Tahun
Baru dan Kritik Terhadap Ulama
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan,
Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 02 Januari
2017
Pernyataan
Karyono Ibnu Ahmad, seorang pemuka agama Islam menjadi viral di ujung tahun
lalu. Kata dia, bakar jagung di akhir tahun itu bukan syariat Islam.
Pernyataan itu dipotong menjadi "membakar jagung bukan ajaran
Islam", yang tentu saja jadi terdengar konyol. Pernyataan ini adalah
bagian dari kampanye yang dilakukan para ulama dan pemuka agama Islam dalam
suasana tahun baru. Ini pun bagian dari kampanye besar, agar umat Islam tidak
ikut merayakan hal-hal yang tidak bersumber dari Islam, seperti tahun baru,
Natal, Hari Valentine, dan sebagainya. Alasannya, perayaan-perayaan itu
menjauhkan umat Islam dari iman Islam. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi,
merusak akidah.
Sebenarnya
tidak hanya soal perayaan. Ada banyak hal yang dikampanyekan ulama. Salah
satunya konser musik. Kita ingat, beberapa tahun yang lalu konser pemusik
Lady Gaga pernah gagal, karena suara ulama. Ini pun bukan khas Indonesia
saja. Dua puluh tahun yang lalu, saat saya tinggal di Kuala Lumpur, ada
konser grup musik Scorpions. Di media para ulama mengeluhkan perilaku
anak-anak muda yang mau antri masuk ke tempat konser, pada waktu salat magrib
dan isya.
Ini
juga adalah keluhan sepanjang zaman. Ulama-ulama Islam merasa bahwa umat
mereka sedang diserbu oleh suatu kekuatan lain, diarahkan untuk ikut ke sana,
sementara mereka tak berdaya mencegahnya. Temanya selalu soal gaya
berpakaian, cara bergaul, dan cara menikmati kesenangan hidup. Keluhan ini
sering kali terdengar tak berdaya, dan menjadi sia-sia.
Apa
masalahnya? Dunia Islam memang bukan pemimpin peradaban saat ini. Apa boleh
buat, peradaban yang bukan pemimpin normalnya memang menjadi pengekor. Kita
membeli berbagai produk yang diciptakan dan diproduksi di dunia lain, bukan
dari dunia Islam. Produk-produk itu selalu datang disertai dengan gaya hidup.
Kita mengambilnya dalam satu paket, produk+gaya hidup. Nah, omelan para ulama
tadi adalah usaha untuk memisahkan antara produk dan gaya hidup. Suatu usaha
yang memang mustahil berhasil.
Menyedihkan
memang. Akhirnya para ulama sekedar menjadi tukang omel. Mereka sebenarnya
bisa berperan lebih, menyampaikan pesan yang lebih fundamental. Apa itu?
Yaitu soal bagaimana menjadi pemenang, sehingga bisa menjadi pemimpin
peradaban. Bagaimana caranya? Dengan kerja keras, disiplin, jujur, tertib,
dan sebagainya. Sayangnya pesan-pesan fundamental ini justru jarang
dihasilkan oleh ulama.
Masalah
kedua adalah soal komunikasi. Para ulama kita sering bersikap seperti polisi
moral. Di rumah-rumah para orang tua juga begitu. Mereka punya satu daftar
panjang, berisi "jangan". Jangan ini, jangan itu, ini haram, itu tak
baik, itu merusak, dan seterusnya. Itu adalah cara komunikasi yang muskil.
Karena itu, ucapan mereka sering sekedar menjadi angin lalu.
Ada
banyak ulama yang tidak mampu mengemas pesan secara baik. Menyampaikan dakwah
yang simpatik, dekat dengan umat. Mereka tidak turun membaur bersama umat,
tapi lebih suka berdiri di menara tinggi, berteriak-teriak memberi instruksi.
Kemudian mereka lelah, menyadari bahwa instruksi mereka tak dituruti.
Demikian pula, banyak orang tua yang begitu. Akhirnya mereka hanya jadi
tukang keluh. "Anak-anak tak patuh," kata mereka.
Di
puncak persoalan, masalahnya adalah para ulama itu juga bagian dari pelaku
suatu gaya hidup. Mereka sebenarnya bagian dari gaya hidup yang mereka
kritik. Gaya hidup mereka sendiri tak jauh-jauh dari itu, hanya berbeda
bagian saja. Di suatu acara yang saya hadiri, saya menyaksikan seorang
petinggi MUI datang naik mobil mewah. Kedatangan seorang ustaz seleb naik
mobil mewah dalam sebuah acara TV di tengah keriuhan soal penistaan Islam di
ujung tahun lalu juga sempat menjadi viral di dunia maya. Lho, apa
hubungannya? Itu adalah suatu cara hidup hedonis. Itu adalah sisi lain dari
hedonisme yang dipraktekkan oleh orang-orang yang merayakan tahun baru tadi.
Artinya,
para ulama itu dipandang hanya sibuk mengomeli gaya hidup orang lain, tapi
abai terhadap gaya hidup mereka sendiri. Tapi, apa salahnya punya mobil
mewah? Tak salah. Pasti tak salah, karena ulama selalu punya dalil untuk
membenarkannya. Sementara di lain pihak, umat tak punya wewenang untuk berdalil.
Mereka memilih untuk mengabaikan saja omelan para ulama. Atau, menjadikannya
bahan olok-olok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar