Kota
Milik Semua Warga
Suhardi Suryadi ; Direktur
LP3ES 2005-2010;
Saat ini Konsultan Knowlegde Management
Proyek LESTARI-USAID
|
KOMPAS, 02 Januari
2017
Jakarta
masih membutuhkan kampung karena keberadaannya memberi kontribusi positif terhadap
kehidupan kota. Selain menjadi tempat tinggal, perkampungan juga memiliki
sistem ekonomi, sosial, budaya, dan merupakan aset sejarah kota. Karena itu,
penataan perkampungan yang tetap melestarikan kekayaan kehidupan warga
kampung menjadi keniscayaan. Itulah pandangan Johan Silas dari Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, dalam diskusi yang digelar Kompas
menyambut pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu.
Apa
yang disampaikan Johan Silas tidak lepas dari intensitas penggusuran dengan
alasan penataan kota dan keindahan di
Jakarta dalam dua tahun terakhir. Berdasarkan data LBH, tahun 2015 tercatat
ada 10 kawasan kampung yang digusur dari 113 kasus penggusuran dengan 8.145 keluarga dan 6.283 unit usaha
yang terdampak. Ironisnya, 84 persen dilakukan tanpa melalui prosedur
musyawarah, 64 persen (72 kasus) dibiarkan tanpa solusi, dan hanya 8 persen
atau 9 kasus yang diberikan ganti rugi.
Kontradiksi kota
Perkembangan
kota dewasa ini memang sangat mencengangkan sekaligus menyedihkan. Dalam
konteks global, sekalipun hanya menggunakan 2 persen dari luas lahan di suatu
wilayah negara, tetapi keberadaannya sangat memengaruhi dan menentukan
kehidupan seluruh warga.
Dalam
aspek ekonomi, 70 persen produk domestik bruto (PDB) ada di perkotaan. Sebaliknya,
pada sisi lain, kota juga memberi kontribusi besar terhadap pencemaran
lingkungan, seperti pembuangan limbah industri dan sampah rumah tangga yang
mencapai 70 persen. Termasuk berkontribusi
terhadap emisi gas rumah kaca (70 persen).
Jakarta
sebagai ibu kota negara memiliki
tingkat pertumbuhan tinggi, yaitu 5,88 persen pada 2015-dengan perputaran
uang mencapai 70 persen-tak ayal menjadi magnet bagi masyarakat dari sejumlah
daerah untuk berpindah (urbanisasi) dalam rangka mendapatkan sumber penghidupan.
Sesungguhnya
urbanisasi bukanlah negatif untuk perkembangan kota. Ia merupakan produk dan
kekuatan pendorong dalam menyerap "produk surplus" yang timbul dari proses akumulasi modal.
Tumbuhnya usaha- usaha kecil dan pekerja terampil di bidang kuliner, laundry,
perdagangan, dan jasa merupakan implikasi logis dari perkembangan ekonomi
kota yang melayani kebutuhan kelompok
masyarakat kelas menengah-atas.
Dengan
sumber penghidupan berskala kecil dan merupakan kegiatan ekonomi bagian
paling hilir, tentu pendapatan yang diperoleh warga kelas bawah ini sangat
terbatas. Prinsip mereka, yang penting cukup untuk memenuhi biaya hidup
daripada menganggur di daerah asal. Karena itu, tempat tinggal yang dipilih
adalah kampung-kampung dekat kota sehingga biaya sewa rumah dan transportasi
murah.
Lambat
laun, kehadiran kampung di tengah-tengah kota menjadi padat dan
distereotipkan sebagai wilayah yang kotor, dekil, terbelakang, tidak teratur
dan sebutan lain yang negatif menurut selera kelas menengah-atas. Kampung
tidak lagi sebagai aset bagi kehidupan, tetapi dianggap sebagai gangguan atas
keindahan dan kenyamanan kota yang dicirikan sebagai tatanan serba fungsional
dan impersonal.
David
Harvey dalam bukunya, Rebel Cities: From The Right to the City to the Urban
Revolution (2012), mengatakan, praktik perkotaan saat ini lebih menyerupai
predator ekonomi yang melakukan sesuatu yang selalu dianggapnya benar. Warga miskin yang
tinggal di kampung dan di lahan negara didorong keluar pinggiran kota karena ruang yang tersedia
lebih baik digunakan pemodal untuk kegiatan ekonomi yang bernilai tinggi
(mal, apartemen, dan perkantoran).
Alhasil,
untuk bekerja atau berusaha, warga kelas bawah membutuhkan waktu, energi,
dan biaya perjalanan yang lebih besar.
Termasuk menjadi sasaran dari lembaga kredit yang memikat dan menawarkan
pinjaman untuk memenuhi kebutuhannya (kendaraan, barang elektronik, dan
lainnya).
Pemerintah
memang telah menyediakan sejumlah program sebagai kompensasi bagi warga yang
terpinggirkan, seperti penyediaan sarana transportasi murah, akses pendidikan
dan kesehatan. Namun, dengan keterbatasan anggaran, beban kehidupan warga
tidak berkurang. Bahkan, justru membuat angka kemiskinan dan kesenjangan pendapatan di Jakarta
semakin meningkat dalam dua tahun terakhir.
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik, angka
penduduk miskin pada Maret 2016 mencapai 384.300 jiwa atau naik sekitar
30.000 jiwa dalam empat tahun terakhir. Jumlah penduduk yang rentan miskin
juga relatif tinggi, lebih dari 1 juta jiwa. Sementara untuk rasio gini di
Jakarta meningkat drastis dari 2012 ke 2016, yaitu di atas 0,4.
Kota untuk semua
Pemerintah
tampaknya memang belum menempatkan dimensi manusia sebagai subyek untuk
membangun model kehidupan kota berkelanjutan yang didasarkan asas
kebersamaan, kebebasan, kesetaraan, harga diri, dan keadilan sosial. Padahal,
dalam Habitat III Conference di Surabaya, 10 September 2016, salah satu
agenda yang disepakati adalah mengintegrasikan keadilan sosial ke dalam
agenda pembangunan. Hal itu meliputi upaya menjamin akses warga ke ruang
publik, memperluas peluang usaha, dan meningkatkan akses pada fasilitas umum.
Bahkan,
Indonesia mengadopsi New Urban Agenda yang ditetapkan di Quito, Ekuador,
tahun 2016. Prinsip utama dari agenda global ini adalah kota bukan semata
bagi pejabat, pengusaha, orang kaya, dan kelas menengah, melainkan juga untuk
penduduk miskin di permukiman padat, bahkan bagi imigran.
Semua
warga, apa pun kelas dan golongannya, memiliki hak mengatur tata ruang dan tata kelola lingkungan
kehidupannya. Karena itu, melindungi
dan menghargai hak warga miskin yang tinggal di kampung kumuh dan lahan
negara justru meningkatkan kualitas kehidupan kota. Hal ini telah teruji dari
keberhasilan Pemerintah Kota Surabaya
membangun jembatan layang tanpa menggusur kampung nelayan Kenjeran
yang hampir 100 persen tinggal di lahan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar