Imlek,
Tionghoa, dan Islam
Novi Basuki ;
Alumnus Huaqiao University dan Xiamen
University, Tiongkok
|
JAWA
POS, 28
Januari 2017
MUNGKIN
ada baiknya histori relasi Islam dan Tionghoa dibahas saat Imlek. Sebab,
hingga kini, di Indonesia masih ada saja yang terus-menerus membenturkan
keduanya. Padahal, dalam bukunya, A World Without Islam, mantan Wakil Ketua
Dewan Intelijen Nasional CIA Graham E. Fuller menegaskan bahwa Islam justru
bisa dan berhasil berdampingan dengan pemikiran Khonghucu.
Islam di Tiongkok
Jauh
sebelum Islam lahir pada abad ke-7, Tiongkok menjadi kekuatan utama dunia,
terutama dalam aspek perniagaan. Tiongkok mencatat, pada abad ke-5, armada
dagangnya sudah berlayar sampai ke Teluk Persia. Diakui pula oleh Abu Ali
al-Marzuqi dalam kitab Al-Azmana wa al-Amkana, saat zaman Jahiliyah, pedagang
dari Tiongkok berkumpul di Bandar Daba, sebuah kawasan di pesisir Oman.
Sesudah
Islam berkembang, pada 651, Khalifah Usman mengirim empat utusan pimpinan
Sa’ad ibn Abi Waqqas ke Tiongkok. Mereka bertemu dengan Gaozong, kaisar
ketiga Dinasti Tang.Dua di antaranya wafat di Quanzhou. Kuburannya yang
dikenal sebagai sheng mu (makam suci) masih ada hingga kini. Sa’ad mendirikan
masjid huai sheng (merindukan Nabi) di Guangzhou –juga masih kukuh sampai
sekarang.
Belakangan,
tahun tersebut, selain dijadikan permulaan hubungan resmi Arab dan Tiongkok,
dianggap sebagai awal masuknya Islam ke Negeri Panda. Sekalipun, Nabi
Muhammad sendiri pernah mengutus delegasi ke Tiongkok pada 618–626,
sebagaimana dinyatakan sejarawan Dinasti Song He Qiaoyuan dalam buku Min Shu
(Sejarah Hokkien).
Selama
setengah abad (651–800), kedatangan utusan Arab ke Tiongkok semakin masif.
Terhitung ada 34 kali. Perinciannya, 17 delegasi pada zaman Kekhalifahan
Umayyah dan 15 delegasi pada era Kekhalifahan Abbasiyah. Ketika masa Umayyah,
perdagangan ke Tiongkok dilakukan melalui darat. Jalan itu kemudian diblokade
karena terjadi Tujue Zhanzheng (Perang Turkistan Timur) sepanjang 620–657.
Jalur laut pun menjadi alternatif.
Sejak
masa Abbasiyyah pimpinan Al-Mansur (754–775), ibu kota dipindah ke Baghdad
yang notabene daerah pesisir. Mulai saat itu, banyak saudagar muslim dari
Arab yang menetap dan menikah dengan orang Tiongkok. Mereka bersama anak
pinaknya bermukim di wilayah pinggir pantai seperti Guangzhou dan Quanzhou.
Itulah cikal-bakal Hui, suku penganut Islam terbesar dan terluas
persebarannya di Tiongkok.
Selepas
Dinasti Tang, Islam makin maju. Apalagi selama periode pemerintahan suku
Mongol Dinasti Yuan, posisi muslim ditinggikan. Saat Kubilai Khan bertakhta,
Tiongkok terbagi menjadi 12 distrik yang dikepalai gubernur. Ahli tarikh
Islam-Mongol Rashid al-Din Tabib dalam kitab Jami’ al-Tawarikh menyatakan, 8
di antara 12 gubernur adalah muslim. Wakil gubernur juga dipangku muslim di 4
distrik sisanya. Yang masyhur adalah gubernur pertama Provinsi Yunnan Sayyid
Ajjal Shams al-Din Omar (1211–1279) –kemudian dilanjutkan Nasr al-Din,
anaknya, sampai 1292.
Populasi
muslim terus meninggi sehingga muncul istilah ’’yuan shi huihui biantianxia’’
(era Dinasti Yuan, Hui bertebaran di mana-mana). Bahkan, menurut Donald
Daniel Leslie dalam makalah The Integration of Religious Minorities in China:
The Case of Chinese Muslims, Pangeran Ananda (cucu Khubilai yang menaklukkan
Kerajaan Tangut yang berkuasa di Gansu, Ningxia, dan Sichuan) juga memeluk
Islam.
Tionghoa dan Islam di RI
Dengan
berganti menggunakan jalur maritim, para pedagang muslim dari Arab yang
menuju ke Tiongkok harus melalui Selat Malaka di Indonesia. Demikian pula
saudagar muslim dari Tiongkok yang akan ke Arab. Jika bertepatan dengan
pergantian angin musim, mereka singgah di wilayah yang membelah Pulau
Sumatera dan Semenanjung Melayu itu.
Pada
waktu yang sama, hubungan Java Dwipa (Indonesia) dengan Tiongkok yang
terjalin sejak Dinasti Han Timur (25–220) juga sedang mesra. Karena itu,
ketika 878–884 meletus Huangchao Qiyi (Pemberontakan Huangchao) yang menelan
korban ratusan ribu muslim di Guangzhou, tak sedikit yang melarikan diri ke
Indonesia, terutama ke Palembang. Demikian pula saat 1357–1366 pecah Yisibaxi
Bingluan (Perang Ispah) antara kubu Sunni dan Syiah di Quanzhou.
Lagi,
sewaktu ekspedisi Laksamana-Muslim Cheng Ho pada abad ke-15. Berdasar riset
Tan Yeok Seong (2005), selepas penumpasan pasukan bajak laut yang dikepalai
Chen Zuyi pada 1407 oleh armada Cheng di Palembang, Cheng mengangkat seorang
muslim Tionghoa setempat bernama Shi Jinqin sebagai pemimpin komunitas
(Islam) Tionghoa di sana –kemudian digantikan putrinya, Shi Erjie alias Nyai
Pinatih, pasca kematiannya. Lalu, Shi yang kaya raya pindah ke Gresik. Dialah
yang mengasuh Sunan Giri kecil: Raden Paku.
Begitulah
Islam menyebar ke Indonesia yang kala itu masih menganut animisme, Hindu, dan
Buddha. Kita tidak patut menafikan peran Tionghoa di dalamnya. Tahun Kambing
telah lama berlalu. Saling mengambinghitamkan semestinya sudah tidak laku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar