Tahun
Pergumulan Internal
Rhenald Kasali ; Akademisi
dan Praktisi Bisnis yang juga Guru Besar bidang Ilmu Manajemen di Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia; Pendiri Rumah Perubahan
|
KOMPAS.COM, 04 Januari
2017
Banyak
orang yang bertanya bagaimana wujud perubahan yang bakal dihadapi bangsa ini
di tahun 2017. Apakah kita bakal membaik atau memburuk? Maksudnya, setelah
heboh-heboh besar dengan topik-topik sensitif yang telah menimbulkan
perselisihan sesama kawan di akhir 2016 yang baru kita lewati, apa
konsekuensi yang bakal kita hadapi?
Seperti
biasa, tentu saja ada dua pihak: Mereka yang siap menghadapi perubahan dengan
standar moral yang tinggi, dan yang cemas atau merasa terancam, bahkan untuk
itu rela "membeli" perubahan dengan standar moral yang, maaf, sulit
dipertanggungjawabkan.
Tetapi
apapun juga, kita tengah menghadapi sebuah suasana yang merata di seluruh
dunia: kesulitan manusia untuk menguji kebenaran dari hadirnya internet
gelombang ke-3. Alih-alih bertengkar keluar, banyak orang terperangkap dengan
“saling berkelahi” di dalam.
Ini
membuat banyak orang yang akan menghadapi sebuah pergumulan hebat,
pertentangan batin antara pro-kontra, ya atau tidak. Pergumulan, yang dalam
Change Management, disebut berselera rendah. Bagai bertarung melawan bangsa
sendiri. Saudara berkelahi dengan adik-kakaknya sendiri. Seakan tumpul
keluar.
Namun
akibatnya berat bagi perekonomian. Berat bagi pembangunan dan berat bagi
bisnis dan penciptaan lapangan kerja baru.
Abad Kecepatan Super
Saya
ajak Anda dulu untuk mengikuti sumber dari segala pergulatan itu, yaitu
informasi, dan ini tak lepas dari teknologi. Kita ketahui gelombang pertama
internet: Connectivity sudah kita alami. Ini terjadi tidak lama setelah Alvin
Toffler menulis buku “Gelombang Ketiga” dan meramalkan abad informasi seperti
yang kita jalani hari ini.
"Gelombang
ketiga" yang diulas Toffler itu menginspirasi tokoh-tokoh seperti Bill
Gates, Steve Jobs, Steve Case, Andy Groove dan tokoh-tokoh lainnya, untuk
bergerak, menciptakan dunia baru.
Saya
masih ingat ketika mengambil program doktoral di Amerika Serikat pada tahun
1990-an saat internet baru diperkenalkan, hampir semua host talkshow televisi
bertanya: “Ini gunanya apa? Bagaimana memakainya?”
Para
pioner merayu agar para pembuat komputer mau memasukkan modem dan software
buatan mereka sehingga makin banyak mesin yang bisa terhubung.
Selanjutnya,
gelombang kedua, terjadi di awal abad 21, saat manusia mulai bisa menggunakan
jaringan yang terhubung itu untuk digitalisasi perdagangan dan
bersosialisasi. Munculnya Alibaba, e-Bay, Facebook, Instagram sampai Airbnb
dan Uber adalah indikasi gelombang kedua.
Dan
kini, kita telah memasuki gelombang ketiga, setelah smartphone menghubungkan
hampir seluruh kehidupan. Manusia mulai pindah ke dalamnya. Internet of
Things menjelajah kehidupan kita, dari DNA, alat monitor jantung, biochips,
home automation, smart city, smart energy, dan smart politics. Kata para
ilmuwan, smartphone, dumb people.
Terbentuklah
disrupted society, yaitu masyarakat baru yang nyaris terputus dengan dunia
lama. Persis seperti sebuah pabrik besar di kota kecil yang memberi hidup
banyak orang yang tiba-tiba ditutup. Semua orang heboh, sementara
pabrik-pabrik yang baru masih kecil-kecil.
Corporate Disruptive
Mindset
Pergumulan
internal yang mengakibatkan kita semakin tahu, namun semakin rapuh,
sebenarnya bukan gejala baru dalam perubahan. Sebab yang pandai itu alatnya,
bukan manusianya. Apalagi begitu dunia internet mencapai puncaknya. Jauh
sebelum manusia mengenal smartphone, para eksekutif di Kodak telah mengalami
derita terlebih dahulu akibat dari pergumulan ini.
Pasalnya,
Kodaklah yang pertama kali menemukan cara untuk memindahkan foto ke dunia
digital. Dan hal ini tentu tak disukai oleh para eksekutif di Kodak yang
produk lamanya terancam. Alih-alih bersatu untuk melawan Fujifilm (Jepang),
mereka malah berkelahi di antara mereka melawan saudara sendiri. Yaitu yang
inovatif dan brilliant.
Clayton
Christensen perumus teori Disruptionsampai mengajukan pertanyaan ini: Apa
jadinya jika Anda menjadi competitor bagi diri Anda sendiri?
Di
situlah pergumulan itu terjadi. Ya batiniah, ya fisik. Dan sekarang saat
perekonomian dunia dikepung gejala disruptions, kita menyaksikan pergumulan
internal di hampir semua kategori industri, dari pariwisata sampai ke jasa
keuangan. Dari birokrasi sampai ke pangan dan telekomunikasi. Sementara para
ahli terlalu asyik dengan peta makro yang tak banyak bercerita tentang
realitas.
Alih-alih
menghadapi Trump yang akan mengusir TKI di sana, kita justru memilih
bertarung melawan putra-putri terbaik dengan begitu kejam dan suara lantang.
Bayangkan
seperti apa jadinya bila hal itu dialami Indonesia, ditengah-tengah kancah
politik pilkada. Antara perubahan yang dituntut masyarakat dengan permainan
para elit yang mengincar “uang” besar anggaran pembangunan, dan orang-orang
yang menjajakan kemiskinan sebagai alat kampanye. Itu terjadi di
tengah-tengah spirit keberagaman yang tiba-tiba runtuh. Menjadi pergumulan
semua orang.
Disrupsi, Desepsi
Dunia
ini tengah bergumul untuk membentuk kembali dirinya. Dari proses
digitalisasi, manusia kerap menyangkalnya saat menyaksikan realita baru. Tak
ada yang menyangka orang yang dipuja terlibat perselingkuhan uang. Kita hanya
bisa kaget saat membaca nama-nama mereka ada di Panama Papers, misalnya.
Karena
disangkal, masuklah kita ke tahap desepsi, sehingga terjadilah disruptions.
Setelah itu terjadilah dematerialisasi, demonetisasi dan demokratisasi.
Putaran perubahan menjadi lebih cepat, tak terwujud, sangat murah dan menjadi
guyonan sehari-hari.
Kata
kunci dari semua itu adalah respons. Politik memang busuk, tetapi pelayanan
bukan soal rivalitas. Ini soal kewajiban. Indonesia membutuhkan disruptive
leader dengan manusia-manusia yang bisa membebaskan diri dari waktu dan
tempat.
Seperti
yang dituntut Walikota Bandung pada Aparatur Sipil Negara jajarannya, yaitu
kewajiban menggunakan social media untuk berkomunikasi dengan publik,
mengatasi masalah dan men-deliver pelayanan 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Ini
tentu berbeda dengan generasi tua yang justru merasa terancam dengan social
media, yang beranggapan social media hanyalah alat entertainment pribadi.
Pergumulan Kehidupan
Sosial
Tentu
saja tidak sulit untuk menyatakan bahwa Indonesia di tahun 2017 juga akan
mengalami “tahun pergumulan” yang kompleks akibat belum tertatanya aturan dan
perilaku baru, tata hukum, dan standar moral. Benturan antara demokrasi,
politik dan ekonomi, termasuk manipulasi pikiran.
Ini
bukan soal ramal-meramal, apalagi mengaitkannya dengan “tahun ayam,” yang
bisa kita pelesetkan menjadi ayam aduan yang mengakibatkan jago bertemu jago
sampai mati. Bukan itu.
Tetapi
intinya adalah Indonesia tengah memasuki peradaban digital yang intensif
dalam percaturan ekonomi, bisnis, politik, sosial dan budaya yang sangat
intens. Dan inilah tahun pergumulan batin bagi kita semua. Pergumulan
disruptions akan kita alami di tahun 2017 ini, saat perusahaan-perusahaan
besar berguguran, sementara mereka yang kecil, justru mulai mendunia.
Inilah
kekuatan disruption yang dicita-citakan kaum muda namun telah disalahgunakan
kekuatan-kekuatan baru. Selamat berdamai dengan pikiran masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar