Pada
Dasarnya Kita Enggan Berubah
AS Laksana ; Sastrawan;
Pengarang; Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA POS, 02 Januari
2017
ORANG-ORANG
Barat memiliki tradisi membuat resolusi tahun baru. Mereka berpikir bahwa
akhir tahun adalah waktu yang tepat untuk meninjau kembali perjalanan selama
satu tahun, lalu pada awal tahun mereka membuat janji kepada diri sendiri
untuk berubah. Kebanyakan dari mereka gagal.
Hasil
riset tentang resolusi tahun baru yang ditampilkan di situs web Statistic
Brain menyebutkan, dari seratus orang, hanya 8 yang berhasil memenuhi janji
kepada diri sendiri, 92 sisanya ingkar dan balik ke kebiasaan semula.
Karena
dunia sekarang ini konon tanpa batas dan kebiasaan orang lain bisa menulari
kita, sebagian dari kita tertular juga untuk membuat resolusi tahun baru.
Mungkin kita berjanji untuk menurunkan berat badan, atau berhenti merokok,
atau bekerja lebih tekun, dan sebagainya. Pendeknya, kita berjanji menjadi lebih
baik dan berupaya menemukan kembali diri kita yang sebenarnya.
Pada
hari-hari pertama setelah tahun baru kita bersemangat menjalankannya. Dan
semangat itu berkobar sampai dua pekan. Lalu merosot pada pekan ketiga, lalu
kita mulai merasa tersiksa pada pekan keempat dan tergelincir pada kebiasaan
lama ketika memasuki Februari. Pada akhir tahun nanti kita membuat resolusi
lagi dan gagal lagi.
Saya
tidak mendapatkan statistik tentang keberhasilan dan kegagalan orang
Indonesia dalam memenuhi resolusi tahun baru. Kelihatannya tidak ada lembaga
yang berpikir untuk melakukan riset tentang itu; kita lebih menggemari riset
politik.
Katakanlah tingkat keberhasilan kita juga 8
persen. Itu angka yang memberi gambaran bahwa kebanyakan orang sesungguhnya
hanya ingin berubah, tetapi tidak benar-benar memiliki kesanggupan untuk
mewujudkannya. Dengan kata lain, kita adalah makhluk yang cenderung melanggar
janji kepada diri sendiri.
Kita meminta orang lain menepati janji,
tetapi kita tidak sanggup menepati janji kepada diri sendiri. Itu sebuah
ironi. Dan saya juga makhluk seperti itu. Saya juga sering membuat janji
kepada diri sendiri dan sering sekali mengingkarinya. Kesimpulan sementara
untuk kecenderungan itu, pada dasarnya semua orang tidak sanggup berubah
sampai mereka membuktikan sebaliknya.
Dengan kesimpulan demikian, saya menjadi
gelagapan ketika beberapa hari lalu ada wartawan yang menanyakan apa resolusi
tahun baru saya sebagai penulis. Yang ada di benak hanya sebuah kelakar bahwa
resolusi tahun baru saya adalah mengirimkan anak bungsu saya ke Brunei. Saya
pikir dia lebih cocok hidup di sana. Sebab, dia fasih berbahasa Melayu.
Suatu pagi hari Minggu, saya terbangun dari
tidur karena anak-anak ribut main loncat-loncatan di tempat tidur. Sambil
menggeliat saya bilang, ”Kalian ini berisik sekali.”
Anak saya yang paling kecil menjawab dengan
muka didekatkan ke muka saya, ”Itu masalah kamu, bukan masalah saye.”
Dia mengucapkannya persis orang Malaysia
bicara. Dia fasih karena setiap hari menonton serial Upin & Ipin dan
Boboiboy. Jika tidak di televisi, dia menontonnya di kanal YouTube. Saya
harus akui itu serial yang menarik bagi anak-anak.
Upin & Ipin mengingatkan saya pada
serial boneka Si Unyil, yang pernah kita miliki dulu. Film Si Unyil dipenuhi
karakter-karakter yang hebat dan sampai sekarang beberapa masih saya ingat.
Selain Unyil sebagai tokoh utama, banyak tokoh kuat di film tersebut: Ada Pak
Raden, ada si plontos Cuplis, anak Tionghoa Meilani, Ucrit, dan Pak Ogah.
Semua melekat dalam ingatan. Anda tahu, setiap karakter yang kuat selalu
melekat dalam ingatan.
Film Si Unyil menunjukkan dan memberi
contoh melalui cerita yang menyenangkan tentang harmoni di dalam keberagaman.
Malaysia memilikinya sekarang, kita memilikinya dulu. Saya senang sekarang
ini kita memiliki serial animasi Adit Sopo Jarwo dan berharap ada serial
anak-anak lainnya produksi dalam negeri yang sanggup membuat anak-anak
tertarik.
Tetapi, itu hanya harapan, yang
keberhasilannya 100 persen bergantung orang lain. Lalu, apa yang bisa saya lakukan
untuk diri sendiri? Satu-satunya hal serius yang paling ingin saya lakukan
adalah bangun tidur lebih pagi ketimbang anak-anak saya, kemudian membaca
buku atau melakukan akting seolah-olah saya khusyuk membaca buku. Yang
penting, ketika mereka berangkat sekolah, mereka melihat saya membaca buku.
Malamnya saya akan mengulangi akting
membaca lagi sehingga mereka berpikir ayah mereka memang gemar membaca buku.
Saya tidak ingin membuat mereka menyimpan pikiran buruk bahwa ayah mereka
hanya khusyuk dengan ponsel seharian dan menjadi kumal menikmati pergaulan di
dunia maya, yang kian sering menghadirkan ujaran-ujaran banal dan penuh
kebencian, juga membikin kita frustrasi.
Saya meyakini bahwa anak-anak adalah peniru
yang baik. Misalkan mereka enggan meniru kebiasaan yang saya perlihatkan,
saya sudah merancang, Februari nanti saya akan mengatakan kepada mereka, ”Ayo
kita bikin janji. Kalian boleh melakukan apa pun kesenangan kalian, tetapi
saya minta, dari 24 jam yang kalian miliki, kalian membaca buku dua jam
setiap hari. Boleh buku apa saja yang kalian sukai.”
Itu hanya resolusi yang sepele dan saya
berharap bisa memenuhi janji kepada diri sendiri. Kali ini saya ingin
menghargai diri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar