Mendidik
dengan Rendah Hati
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi
Media Sosial; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, untuk menemani
istri yang menempuh studi doktoralnya
|
DETIKNEWS, 03 Januari
2017
"Jadi
bentuknya dinosaurus tuh seperti ini, Pak," kata Hayun, anak saya. Ia
mengucapkannya sambil menunjukkan beberapa patung binatang masa lalu
tersebut, saat kami tengah berjalan-jalan di Melbourne Museum. "Tapi it can be right, it can be
wrong." Bisa benar, bisa salah, katanya.
Lho,
siapa yang bilang begitu? Saya bertanya.
"Ya
guruku, Mrs Alison," jawab Hayun. "Bentuk yang ini bisa benar, bisa
salah. Soalnya hewan-hewan ini sudah nggak ada yang hidup lagi, dan scientist cuma guessing aja pakai tulang-tulang."
Wow.
Saya langsung terkesan dengan jawaban itu. Lebih tepatnya, saya terkesan
dengan penjelasan guru sekolah Hayun. Murid kelas satu SD sudah diberi bonus
keterangan, bahwa apa yang dipaparkan guru mereka adalah hal yang relatif,
sekaligus rapuh. Bisa benar, namun bisa juga salah. Entahlah, apakah itu
memang metode pengajaran standar di Australia, ataukah cuma karena gurunya
Hayun saja yang kebetulan luar biasa.
Saya
tidak tahu apa istilah pedagogisnya. Bolehkah saya sebut dengan... mmm...
pendidikan yang rendah hati? Hehehe. Terdengar kurang akademis, ya. Namun
saya kira itu bisa jadi satu poin menarik.
Selama
ini, kita selalu resah melihat orang-orang yang berpikiran ekstrem, khususnya
dalam hal keyakinan beragama. Kita galau melihat mereka seolah ingin
memaksakan tafsir kebenaran versi mereka sendiri kepada segenap umat manusia,
bahkan kerapkali kekerasan yang jadi jalannya. Namun pernahkah kita gelisah
menyaksikan orang yang juga tak kalah ekstremnya dalam menjunjung tinggi
tafsir pengetahuan menurut apa yang ia dapatkan di bangku pendidikannya?
Bersikap
fanatik buta kepada ilmu pengetahuan justru melanggar fitrah ilmu itu
sendiri. Ilmu adalah sesuatu yang terus berkembang. Terus berdialog, saling
berbantahan, dan membentuk ilmu baru. Demikian terus menerus yang terjadi
sepanjang sejarah. Pengondisian anak didik untuk memposisikan kebenaran
ilmiah yang ia dapatkan sebagai kebenaran final, rasa-rasanya agak berbahaya.
Akibatnya bukan cuma kejumudan, melainkan juga ketakutan untuk bertanya.
Dengan
ketakutan untuk bertanya, produk pendidikan yang kita hasilkan hanyalah
mesin-mesin penghafal, mesin-mesin peng-copy-paste. Rangsangan untuk membuat
eksplorasi lebih jauh jadi minim. Motivasi untuk membuat karya-karya baru
juga rendah.
Barangkali
saya lebay. Namun saya punya contoh yang paling sederhana. Saya ingat, ketika
saya SD, seorang teman disalahkan guru kami karena mengatakan kucing makan
tulang. "Yang benar kucing makan... tikuuus," begitu kata Bu Guru.
Belasan tahun setelahnya, lembar jawaban keponakan saya dicoret oleh gurunya,
karena dia menyebut bahwa yang mencuci baju di rumah adalah ayah. "Yang
benar, yang mencuci baju adalah ibu," begitu teori dari gurunya.
Repotnya,
karena teori-teori tersebut diposisikan sebagai kebenaran final, maka murid
tak bisa memprotes. Kakak ipar saya memang sampai-sampai datang ke sekolah
untuk menggugat teori "Hanya ibu yang mencuci baju." Namun tetap
saja upaya dialog yang agak keras mesti dijalankan dulu, meyakinkan Bu Guru
bahwa memang di rumah kakak ipar saya itu ayahlah yang mencuci baju, hingga
akhirnya pihak guru menerimanya.
Kenapa
sampai segitunya? Kira-kira, ada dua sebabnya. Pertama, karena guru dan buku
sekolah hanya punya satu versi tunggal atas "kebenaran". Kedua,
karena belum pernah terdengar semangat mendidik yang berendah hati dengan
mengatakan "Anak-anak, bisa jadi apa yang Ibu-Bapak Guru sampaikan ini
benar, namun bisa jadi juga ini salah."
Sependek
yang pernah saya baca, pendidikan bukanlah semata proses mengoleksi dan
menjejalkan hal-hal baru ke otak anak didik. Jauh di atas itu, pendidikan
adalah perkara membentuk pola pikir. Pada titik inilah, sikap berendah hati
dalam mendidik naga-naganya mulai perlu diperhatikan. Saya jadi ingat kalimat
luar biasa dari Pak Guru J Sumardianta, salah satu guru paling keren di
Jogja. Dalam sebuah kesempatan ngopi-ngopi lebih dari setahun silam, beliau
bersabda di hadapan saya,
"Di
zaman ini, kebutuhan murid kepada gurunya bukan lagi knowledge, melainkan wisdom.
Lha kalau cuma pengetahuan, wong lewat Google, lewat Wikipedia, mereka dengan
gampang mengakses pengetahuan, kok. Mereka hanya butuh wisdom. Kearifan." Itu dia. Itu dia.
Tulisan
ini tidak saya maksudkan untuk menggambarkan bahwa pendidikan di negeri kita
buruk sekali. Sama sekali tidak. Toh, peristiwa-peristiwa kecil yang saya
ceritakan di atas terjadi bertahun-tahun silam. Saya yakin, seiring zaman
yang terus bergerak, pelan-pelan semua akan berubah. Guru era sekarang sudah
memiliki sistem remunerasi sendiri, yang berbeda dengan guru-guru di masa
lalu. Hukum pasar tenaga kerja akan membuktikan, semakin guru sejahtera,
profesi ini akan semakin diminati. Dengan demikian, bibit-bibit muda yang
tajir dan cerdas tak akan lagi malu-malu untuk berkompetisi menjadi guru.
Kemudian,
satu lagi. Pada penerbangan menuju Jakarta beberapa pekan lalu, saya
dipertemukan Tuhan dengan selembar koran gratisan. Di salah satu halamannya
tampak satu berita penting namun kurang ramai dibicarakan. Dikabarkan,
Direktorat Sejarah pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah
menyiapkan satu buku babon sebagai panduan guru untuk pendampingan pendidikan
sejarah, mulai jenjang sekolah dasar hingga menengah. Dengan buku tersebut,
diharapkan perbedaan sudut pandang dalam materi pelajaran sejarah dapat
terjelaskan.
Ini
menarik, dan wajib kita dukung. Sejak dulu, pelajaran sejarah di sekolah
disajikan dalam versi tunggal. Anak didik tak banyak yang tahu bahwa sejarah
adalah tafsir, ilmuwan sejarah tak cuma satu, dan kerapkali setiap kelompok
sejarawan menggali dan membangun interpretasi masing-masing atas peristiwa
demi peristiwa.
Situasi
semacam ini rentan memunculkan kegagapan, saat murid mulai masuk ke
lingkungan perbincangan yang lebih luas dan menjumpai narasi-narasi lain yang
bertentangan dengan yang selama ini mereka pelajari. Umumnya, mereka akan
sangat sulit menerima versi lain tersebut, bahkan menganggapnya sebagai
ancaman.
Repotnya,
selama puluhan tahun pun guru-guru kita punya pandangan yang sama. Lha ya
jelas, wong buku yang dibaca oleh guru dan murid juga sama, kok. Maka di
situlah pentingnya buku panduan untuk guru dalam menjelaskan perbedaan versi
sejarah, sebagaimana yang saya ceritakan barusan.
Tenang
saja, saya bukan sales buku, dan tidak terkait urusan apa pun dengan
penerbitan buku itu. Namun membayangkan bahwa anak-anak kita akan mulai
melatih kebijaksanaan demikian dalam belajar, bahwa materi yang mereka
dapatkan (apalagi dalam ranah sosial-humaniora) bukan kebenaran mutlak, bahwa
selalu terbuka kemungkinan bagi mereka untuk menggali dan terus menggali, itu
menyenangkan sekali.
Kelak
mereka akan berkembang menjadi generasi yang lebih haus lagi akan
pengetahuan, selalu bergairah untuk terus menyelam lebih dalam. Terlebih
lagi, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang tidak kagetan, tidak paranoid,
dan tidak sedikit-sedikit merasa terancam.
Eh,
tapi yang barusan ini juga cuma pandangan saya lho ya. Bisa jadi benar, bisa
jadi juga salah. Hehehe. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar