Dampak
Downgrade Portofolio Aset Indonesia
Effnu Subiyanto ; Senior
Advisor CikalAFA-umbrella; Direktur
Koridor;
Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
|
MEDIA INDONESIA,
05 Januari 2017
KEMENTERIAN
Keuangan meradang dengan hasil riset JP Morgan Chase Bank NA yang
mendowngrade secara drastis portofolio aset Indonesia dari overweight (posisi
beli) menjadi underweight (posisi jual). Berdasarkan hasil penelitian JP
Morgan tersebut, tingkat yield surat utang bertenor 10 tahun mengalami
kenaikan dari 1,85% menjadi 2,15% akibat efek terpilihnya Donald Trump
sebagai presiden AS.
Kontrak
kerja sama dan kemitraan diputus dalam Surat Menteri Keuangan Nomor
S-1006/MK.08/2016 tanggal 17 November 2016 dan berlaku efektif 1 Januari
2017. Dampak dari pemutusan hubungan kerja sama itu menyebabkan bank ini
tidak dapat menjadi bank persepsi di Indonesia. JP Morgan kini tidak dapat
lagi menerima setoran penerimaan negara dan atau tidak dapat menerima setoran
tebusan amnesti pajak. Kementerian Keuangan menilai JP Morgan bertindak tidak
fair karena Brasil hanya diturunkan menjadi netral, sedangkan Indonesia
tidak. Lebih lanjut hasil riset ini berpotensi menyebabkan turbulensi ekonomi
Indonesia yang sangat volatile saat ini.
Dampak downgrade
Dengan
penurunan rating oleh lembaga keuangan asal AS tersebut, yang harus
diwaspadai ialah dampak ekonomi yang harus dipikul Indonesia ke depan.
Exposure langsung atas penurunan rating itu ialah besarnya imbal beli (yield)
atas surat hutang, obligasi, dan surat berharga negara lainnya akan menjadi
mahal. Utang memang tetap dapat diperoleh, tetapi kewajiban melunasinya
menjadi lebih besar dan tentu saja akan lebih banyak menguras cadangan devisa
Indonesia. Anak cucu selama puluhan tahun ke depan akan terbebani oleh utang
itu, padahal tidak pernah merasakan manisnya berutang sekarang.
Posisi
utang Indonesia pada saat sekarang sebetulnya sudah pada tingkatan serius dan
mengkhawatirkan. Sampai dengan akhir November 2016, utang sudah bertengger
mencapai Rp3.485,36 triliun. Rinciannya sebesar Rp2.740,98 triliun dalam
bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Utang terus ditambah pada 1 Desember 2016
dengan merilis global bond US$3,5 miliar. Total utang Indonesia pada saat ini
berada pada kisaran 27% total PDB. Nafsu berutang terus dikebut, pada awal
2017 pemerintah pun sudah merencanakan penerbitan SBN baru dengan gross
senilai Rp596,8 triliun.
Melihat
kebutuhan anggaran yang besar berkaitan dengan proyek infrastruktur,
penerbitan utang baru pada 2017 sepertinya semakin marak. Setiap tahun rata-rata
utang negeri ini tumbuh 7,8%. Utang pemerintah justru tumbuh masif sekitar
17,9% per tahun dan kini kuantumnya hampir mendekati jumlah utang swasta.
Porsi utang pemerintah saat ini 49,9%, sedangkan utang swasta mencapai 50,1%
dari total utang di Indonesia. Inilah ironisnya, hasil riset JP Morgan akan
memperburuk kondisi keuangan negara dan swasta.
Semakin
besar yield artinya posisi psikologis Indonesia untuk mengembalikan utang
semakin kecil di mata investor karena itu mereka melakukan mitigasi risiko
dengan kenaikan tingkat imbal beli. Posisi SUN Indonesia terburuk pernah
dialami pada 2008 ketika yield mencapai 8,7% per tahun bahkan ada yang sampai
13,75%, padahal masa tenor SUN berdurasi 10-30 tahun. Tentu saja para
investor akan ngiler membeli SUN Indonesia karena besarnya nilai bunga yang
akan diperoleh sekarang dan kemudian. Untuk perbandingan surat utang Amerika
Serikat dalam T-bill rata-rata dengan tingkat yield 0,75%-1,78% per tahun.
Bahkan
sampai sekarang, SUN atau surat berharga lainnya yang diterbitkan pada 2008
sebagian belum lunas seperti seri Indo-38 dengan nilai US$1 miliar terbit
pada 11 Januari 2008 dan due date 18 Januari 2038. Dari sini sudah kelihatan
bahwa besarnya tambahan ongkos dari penurunan rating JP Morgan itu minimal
sekitar Rp12 triliun-Rp18 triliun per tahun, dengan asumsi seluruh nilai
utang yang direncanakan sudah terjual semua.
Ini
baru nilai tambahan bunga belum termasuk pokok utang. Total tambahan anggaran
yang diperlukan sampai utang tersebut lunas sampai 30 tahun lagi dapat
dihitung sendiri. Jadi dampak penurunan rating outlook ekonomi cukup besar
bagi kestabilan ekonomi makro dan seharusnya pemerintah sangat berhati-hati.
Yield rentan sekali naik dan jika sudah naik, sulit sekali diturunkan,
kecuali pemerintah mendeklarasikan tidak berutang sama sekali.
Iklim ekonomi
'Kado'
downgrade JP Morgan itu tidak hanya mengancam kestabilan keuangan negara,
tetapi akan berantai terjadi pada sektor lainnya. Sangat besar
probabilitasnya dampak multiplier effect-nya juga potensial terjadi pada
sektor produksi untuk operasional dan investasi baru. Sektor industri yang
merupakan sektor riil akan semakin berat mencari pinjaman. Obligasi industri
harus berkompetisi dengan SUN pemerintah dengan yield lebih tinggi sehingga
investor tidak tertarik lagi kepada obligasi korporasi.
Jika
sektor industri tersendat, akan terjadi kekacauan pasar dan menimbulkan
ekonomi destruktif yang sistematis. Sudah sejak lama ditengarai bahwa
mekanisme pemeringkatan penuh dengan konspirasi antarlembaga pemeringkat yang
umumnya berasal dari negara sudah berkembang. Pada 2007 ketika subprime
mortgage menyebabkan kekacauan moneter global, lembaga pemeringkat terkenal
dunia juga memberikan peringkat AAA kepada Lehman Brother, AIG, JP Morgan,
Goldman Sachs, Morgan Stanley, UBS, HSBC, Merrill Lynch, Washington Mutual
dan masih banyak lagi sekitar 750 lembaga keuangan lainnya, dan hailnya
ternyata tetap saja menjadi bencana dunia.
Beredar
kabar bahwa lembaga pemeringkat juga memiliki kepentingan ekonomi atas
institusi raksasa itu karena itu pemberian rating tidak lagi independen.
Peran lembaga rating apalagi dari institusi berpengaruh sekelas JP Morgan
betapa pun tetap penting. Atas kajian lembaga-lembaga pemeringkat inilah yang
menyebabkan investor berdatangan ke suatu negara dan sebaliknya. Pasar
menjadi likuid dan harapan terbuka karena pemilik uang mau membeli surat
utang.
Lembaga
pemeringkat menjadi sensor dan instrumen pendeteksi dini para investor global
karena menyadari berinvestasi di negara lain akan sangat besar risikonya.
Namun yang terpenting, ke manakah platform ekonomi nasional akan dibawa
pemerintah Indonesia. Masih tetap mengandalkan investor asing sebagai driver
ekonomi ataukah sudah percaya kepada kemampuan kekuatan ekonomi domestik
sendiri. Pilihan ini sangat sulit dijawab, tetapi rasa-rasanya kekuatan
ekonomi domestik belum sanggup dilepas sendiri sekarang ini. Jadi iklim
ekonomi memang harus dipelihara terus-menerus agar mendapatkan rating yang
pantas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar