terbaik. Satu bukti
teraktual, fenomena calon tunggal yang menguat. Jika pada 2015, dari 269
daerah yang menggelar pilkada serentak, ada tiga daerah bercalon tunggal (1,1
persen), pada pilkada 2017 ini dari 101 daerah, ada 9 daerah bercalon tunggal
(9 persen). Jawabannya, karena parpol cuma ingin menang pilkada. Siapa
peduli?
Gejala
semacam itu sesungguhnya tidak sehat bagi demokrasi. Di Maluku Tengah bahkan
sampai ada perlawanan rakyat dengan cara bertekad memenangi kotak kosong.
Barangkali jadi satu cara untuk membenahi demokrasi yang masih awut-awutan,
yang ujung-ujungnya merusak kohesivitas bangsa. Itu yang tidak boleh terjadi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar