Presiden,
Inklusi Pajak, dan Angsa
Aan Almaidah Anwar ;
Pemerhati Perpajakan
|
MEDIA INDONESIA,
19 Januari 2017
DUA
hal yang pasti dan menakutkan dalam kehidupan ialah kematian dan pajak.
Kematian itu akan menimpa semua makhluk Tuhan yang bernyawa. Namun, pajak,
bisakah kita hindari dari kehidupan ini? Kalau bisa ditawar, pastilah hal itu
akan dilakukan. Memang begitulah sifat manusia yang kerap mencari celah demi
keuntungan dirinya. Tapi tidak dengan kematian. Namun, dalam kehidupan bernegara,
pajak merupakan hal yang sudah pasti akan dibayarkan setiap warga negara.
Kalau kita tak punya penghasilan tetap seperti halnya pegawai di sebuah
perusahaan, bukan berarti tidak perlu membayar pajak. Saat membeli minuman
ringan di toko kelontong, sadar atau tidak, kita sudah membayar pajak melalui
harga minuman tersebut. Sederhana, bukan?
Patut
diingat bahwa keuangan negara yang terbesar selama lebih dari satu dasawarsa
bersandar pada penerimaan pajak. Bahkan pada APBN 2016 ditargetkan pemasukan
dari sektor pajak sebesar Rp1.355 triliun. Jelas bukan jumlah yang kecil.
Presiden Joko Widodo pun dengan lantang meminta petugas pajak untuk fokus dan
proaktif dalam mengawal pencapaian target penerimaan. Kata Presiden
(28/7/2016), jangan malah menakut-nakuti wajib pajak, agar tak ada yang
tersakiti. Penegasan Presiden tersebut mengingatkan kita akan istilah Jean
Baptiste Colbert tentang seni menarik pajak. The art of taxation is so plucking the goose as to obtain the largest
amount of feathers with the least possible amount of hissing, yaitu seni
mengumpulkan pajak itu seperti mencabut bulu angsa tanpa kesakitan. Salah
satu pintu fasilitas yang dibuka untuk melaksanakan seni itu ialah ikut
amnesti.
Langkah Presiden
Presiden
Jokowi mengadakan perjalanan ke beberapa kota sejak periode pertama amnesti
pajak, yaitu ke Bandung, Medan, Surabaya, dan Semarang. Untuk periode kedua
amnesti, beliau sudah ke Makassar, Balikpapan, menyusul Bali dan Pekanbaru.
Perjalanan periode pertama dan kedua amnesti sudah disosialisasikan dalam 10
ribu kali kegiatan sosialisasi, dengan dihadiri lebih dari 724 ribu orang,
dan baru diikuti 616 ribu wajib pajak. Angka yang baru 1,9% dari seluruh
wajib pajak terdaftar! Target amnesti ialah Rp165 triliun dan sedikitnya
sudah tembus Rp109,5 triliun per 31 Desember 2016.
Sekali
lagi, Presiden mengingatkan dalam kunjungan di Balikpapan (2/12/2016) bahwa
sekarang saatnya terbuka. Pintu yang terbuka ialah tarif tebusan amnesti 3%
yang sangat murah jika dibandingkan dengan negara lain yang bisa mencapai
25%-30%. Kalau Presiden berani mengatakan bahwa pajak itu penting, mengapa
masih harus menunggu atau melihat teman dulu untuk memutuskan ikut? Sayang
sekali bila masih ada yang berpikir untuk apa ikut. Berarti seni mencabut
bulu angsa belum berjalan baik karena karakter sang angsa sendiri belum
terbentuk. Karakter yang paham untuk apa dia membayar pajak dan bagaimana
bisa berenang setelah itu atau terbang nyaman. Masyarakat rupanya menyukai
fasilitas dan kemudahan, selain senang meniru perilaku. Orang lain ikut, saya
pun ikut. Apalagi sosialisasi sudah sangat banyak di mana-mana. Seperti
sugesti yang diulang berkali kali, semua tergerak untuk ikut amnesti.
Faktanya,
amnesti tidak akan berulang. Sesukses apa pun yang dicapai Indonesia dalam
amnesti, uang tebusan saat ini masih terbilang rendah. Denda yang akan
diberlakukan saat tenggat Maret 2017 sangat tinggi, sebesar 200%. Bayangkan
betapa sakit mencabuti bulu angsa pada saat itu. Rasa sakit itu berpulang
dari kesadaran yang belum terbangun. Untuk itu, kita kembali menengok dari
mana kesadaran bisa dibentuk. Ada sekitar 100 juta generasi muda dari PAUD
sampai perguruan tinggi yang perlu belajar peran pajak. Selama ini kita
menafikan pendidikan pajak dalam kehidupan. Contoh, generasi muda tahu pajak
memegang peranan 70% APBN. Mereka sekadar tahu, tetapi pajak tidak menetap
kuat di pikiran bawah sadar. Wabah berita media sosial memperkaya wawasan
mereka tanpa paham mengapa harus ada pajak. Jadi, wajar saja kalau sudah
besar bisa dipastikan mereka menjerit kesakitan saat bulu mereka dicabut.
Program inklusif
Inilah
pekerjaan rumah yang harus dipikirkan Indonesia. Pajak sebaiknya
diinklusikan dalam pendidikan berbagai segmen, mulai SD sampai mahasiswa, ibu
hamil dan menyusui, wanita karier atau sosialita, ibu rumah tangga atau bapak
pekerja, guru, dosen, tokoh-tokoh agama dan masyarakat, hingga pejabat
negara, yang semuanya bermuara ke satu tempat, yaitu sekolah.
As is the state, so is the
school (Achmad Baedowi, 2012). Bagaimana suatu negara, demikianlah
sekolah. Kalau bisa dibalik, bagaimana suatu sekolah, demikianlah menjadinya
suatu negara. Eksistensi suatu pemerintahan sangat erat terkait dengan
kebijakan pajak yang diambil, demikian dikatakan Rabushka, pakar perpajakan
dari Stanford University. Perlu berpikir sekian puluh tahun ke depan untuk
menjaga negara dari kehancuran karena tidak bisa membiayai diri sendiri.
Upaya
paling sistematis untuk menumbuhkan kesadaran pajak ialah melalui pendidikan.
Pendidikan pajak harus masuk secara inklusif dalam kurikulum pendidikan
dengan fase berbeda-beda mengikuti tahapan perkembangan manusia. Biasanya
kita lebih mengutamakan prinsip benefit dalam berperilaku, menghitung untung
rugi dari setiap kegiatan. Pajak bisa diajarkan dalam konsep berbagi sejak dini,
atau saling meminjamkan mainan pada teman yang kurang mampu. Kelak saat
mereka bisa berkorban menyisihkan uang untuk membangun taman sekolah,
kenalkanlah konsep kata pajak. Inklusi pajak ialah solusi puluhan tahun ke
depan, ketika pajak tak hanya diajarkan dalam bentuk perhitungan tarif dan
persentase, tetapi dikenalkan dalam bentuk seni dan kegembiraan.
Apa
pun namanya, pajak yang akan membantu Indonesia mandiri. Itulah warisan
sebenarnya bagi anak cucu. Yang terpenting ialah bagaimana petugas pajak dan
masyarakat sama-sama berproses dalam kepercayaan, dan bulu sang angsa dapat
dicabut tanpa menyakiti, yaitu membuat angsa tetap nyaman serta yakin bulunya
berguna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar