Keberagaman
Teuku Kemal Fasya ; Dewan
Pakar NU Aceh;
Baru Menyelesaikan Riset tentang
Genealogi Keberagaman dan Inklusi Sosial Banda Aceh, Kerja Sama Lakpesdam NU
Aceh dan The Asia Foundation
|
KOMPAS, 31 Desember
2016
Silakan
cari intan-berlian keberagaman sekemilau kampung kelahiran saya, Gampong
Mulia, Banda Aceh. Mungkin itu satu-satunya kampung di Indonesia—atau bahkan
di dunia—berpenduduk mayoritas Muslim yang berdiri tiga gereja sekaligus.
Tiga dari empat gereja di Banda Aceh berada di Gampong Mulia.
Demikian
pula wihara. Dari empat wihara yang terdapat di Banda Aceh, tiga di antaranya
berdiri di sana. Apakah secara sosio-kultural kampung itu semulia namanya?
Tidak juga. Seperti galibnya kampung-kota lain, ada saja problem sosial dan
kenakalan remaja yang terjadi.
Namun,
untuk masalah konflik bernuansa agama dan keyakinan, jangan harap bisa
dipancing. Padahal, beberapa gereja dan wihara posisinya berdekatan dengan
masjid dan meunasah (mushala) yang gaung peribadatan dan hilir-mudik umat
pasti terasa setiap saat. Ini juga bukan kampung ”sekuler”. Setiap malam
minggu masih terdengar dalailul-khairat:
lantunan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan doa kepada ulama terdahulu.
Empiris keberagaman
Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU)
Aceh beberapa tahun ini melakukan program pembinaan kampung-kampung
keberagaman di Banda Aceh, termasuk Gampong Mulia. Namun, kampung-kampung itu
bukan beragam dan toleran karena program itu. Jauh sebelum itu, sejarah
keberagaman telah tumbuh bagai pohon yang kokoh, bertunas dan berbuah dalam
interaksi sosial, serta akarnya menghunjam dalam kognisi sosial masyarakat.
Secara
empiris, fakta keberagaman dan rinai-rinai keunikan telah terbentuk puluhan
hingga ratusan tahun. Kampung-kampung toleransi itu menginisiasi dan
mempromosi nilai-nilai inklusif yang merupakan hasil interaksi dinamis, baik
oleh masyarakat asli, pendatang, urban, dan komunitas diaspora.
Pengalaman
itu menunjukkan bahwa masyarakat yang lama berkhidmat dalam keberagaman
sebenarnya memiliki daya untuk membangkitkan energi perjumpaan
sosial-ekonomi-kultural secara kreatif. Potret mayoritas- minoritas tidak
pernah menebal menjadi sumbu konflik di dalam masyarakat seperti itu. Relasi
mayoritas-minoritas terkaburkan oleh sikap saling memerlukan dan bergantung.
Pandangan itu kemudian membentuk budaya bersama dan hasrat untuk satu;
memakai istilah Ernest Renan:Le Desir D’Etre Ensemble. Kampung seperti itu
ikut membentuk mekanisme mitigasi konflik sosial secara alamiah dan menjadi
bendungan toleransi yang saling menghargai.
Masyarakat
pendatang pun tak pernah menajamkan identitasnya sehingga melahirkan sentimen
dari kaum tempatan. Masyarakat Tionghoa-Banda Aceh yang sebagian besar
beretnis Khek dan Hokkian tak memiliki relasi dan imajinasi dengan tanah
leluhurnya. Sebagian mereka berbahasa Aceh dan tidak lagi menguasai aksara
Han. Sejarah etnis Tionghoa telah bermigrasi ke Aceh sejak abad ke-13 hingga
1950-an. Peunayong atau pecinan di Banda Aceh telah terbentuk sejak abad
ke-18.
Pencarian
asal-usul nama Peunayong sendiri juga tidak ditemukan dalam bahasa Mandarin
atau sub-bahasa Tionghoa. Hal ini menandakan proses penamaannya berlangsung
dialektis, bercampur dengan efek fonetis Aceh. Konon dulu ada kapal Jong dari
Tiongkok. Setiap kapal bersandar, penduduk Aceh bertanya kepada orang asing
yang datang dalam bahasa ”Tarzan”: ”Apakah ada kapal Jong yang bersandar?”
(Peuna [’kapai] Jong?) sehingga terbentuk sebutan Peunayong sebagai kampung
bandar bagi komunitas Tionghoa.
Di
sini terlihat kultur Tionghoa yang puritan pun bisa berbaur sedemikian rupa
dengan kultur tempatan sehingga membentuk budaya baru: masyarakat
Tionghoa-Aceh. Seperti menyatunya karakter tim barongsai Aceh pada PON XIX
yang mendapatkan perunggu. Dengan apik mereka mengoreografi permainan
barongsai dan liong dengan tarian Ratoeh Duek (sejenis Saman perempuan).
Nilai-nilai global baru
Meskipun
demikian, kampung-kampung keberagaman yang tentu banyak di seantero
Nusantara, jadi penanda kebinekaan, tetap akan menghadapi kendala oleh serbuk
”nilai-nilai global baru”, seperti fundamentalisme, totaliterisme,
eksklusivisme, politik identitas. Merambat secara pasti, nilai-nilai
destruktif itu menggerogoti modal sosial serta menelusup di dalam krisis
otoritas politik dan kesejahteraan untuk membenarkan hadirnya nilai
artifisial itu sebagai identitas ”Indonesia baru”.
Kita
alpa, nilai-nilai primordialisme sempit itu tak tepat lagi didiksikan,
apalagi dipraktikkan di era penuh perbedaan seperti saat ini. Indonesia
dengan beragam sejarah etnis, budaya, dan agama memang pernah memiliki
pengalaman kecelakaan konflik sektarian, tetapi tidak perlu dipuja sebagai
sesuatu yang patut dilestarikan. Karena pada saat yang sama, sejarah
toleransi dan peradaban keberagaman terjadi lebih banyak lagi.
Di
Indonesia, kampung-kampung (keberagaman) itu menghadapi tantangan pada level
politik, geografi, dan demografi yang lebih makro, yaitu kota. Masyarakat
kampung yang sebelumnya berinteraksi sosial dan merayakan kesenian-kebudayaan
bersama komunitas berbeda secara santun tiba-tiba mulai dibatasi dan
dikriminalisasi oleh kebijakan pemerintah kota atas nama perda/qanun.
Jika
kampung disimbolkan sebagai komunitas alamiah, tempat masyarakat mengabsorpsi
pengetahuan (dan agama) secara bijaksana dan tak melupakan nilai-nilai
keluhuran lokal, maka kota metafora masyarakat-individu yang retak
kekerabatannya tetapi merasa unggul secara intelektual. Mereka mengonsumsi
lebih banyak pengetahuan (agama) secara global, tetapi mempraktikkan secara
egoistik, salah kaprah, dan artifisial secara lokal.
Jadi,
tak heran ketika melihat fenomena fundamentalisme dan radikalisme
sesungguhnya wujud ketidaksadaran masyarakat-pelaku atas situasi lokal karena
delusi yang dialaminya dalam kontradiksi-kontradiksi global. Fenomena Trump,
tragedi Rohingya, dan enigma NIIS adalah bagian kontradiksi global, yang tak
patut mencari jalan rajamnya di sini.
Saran
penting, jika ingin melihat oase keindonesiaan yang teduh dan sejuk,
perhatikanlah kampung-kampung di sekitar Anda. Di sana masih ada masyarakat
yang tekun merawat perbedaan demi kebersamaan, yang tak begitu saja lancung
untuk mengata-ngatai tetangga beda agama dan etnis sebagai kafir atau musuh.
Mereka menyadari bahwa satu kampung adalah satu keluarga. Menyakiti anggota
keluarga sama dengan menyakiti diri sendiri karena rasa sesal yang akan
berkekalan.
Di
kampung-kampung yang berkhidmat terhadap keberagaman kita menemukan Indonesia
sesungguhnya. Sebaliknya, terhadap yang khianat (biasanya bukan warga kampung
yang baik) kita tak akan menemukan diksi jernih Indonesia di dalamnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar