Mencari
Solusi Transportasi Online
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UI
|
KORAN SINDO, 17 Januari
2017
Demonstrasi
anggota Aliansi Sopir Transport Bali (ALSTAR B) yang menolak kehadiran taksi
online di Bali pada 28 September 2016 menunjukkan bahwa ketegangan antara
penyelenggara dan pengemudi jasa transportasi konvensional dengan berbasis
platform digital belumlah tuntas terselesaikan.
Bahkan
dikhawatirkan, apabila tidak dicarikan solusi akar permasalahan, gelombang
protes dan demonstrasi berpotensi semakin besar kemudian hari. Risiko
konfrontasi dan konflik horizontal antarpengemudi bahkan akan semakin besar di
sejumlah daerah di Indonesia. Kita pernah mengalami konflik horizontal yang
cukup meresahkan antara pengemudi transportasi konvensional dengan online
pada awal-awal 2016.
Pemerintah
sebagai regulator perlu mencari solusi yang bersifat win-win solution dengan
mengedepankan asas keadilan atau fairness antarpelaku usaha. Tanpa ada solusi
yang seperti ini, risiko dan potensi konflik akan terus terjadi. Merumuskan
solusi yang win-win tentu bukanlah hal yang mudah, tetapi bukan berarti tidak
bisa dirumuskan.
Di
satu sisi, pemerintah perlu tetap menjaga agar inovasi yang bersifat disruptive bisa tumbuh subur melalui
munculnya banyak startup maupun technopreneur baru di Indonesia. Kemajuan
teknologi information, communication,
and technology (ICT) dan tumbuhnya kelas menengah di Indonesia merupakan
basis bagi tumbuhnya ekosistem technopreneur di Indonesia.
Namun,
di sisi lain, pemerintah juga dituntut untuk mampu menjaga kesinambungan
dunia usaha yang telah terbukti selama ini menyerap tenaga kerja dan telah
berkontribusi terhadap penerimaan sektor perpajakan negara. Menjadi tantangan
bagi semua negara saat ini adalah mendorong tumbuhnya technopreneur tanpa
menciptakan kerusakan industri (industrial damage) berupa gelombang pemutusan
hubungan kerja (PHK), bangkrutnya usaha dan runtuhnya bisnis konvensional
secara drastis, serta kerugian industri secara masif.
Kalau
hal ini terjadi, akan berpotensi membuat manfaat kehadiran ekonomi digital
menjadi kurang berarti dibandingkan dengan total kerugian secara
sosial-ekonomis yang diakibatkannya. Pengalaman di berbagai negara
menunjukkan pentingnya peran pemerintah sebagai regulator dalam menjamin
iklim kompetisi yang sehat dan berkeadilan.
Termasuk
juga untuk menengahi ketegangan antara kehadiran usaha transportasi berbasis
platform digital dengan usaha transportasi konvensional. Agar asas fairness
dan persaingan usaha yang sehat tetap terjaga, pemerintah di berbagai negara
berupaya menerapkan standar persyaratan yang sama baik, baik penyedia jasa
transportasi konvensional maupun yang berbasis platform digital.
Baik
dari sisi izin operasi, perlindungan konsumen, persyaratan kelayakan
kendaraan, kualifikasi pengemudi, maupun mekanisme perpajakan. Standardisasi
prosedur dan aturan di tingkat industri tidak hanya ditujukan bagi
keselamatan penumpang, tetapi bagi perspektif persaingan usaha. Hal ini
penting bagi tercipta kesamaan level-playing-field antarpelaku usaha.
Misalnya
saja sejumlah otoritas seperti Jepang, Prancis, Jerman, dan Pemerintah
Toronto di Kanada mewajibkan perusahaan transportasi berbasis platform
digital memiliki izin operasi khusus seperti operator transportasi lain.
Sementara itu, sejumlah pemerintah kota di Massachusetts, Texas, New Delhi,
Sao Paolo, Beijing, dan Shanghai mewajibkan kendaraan yang digunakan oleh
”taksi online ” melalui inspeksi dan pemeriksaan seperti kendaraan
transportasi umum lain.
Bagi
pengemudi, aturan memiliki SIM khusus bagi transportasi umum juga diwajibkan
kepada semua penyelenggara jasa transportasi baik bagi jasa transportasi
konvensional maupun berbasis platform digital. Penerapan tata aturan yang
baku dan konsisten di berbagai negara terbukti telah mampu mengurangi
ketegangan antara pengemudi transportasi konvensional dengan mereka yang
berbasis platform digital.
Selain
itu, kebijakan ini juga ternyata memberikan kenyamanan dan kepastian usaha
tidak hanya bagi pelaku usaha konvensional, tetapi juga bagi technopreneur
baru di industri ini. Pengenaan tata aturan perpajakan bagi pengusaha jasa
transportasi baik konvensional maupun berbasis platform digital secara fair
juga dilakukan oleh beberapa pemerintahan.
Misalnya
pemerintahan di Perth (Australia), Toronto (Kanada), Mexico City (Meksiko),
dan New York di Amerika Serikat mewajibkan baik pengemudi maupun pengusaha
transportasi apa pun bentuknya, baik konvensional maupun berbasis platform
digital, mengikuti aturan PPh dan PPN yang berlaku.
Perlakuan
perpajakan yang sama akan membuat strategi harga (pricing) akan menjadi lebih
predictable sekaligus mengurangi
risiko munculnya praktik bisnis dalam penetapan harga yang tidak sehat.
Sejumlah pemerintah kota bahkan menetapkan kuota untuk menjaga keseimbangan
antara jumlah armada dengan konsumen.
Hal
ini dilakukan agar profitabilitas usaha tetap terjaga dengan menjamin
kualitas pelayanan yang baik kepada konsumen pengguna. Harus diakui bahwa di
berbagai negara, kemunculan jasa transportasi berbasis platform digital
meningkatkan consumer surplus berupa penurunan tarif transportasi secara
signifikan.
Konsumen
mendapatkan pilihan dengan harga yang lebih murah dibandingkan dari penyedia
jasa transportasi konvensional. Namun, tidak sedikit dugaan bahwa pengenaan
tarif yang lebih murah merupakan strategi usaha yang dilakukan oleh
perusahaan jasa transportasi berbasis platform digital dengan memberikan
subsidi dalam jumlah sangat besar.
Bahkan,
tidak jarang dengan dukungan kapital yang sangat besar, business process
tidak mengharuskan mendapatkan keuntungan finansial dalam jangka pendek dan
menengah demi mendapatkan critical mass atau crowd. ”Membakar uang” melalui
belanja iklan dan utamanya subsidi sehingga harga ke konsumen menjadi jauh
lebih murah merupakan beberapa praktik bisnis yang dilakukan.
Dan
hal ini di beberapa aturan hukum dianggap sebagai salah satu bentuk predatory
pricing yang merusak persaingan usaha secara sehat. Sehingga, tidaklah
mengherankan ketika sejumlah penyedia jasa transportasi berbasis platform
digital digugat di pengadilan tata usaha seperti yang terjadi di India,
Amerika Serikat, dan China. Bagi Indonesia, mencari solusi jalan tengah yang
bersifat win-win solution perlu terus diupayakan.
Pemerintah
perlu kembali mengundang para pelaku usaha baik mereka yang menyediakan
transportasi konvensional maupun berbasis platform digital. Sebagai regulator,
semangat yang perlu dikedepankan adalah menyediakan tata aturan yang adil
dengan menerapkan prosedur yang terstandar bagi para pelaku usaha.
Bagi
para pelaku usaha, baik konvensional maupun berbasis platform digital, sangat
dibutuhkan untuk memberikan kepastian usaha dan perhitungan laba/rugi usaha.
Terjaminnya kesamaan level playing field antarpelaku usaha menghindarkan
tuduhan keuntungan bisnis akibat perlakukan istimewa atau perbedaan perlakuan
tata aturan yang harus diikuti.
Selain
itu, dengan ada keseragaman tata aturan juga akan mengurangi risiko benturan
dan konflik horizontal antarpengemudi konvensional dengan mereka yang
berbasis platform digital. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar