Media
Sosial dan Gerakan Politik
Noor Huda Ismail ; Pendiri
Yayasan Prasasti Perdamaian, LSM yang Melakukan Pendampingan atas Eks
Narapidana Terorisme di Indonesia
|
KOMPAS, 31 Desember
2016
Kesigapan
Densus 88 menggulung jaringan teroris yang berserakan di Tangerang,
Payakumbuh, dan Batam layak diapresiasi. Sejak bom Hotel JW Marriott tahun
2009, tidak kurang dari 50 rencana serangan teror telah digagalkan oleh
Densus 88. Namun, satu hal yang paling penting untuk disikapi bersama,
seperti diungkapkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, sebaran
ideologi, taktik serangan, pendanaan—juga perekrutan—kali ini dilakukan
secara online (daring), terutama melalui media sosial.
Bagaimana media sosial
mengubah dinamika terorisme di Indonesia?
Dalam
buku The Logic of Connective Action
(2011), Bennett dan Segerberg mengingatkan bahwa nalar kerja tradisional
sebuah gerakan politik, termasuk terorisme, yang menekankan collective action (aksi kelompok) akan
tergerus dengan nalar kerja baru gerakan politik yang bersifat connective action’(aksi yang dilakukan
karena kesamaan ide).
Dalam
pola baru ini, keterlibatan dalam gerakan politik menjadi lebih cair dan
bersikap sangat personal. Pada pola lama, mengharuskan adanya
pengorganisasian yang tersusun rapi. Dalam pola ini, identitas diri melebur
jadi identitas kelompok. Sementara dalam pola baru, untuk jadi pelaku
kekerasan, orang tak harus repot terlebih dahulu menjadi anggota sebuah
kelompok jihad yang selama ini sudah dikenal, seperti Jamaah Islamiyah,
Jamaah Anshorut Tauhid, dan Jamaah Anshorut Daulah. Kelompok-kelompok ini
hanya dijadikan ”batu loncatan” oleh mereka untuk membentuk kelompok baru
yang lebih ganas.
Dalam
skenario pola baru, selama orang itu connect atau ”nyambung” secara ideologi,
mereka akan dengan mudah tergerak untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut
meski mereka tidak pernah bertemu sama sekali. Barangkali, ini yang
menjelaskan kenapa calon ”pengantin” (pelaku bom bunuh diri) Dian Yulia Novi
(27), yang hanya ”mengaji” lewat Facebook itu, kemudian ”nyambung” dengan
jaringan Bahrun Naim yang berada di Suriah bersama ISIS/NIIS.
Lebih
menarik lagi, pola baru ini ditandai munculnya kecerdikan mereka dalam
memberikan gaya hidup dan harapan baru, meskipun secara daring, ketika ada calon
anggota yang mengalami kepedihan hidup, seperti sulitnya mendapatkan jodoh.
Celah inilah yang dipakai sebagai modus para ISISers—julukan bagi pendukung
NIIS di Indonesia, seperti Sholihin. Ia memberikan jebakan asmara berkedok
jihad kepada Dian, TKW asal Cirebon yang menjadi tulang punggung keluarganya
itu.
Meski
kedua mempelai maut ini mengaku bergerak atas perintah Bahrun Naim, sejatinya
mereka tak pernah bertemu secara langsung dengannya. Bagi Sholihin, sarjana
agama yang terlahir dari keluarga NU di Jawa Timur ini, berbaiat atau sumpah
setia kepada pemimpin tertinggi NIIS, Abu Bakar al-Baghdadi, itu cukup
dilafalkan dalam hati. Sudah merasa ”nyambung” dengan ideologi sang khalifah itu,
menurut Sholihin, adalah syarat minimal menjadi bagian dari NIIS.
Peleburan identitas
Oleh
karena itu, dengan memakai cara pandang The
Logic of Connective Action milik Bennett dan Segerberg, media sosial itu
akan berpengaruh secara efektif kepada tiga kelompok.
Pertama
adalah group of interest, yaitu
kelompok yang memang sejak awal sudah tertarik dan memimpikan lahirnya sebuah
alternatif sistem politik baru yang tidak sekuler. Mereka setuju dan
mendukung konsep khilafah, tetapi belum menjadi bagian dari khilafah secara
resmi dengan berbaiat misalnya.
Jangan
dibayangkan mereka yang masuk dalam kelompok ini adalah kaum pinggiran
seperti santri yang sarungan dan atau lelaki bercelana ngatung dan berjenggot
atau perempuan yang bercadar. Tidak sedikit dari kalangan menengah, bahkan
menengah-atas, yang sudah belajar di luar negeri pun tergoda dengan pesona
khilafah ini. Bagi mereka, sistem sekuler neoliberal kapitalis telah
menjauhkan mereka dari fitrah seorang manusia yang punya hubungan vertikal
kepada Tuhannya.
Kedua
adalah community of practice atau
memang mereka yang sudah mempraktikkan ide mereka itu dengan jadi bagian dari
gerakan yang menolak sistem sekuler ini. Di Indonesia, gerakan ini tidak
tunggal dan terkadang bermusuhan satu dengan lainnya.
Misalnya
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) secara terbuka selalu mengatakan bahwa
permasalahan sosial politik dan ekonomi di Indonesia ini akan terselesaikan
jika Indonesia meninggalkan Pancasila dan beralih ke sistem khilafah. Namun,
HTI pun secara tegas menolak cara-cara kekerasan, termasuk cara teror yang
dilakukan para ISISers di Indonesia. Tidak bisa dimungkiri pula, ada
sekelompok kecil kalangan penganut mazhab Syiah di Indonesia yang memimpikan
lahirnya sistem Syiah ala negara Iran. Sebagian dari mereka sudah berhasil
masuk ke dalam sistem parlemen melalui sistem demokrasi yang resmi. Dukungan,
terutama dana dari negeri para Mullah ini, mengucur kepada gerakan ini.
Ketiga,
activism atau para praktisi yang
secara aktif merekrut anggota baru untuk mendukung gerakan mereka melalui
media sosial. Di sinilah peran Bahrun Naim, yang melalui telegram bersandi
khusus menginspirasi, mengatur dan mendanai gerakan teror di Indonesia.
Media
sosial menjadi arena pembentukan identitas diri yang secara bertahap melebur
menjadi identitas kelompok. Mereka tergabung dengan jaringan Bahrun Naim ini
dengan pola sel terputus dan tidak saling mengenal satu dengan yang lainnya.
Media sosial mempercepat proses peleburan identitas individu menjadi
identitas kelompok baru.
Pola
baru ini lebih mengerikan. Menurut Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito
Karnavian, dari pola ini akan memungkinkan lahirnya fenomena lone wolfe (serigala kesepian). Ini
adalah istilah dalam kajian terorisme yang berarti fenomena aksi terorisme
yang dilakukan oleh seseorang secara mandiri. Bisa jadi ini terjadi pada
anak-anak kita, terutama ketika mereka lebih menemukan identitas diri di
dunia maya daripada dunia nyata. Apalagi jika kita sebagai orangtua gagal
hadir pada saat mereka galau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar