Memahami
Konflik Suriah,
Tragedi
Kemanusiaan Terbesar Abad 21
M Najih Arromadloni ;
Alumni Universitas Kuftaro Damaskus;
Sekjen Ikatan Alumni Syam
Indonesia (Alsyami)
|
DETIKNEWS, 18 Januari
2017
Sampai
detik ini, saya tidak pernah lupa peristiwa di tanggal 27 Februari 2011. Itu
adalah bulan kedelapan saya di Suriah. Di hari itu, terjadi penangkapan 15
siswa secara kasar di kawasan Hawran Provinsi Dar'a Suriah oleh polisi
Suriah, karena membuat grafiti yang menyerang Presiden Basyar al-Assad;
sebuah fenomena yang kemudian mengubah kondisi sosial, politik, keamanan, dan
apalagi ekonomi di Suriah secara keseluruhan.
Tindakan
blunder polisi yang represif ini kemudian membuat masyarakat yang mudah
tersulut untuk turun ke jalan pada Selasa dan Jumat (15 dan 18 Maret 2011),
menuntut Presiden Basyar al-Assad untuk mundur. Aksi dilakukan di ibukota
Damaskus dan secara sporadis merambah ke kota-kota lainnya. Aksi lanjutannya
dilakukan biasanya setiap hari Jumat dan dengan mempolitisasi masjid sebagai
titik kumpul, berkembang menjadi perang sipil.
Dan
di tahun yang keenam ini, kisruh yang merupakan rentetan musim Semi Arab
(al-Rabi' al-Arabi/Arab Spring) dan awalnya mengusung slogan perubahan,
demokrasi, dan pembebasan rakyat dari thaghut, serta penerapan syariat
(kadang-kadang: khilafah), nyatanya telah menjadi musim musibah bagi Suriah,
dan rakyat Arab secara keseluruhan.
Akibat
krisis ini lebih dari 470 ribu jiwa tewas, dan lebih dari satu juta terluka.
Sementara 85% mereka yang masih hidup harus kehilangan pekerjaannya dan
seperlima angkatan kerjanya terpaksa mencari uang dari perang, seperti dengan
menjarah dan menculik. Kondisi ini diperparah dengan langkanya bahan makanan,
jika ada pun harganya selangit. Di dunia pendidikan, jutaan anak tidak bisa
menikmati kebutuhan sekolah mereka, sementara ibu mereka harus menghadapi
kerasnya hidup menjanda. Sebelas jutaan pengungsi dari Suriah menyebar ke
seluruh penjuru, jumlah yang menurut UNHCR terbesar setelah Perang Dunia ke
II.
Yang
saya tulis di atas adalah sebuah fenomena yang amat menyakitkan, dan yang
terjadi di balik fenomena atau nomenanya jauh lebih rumit, bahkan amat rumit.
Bisa jadi fenomena penangkapan 15 siswa itu sekadar momentum mewujudkan
sebuah konspirasi yang telah disusun jauh-jauh hari. Tetapi sekompleks apa
pun kita perlu memahaminya. Dibutuhkan sebuah perspektif yang utuh agar kita
tidak hanya fokus dan terjebak pada fenomena. Untuk itu dibutuhkan pikiran
yang terbuka, dan pembacaan yang jeli atas sejarah dan geopolitik, serta sumber
daya alam negeri berjuluk "the cradle of civilization" ini,
termasuk kebijakan luar negerinya terhadap Israel dan negara-negara teluk.
Saking
kompleksnya, jika ingin memahami dengan benar tentang Konflik Suriah, Anda
harus lebih jeli dan menyeluruh dalam melakukan pembacaan dari beragam
sumber. Karena pemberitaan seputar konflik Suriah selama ini sudah jauh dari
kata obyektif dan berimbang. Fabrikasi berperan sedemikian besar. Al-Jazeera
dan al-Arabiya dalam satu kasus, pernah memberitakan secara manipulatif bahwa
telah terjadi penembakan demonstran di Distrik Rukn al-Dien Ibukota Damaskus,
padahal saya yang tinggal di distrik kecil tersebut tidak pernah melihat
apa-apa.
Parahnya,
hal ini dilakukan pula oleh media besar semisal BBC, Reuters, Guardian dan
CNN. Di Indonesia pun demikian, media massa umum, sebagian, untuk tidak
menyebut rata-rata, men-quote berita dari kantor berita besar dunia yang juga
melakukan pemberitaan serupa. Pemberitaan yang tidak obyektif dan berimbang
tentu menimbulkan dampak yang merugikan. Tapi apa daya, media telah turut
menjadi alat perang.
Faktor Konflik Suriah
Ada
banyak perspektif mengenai apa saja faktor yang melatarbelakangi pecahnya
konflik Suriah. Sebuah konflik memang terjadi tidak disebabkan oleh sebab
tunggal. Konflik selalu lahir dari sebab yang kompleks dan diliputi oleh
banyak faktor dan kepentingan. Dan jika melihat peta konflik Suriah yang
terjadi, terlalu sederhana (simplikatif) untuk menyatakan bahwa konflik
tersebut tirani versus demokrasi, atau apalagi berlatar belakang teologis:
perseteruan antara Sunni dan Syiah. Karena sejarah Suriah adalah harmoni
antar sekte dan umat beragama. Itu pula yang saya rasakan selama hidup di
sana.
Ada
empat faktor yang terlibat dalam sebuah konflik, yaitu triggers (pemicu),
pivotal (akar), mobilizing (peran pemimpin) dan aggravating (faktor yang
memperburuk atau memperuncing situasi konflik). Untuk mengetahui keempat
faktor tersebut diperlukan sebuah analisis berupa kajian sistematis terhadap
profil, sebab-sebab, aktor, dan dinamika konflik. Klasifikasi faktor juga
bisa dilakukan dengan melihat yang primer, sekunder dan tersier.
Intinya,
secara global faktor penyebab konflik Suriah bisa dipetakan dalam dua hal:
1.
Masalah internal (dalam negeri) Suriah, berupa terbatasnya kesempatan
pergerakan/mobilitas sosial dan politik, kesenjangan, korupsi, dan represi
aparat keamanan, serta tuntutan reformasi atas rezim klan Assad yang telah
berkuasa selama 40 tahun. Anehnya, tuntutan reformasi ini tidak terjadi di
delapan negara monarki yang juga tergabung dalam liga Arab yang tidak lebih
demokratis. Jadi sejatinya yang terakhir ini tidak cukup kuat.
2.
Masalah eksternal (luar negeri), berupa kepentingan politik, keamanan, dan
ekonomi. Ini tidak lepas dari fakta bahwa Suriah adalah negara yang kuat
secara militer dan selalu menunjukkan sikap perlawanan dan ancaman terhadap
Israel sejak awal sejarahnya, termasuk dengan bersekutu bersama Iran, Hamas
dan Hizbullah. Kondisi demikian membuat Israel, Amerika, NATO dan sekutunya di
Timur Tengah turut berkepentingan mereformasi dan menumbangkan Assad.
Demikian ringkasnya kebutuhan politik dan keamanan negara sekeliling Suriah.
Sementara
dari sisi ekonomi, di balik koalisi Barat dan sekutu Arab, serta Turki
terdapat kepentingan untuk mengeksploitasi cadangan minyak, di samping gas,
dengan ketebalan sekitar 350 meter, berkali lipat rata-rata ketebalan
kandungan minyak dunia yang hanya sekitar 10-20 meter di tanah milik Suriah.
Sumber ini berisi miliaran barel yang kandungannya dapat membuat negara mana
pun menjadi pemain minyak penting.
Dengan
demikian, mengacu pada penjelasan singkat tersebut, di balik kompleksitas
masalah domestik Suriah, kita bisa mengetahui adanya eksistensi negara-negara
yang berkepentingan mengobarkan api peperangan di Suriah.
Aktor Konflik Suriah
Mengenai
siapa saja aktor yang mempunyai peran penting melanggengkan konflik Suriah,
perkenankan saya mengutip Bassel Oudat, seorang kolumnis dari Damaskus. Dalam
artikelnya yang berjudul "Syria's Impasse" ia menyatakan bahwa
aktor konflik bisa dibagi menjadi tiga: lokal, regional, dan global.
Pada
tataran lokal melibatkan rezim al-Assad, organisasi Dawlah al-Islamiyah
(ISIS), dan kelompok pemberontak yang afiliasinya amat beragam, misalnya:
1)
Free Syrian Army (FSA), Syrian National Council (SNC) dan Syrian National
Council for Opposition and Revolutionary Forces (SNCORF) yang dibentuk atas
inisiatif Amerika di Doha, Qatar dan berafiliasi kepada Ikhwanul Muslimin;
2)
Kelompok yang berafiliasi dengan al-Qaeda yang mempunyai agenda membentuk
khilafah, yaitu Jabhat al-Nusrah, Ahrar al-Sham, Kataeb, Liwa' al-Tauhid,
Ahrar Souria, Halab al-Shahba, al-Harakah al-Fajr al-Islamiyah, Dar al-Ummah,
Liwa Jaish Muhammad, Liwa' al-Nasr, Liwa' Dar al-Islam dan lain-lain. Para milisi
mereka datang dari sekitar 100 negara;
3)
Kelompok oposisi yang tidak menempuh kekerasan, yang tergabung dalam koalisi
bernama National Coordination Body for Democratic Change.
Pada
tataran regional, persaingan antara Iran dan Arab Saudi, serta Qatar, Turki,
dan Israel di kawasan membuat mereka saling berebut pengaruh politik,
pengamanan, dan kue ekonomi dengan mengorbankan rakyat negara yang
tercabik-cabik itu. Dalam hal ini perseteruan bukan antara Persia dan Arab,
karena dengan kerjasama Arab Saudi dan Israel menyerang Suriah, sesungguhnya
solidaritas Arab telah runtuh.
Sementara
pada tingkat internasional, tampak bahwa krisis Suriah telah terjerambab
dalam keretakan diplomasi internasional atas tarik ulur Amerika dan Rusia,
serta para pemegang veto di PBB.
Dari
paparan di atas diketahui, bahwa kisruh Suriah adalah tentang beragam
peperangan dunia nyata dan maya yang destruktif, dan telah menjadi peluang
politik dan sumber keuntungan bagi banyak pihak yang berseteru di dalamnya,
dengan mengabaikan nasib jutaan rakyat jelata yang meregang nyawa.
Ini
tidak hanya dilakukan oleh negara besar, namun juga oleh sekitar 90.000
milisi berlabel agama dengan profil anggota yang tidak homogen, mulai
oportunis yang tidak percaya Tuhan, kelompok pragmatis, para pencari profit
dari perang, adventurism, suku-suku yang pragmatis hingga ke kelompok takfiri
sejati.
Dari
sini kita juga bisa menyimpulkan bahwa sampai hari ini masih bergentayangan
perkomplotan (termasuk kapitalis global) yang melibatkan banyak negara untuk
melakukan eksploitasi di atas penderitaan negara lain, termasuk dengan
memanfaatkan segala potensi ekstremitas sosio-politik sebuah kelompok sosial
untuk dibenturkan dengan komunitas sosial lainnya.
Apa yang Sebenarnya
Terjadi di Aleppo?
Sejak
konflik Suriah berkobar, kasus Aleppo beberapa kali menyedot eskalasi
perhatian masyarakat internasional, pada tahun 2016 ini terjadi selama akhir
April, Februari, dan pertengahan Desember. Pertanyaannya kenapa pemberitaan
tentang Aleppo selalu lebih masif dari, semisal pembantaian di Palmyra?
Jika
dilihat sejarahnya, Aleppo sudah diserang pemberontak/oposisi selama lima
tahun terakhir. Dan di masa itu pula rezim al-Assad beberapa kali melakukan
serangan balasan mengembalikan kedaulatan negara mereka. Terakhir, rezim mengepung
Aleppo selama enam bulan, dan berhasil merebut kembali kota tersebut. Nah,
sejumlah itu pula pemberitaan tentang Aleppo muncul secara masif.
Penyerangan
lewat media pro oposisi ini menjadi pola yang berulang kali dilakukan oleh
oposisi setiap kali mereka dalam posisi terjepit, guna menggalang dukungan
atau bahkan menarik intervensi dunia internasional. Aleppo adalah garis depan
zona pertahanan oposisi, dan merupakan basis pertahanan mereka dan jalur
penghubung dari Palmyra/Tadmor ke Latakia dan Idlieb, sehingga dengan
hilangnya Aleppo maka menyebabkan jaringan mereka terputus.
Aleppo
bergitu menarik bagi oposisi karena merupakan kota kedua terbesar di Suriah.
Dengan menguasai kota itu (Aleppo) pemberontak bisa menampilkan diri sebagai
alternatif yang kredibel dibanding pemerintahan di ibukota Damaskus. Posisi
Aleppo secara geografis juga amat strategis dilihat dari berbagai segi.
Dengan
melihat posisi penting Aleppo maka bisa dipahami mengapa kota tersebut selalu
menjadi rebutan, dan secara otomatis menjadi palagan yang kini luluh lantak.
Seorang kawan di Aleppo secara subyektif berkomentar, "Dalam kondisi
perang, semua datang membawa neraka, meskipun neraka rezim masih lebih baik
dari neraka pemberontak, bersama sekutu Baratnya."
Polemik Bantuan Kemanusiaan
Informasi
tentang adanya penyimpangan bantuan kemanusiaan ke Suriah yang jatuh ke
tangan kelompok teroris, sempat membuat masyarakat Indonesia resah, ini
terjadi setelah Euro News memberikan laporannya dari Aleppo pasca ditinggal
pemberontak (14/12/16). Tapi bagi WNI yang tinggal di Suriah, kasus ini bukan
merupakan fenomena yang baru.
Berdasarkan
informasi dari KBRI Damaskus, sejak permulaan konflik pemerintah Suriah
memang amat ketat dan protektif dalam hal memberikan izin masuk bantuan kemanusiaan.
Hal ini wajar karena berbagai lembaga bantuan kemanusiaan atau NGO sering
kali dijadikan kedok dan memiliki rekam jejak dengan agenda terselubung. Info
dari KBRI Damaskus pula, bahwa lembaga kemanusiaan Indonesia yang sejak awal
berkoordinasi dengan KBRI adalah afiliasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI)
dan MER-C.
Dari
sini bisa disimpulkan bahwa mayoritas bantuan kemanusiaan dari Indonesia yang
masuk ke Suriah adalah ilegal. Menyalurkan bantuan kemanusiaan di medan
perang memang tidak mudah. Lembaga bantuan kemanusiaan seperti IHR dan ACT
misalnya, tidak menyalurkan sendiri donasi yang mereka dapat, melainkan
melalui link IHH (Insani Yardim Vakfi). Sedangkan IHH adalah sebuah LSM Turki
yang memiliki ikatan kuat dengan grup teroris Free Syrian Army, begitu pula
dengan al-Qaeda.
Harian
Turki, Hurriyet, melaporkan hasil investigasi (3/1/2014) yang menemukan
amunisi dan senjata dalam jumlah besar dari truk IHH yang menuju Suriah,
dengan kawalan personel intelijen Turki. Terkait IHH, Dubes Rusia untuk PBB
pernah berkirim surat ke DK PBB (18/3/2016), bahwa IHH bersama-sama dengan
Besar Foundation dan The Iyilikder Foundation mensuplai persenjataan dan
logistik kepada ISIS atau Islamic State (IS).
Penutup
Krisis
Suriah yang begitu memilukan seharusnya mengetuk hati kita untuk lebih peduli
dan melihatnya melalui perspektif kemanusiaan. Turut mendorong dihentikannya
perang, bukan malah ikut menyulutnya, atau bahkan mengimpornya ke sini. Untuk
itulah penting bagi kita untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di
Suriah.
Konflik
Suriah memberikan sebuah pelajaran yang amat berharga bagi kita tentang
nikmat kebhinekaan dan kewajiban mutlak bersatu padunya antar entitas
generasi bangsa, untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi baldatun
tayyibatun wa rabbun ghafur... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar