Indonesia
Satu untuk Semua
Saurip Kadi ; Mantan
Asisten Teritorial Kepala Staf TNI Angkatan Darat
|
KOMPAS, 03 Januari
2017
Dengan
kasus Basuki Tjahaja Purnama, kebenaran pendapat Ben Anderson bahwa sebagai
bangsa ”Indonesia In The Making”
menjadi tak terbantahkan. Dari kasus Basuki pula, kini kita tahu betapa
rapuhnya kebinekaan kita. Di antara kita kemudian terjebak pada dikotomi
mayoritas-minoritas, antara Islam dan non-Islam, dan juga sedikit menyerempet
ke pri-nonpri dalam hal etnis Tionghoa.
Di
Pulau Jawa dan Sumatera serta daerah, seperti Riau, Lombok, dan Madura,
memang betul Islam adalah mayoritas. Namun, bagaimana dengan di Bali, NTT,
Ambon, dan Papua, bukankah justru Islam-lah yang minoritas? Sementara di
pulau-pulau besar lainnya, antara Islam dan non-Islam dalam posisi cukup
berimbang. Lantas faktor apa yang bisa mengikat kita jika hendak terus
bertahan dalam wadah Indonesia dengan wilayah dari Sabang sampai Merauke yang
satu untuk semua dalam kebinekaan?
Saat-saat
kritis telah kita lewati, bagaimana mungkin gara-gara seorang Basuki,
eksistensi kita sebagai negara bangsa nyaris tercabik-cabik. Jangan dikira
keunggulan mayoritas Islam di Jakarta tidak segera ditandingi mayoritas
non-Islam di wilayah lain. Beruntung sejarah kembali berulang. Jika dahulu
menjelang kemerdekaan Republik ini kebesaran jiwa sejumlah tokoh Islam telah
melahirkan Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara, kali ini
kebesaran jiwa sejumlah tokoh Islam terlebih yang langsung terlibat di
lapangan dalam demo 4 November dan 2 Desember 2016 kembali menampilkan wajah
baru peradaban Indonesia sekaligus menyelamatkan negeri ini dari stigma Islam
yang ”menakutkan”.
Lebih
dari itu, keberanian dan ketulusan Presiden Joko Widodo yang hadir untuk
shalat berjemaah bersama jutaan umat Islam di Monas telah membalik keadaan
darikekhawatiran bakal terjadi tragedi dan malapetaka menjadi berkah yang tak
ternilai harganya. Sudah barang tentu kesemuanya itu tidak lepas dari
kedewasaan aparatur keamanan TNI dan Polri dalam mengawal dan mengamankan
jalannya demo.
Besarnya
desakan warga negara, khususnya kaumibu-ibu yang anaknya gugur atau cacat
dalam perang di Vietnam, Amerika Serikat kemudian mengubah kebijakan dalam
membendung komunisme, dari semula operasi militer diganti dengan operasi
intelijen. Dalam kasus Indonesia, keberhasilan misi tersebut tidak bisa lepas
dari karakter komunisme sebagai ideologi pendobrakan dan juga kepiawaian
operator lapangan dalam mengadu domba antarkelompok masyarakat Indonesia,
khususnya Jawa, sebagaimana teori Clifford Geertz yang membagi masyarakat
kita ke dalam tiga kelompok, yaitu priayi, santri, dan abangan.
Menjelang
peristiwa G30S/PKI di sejumlah daerah, kader PKI membantai kiai dari
lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) yang notabene adalah tetangga, guru mengaji,
bahkan imam (pemimpin) shalat mereka sendiri. Begitu juga sebaliknya, pasca
G30S/PKI, santri NU yang dengan sadar bersama kekuatan lain menghabisi nyawa
tokoh dan anggota PKI yang tak lain juga tetangga, bahkan anggota keluarga
atau famili dan kerabat mereka sendiri. Aneh tetapi nyata, bangsa yang
agamais dan berbudaya adiluhung serta-merta berubah seolah menjadi tak
beradab.
Yang
pasti kemudian Bung Karno jatuh, kita kemudian masuk ke era baru di mana
tatanan politik dan khususnya ekonomi kita beralih ke paham kapitalisme
dengan cap ekonomi Pancasila. Pak Harto kemudian berhasil mengantar negeri
ini bersiap diri untuk tinggal landas, sangat disayangkan ”sial tak bisa
dielakkan”, di pengujung tahun 1997 dunia mengalami krisis moneter akibat
gelembung (bubble) ekonomi.
Indonesia kemudian dilanda krisis multidimensional dan dalam waktu singkat
kerusuhan anti Tionghoa begitu serempak terjadi di banyak tempat.
Kembali
lagi, serta-merta sebagai bangsa yang dikenal agamais dan budaya adiluhung
sebagian karakternya berubah total menjadi penjarah dengan semangat anti
Tionghoa. Pak Harto kemudian memilih mundur dan kita memasuki era
demokratisasi.
Lantas
siapa dalang yang sebenarnya atas kerusuhan sosial itu semua? Bukankah kita
tahu siapa sesungguhnya yang diuntungkan dari serangkaian kerusuhan sosial
tersebut? Biaya politik yang begitu besar, bahkan dibarengi dengan jatuh
korban di antara anak bangsa dalam jumlah yang tidak kecil, dalam rentang 70
tahun ternyata rakyat banyak belum menikmati manfaat keberadaan negara
sebagaimana mestinya.
Yang
terjadi justru sebaliknya,kini rakyat terbebani oleh warisan masa lalu yang
begitu berat akibat salah kelola kekuasaan negara, berupa rusaknya moral
sebagian besar elite negeri ini, utang yang begitu besar dan kerusakan alam,
sementara kekayaan alam hanya dinikmati oleh sekelompok orang kroni penguasa
dalam dan luar negeri.
Cengkeraman kapitalisme
brutal
Dalam
era reformasi, negeri ini kemudian menganut paham ”kapitalisme brutal”. Atas
nama demokrasi, rakyat boleh bicara sebebas-bebasnya, tetapi sumber daya alam
dan uang tetap di tangan kelompok tertentu yang terang-terangan melakukan
oligarki serta kartel kekuasaan dan ekonomi. Jika pada era Orde Baru
konglomerat yang dibesarkan pemerintah sepenuhnya di bawah kontrol negara,
dalam era reformasi yang terjadi sebaliknya, mereka dengan mudahnya bisa
”membeli” penguasa, tak terkecuali jajaran keamanan dan hukum.
Disebut
kapitalisme brutal karena sistem yang diterapkan tidak lagi peduli terhadap
sebagian besar rakyat hidup dalam kesulitan dan sebagian lagi tak berdaya
menghadapi capital violence yang
justru dilindungi negara. Bahkanuntuk kepentingan konglomerat ”hitam”, negara
melakukan terorisme oleh negara (state
terrorism). Penguasa tak lagi peduli bahwa mereka yang digusur adalah
rakyatnya sendiri yang tidak pernah bisa memilih terlahir dari keluarga
miskin. Praktik mafia dan kartel berkembang di semua lini kehidupan. Bahkan,
Presiden Joko Widodo pada awal pemerintahannya menyimpulkan bahwa ”mafia di
mana-mana dan di mana-mana mafia”.
Presiden
Joko Widodo memang tidak hendak melanjutkan cara-cara lama. Nawacita sebagai
kontrak sosial secara terang benderang hendak mengubah dan menghentikan
hal-hal buruk yang terjadi pada masa lampau. Konsekuensi logis yang tidak
bisa dihindari adalah terancamnya eksistensi konglomerat ”hitam”, mafioso,
pelaku kartel, sejumlah tokoh yang tersangkut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) dan Bank Century, koruptor kelas kakap, dan semua pihak yang terlibat
proyek mangkrak. Begitu pula kebijakan amnesti pajak. Secara awam, amnesti
pajak memang terbaca sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan anggaran, tetapi
bagi pihak-pihak tertentu, pajak amnesti adalah ancaman nyata atas diri dan
uang haramnya.
Menjadi
mudah untuk dipahami kalau sebagian besar dari mereka hingga saat ini belum
mau ikut program amnesti pajak. Dengan sadar mereka tahu bahwa dirinya akan
selamat manakala Presiden Joko Widodo jatuh atau setidaknya Indonesia dilanda
kerusuhan sosial apalagi berlatar belakang SARA sebelum batas akhir program
amnesti pajak.
Kondisi
menjadi lebih buruk lagi ketika konflik personel tokoh nasional tertentu dan
juga persaingan politik dalam pilkada DKI makin menganga. Sudah barang tentu
untuk sejumlah negara, program amnesti pajak yang kita tempuh juga sebagai
ancaman kebangkrutan perekonomian mereka.Maka, sesungguhnya ada atau tidak
ada kasus penistaan agama oleh Basuki, niscaya suhu politik dan keamanan akan
mengalami gonjang-ganjing untuk menggoyang pemerintahan Jokowi. Menjadi lebih
”laris manis” ketika muncul kasus yang sensitif, yaitu penistaan agama.
Hikmah kasus
Kasus
Basuki membawa hikmah yang luar biasa, kini kita tahu kadar kebinekaan kita
yang begitu rentan. Bangsa ini masih perlu kerja keras dalam membangun
nasionalisme dan toleransi dalam kebinekaan. Di sanalah maka ke depan negara
perlu memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam mendukung program-program
pemerintah. Karena nasionalisme kekinian tidak mungkin tanpa bicara manfaat
negara bagi segenap rakyat tanpa kecuali. Karena itu, sejumlah program
pemerintah yang terkait dengan pembangunan rasa kebangsaan dan bela negara
mutlak perlu diubah sesuai dengan tuntutan kekinian.
Kasus
Basuki juga bukti konkret bahwa tokoh Islam mustahil akan rela ditunggangi
oleh kepentingan pihak lain yang nyata-nyata telah mengantar Indonesia
menjadi begitu amburadul yang kini sedang dibenahi oleh Presiden Joko Widodo.
Maka, sepanjang hukum ditegakkan dengan seadil-adilnya, niscaya ke depan
tidak ada gejolak politik yang bersumber dari kasus Basuki.
Kekuatan
rakyat yang begitu besar, tak terkecuali dari lingkungan Islam, adalah
kekuatan nyata yang perlu disinergikan dengan program pemerintah.
Pemberantasan narkoba, mafia dan kartel, sapu bersih pungutan liar dan suap,
serta ”perang” melawan korupsi mustahil akan berhasil tanpa dukungan nyata
dari kekuatan rakyat terorganisasi. Bukankah dengan kondisi yang ada selama
ini justru banyak pihak di jajaran pemerintah, legislatif, peradilan, dan
termasuk di lingkungan TNI dan Polri kebagian rezeki dari perdagangan
narkoba, praktik mafia, kartel, korupsi, pungli, dan suap itu sendiri.
Langkah
berikutnya adalah pembenahan prosedur birokrasi pemerintahan dengan berbasis
teknologi informasi agar munculnya peluang untuk melakukan praktik mafia dan
kartel, serta suap, pungli, dan korupsi dapat dinihilkan.
Kasus
Basuki semestinya menyadarkan kita semua bahwa ke depan sistem kenegaraan
kita perlu segera dirombak agar negara melalui konstitusi dan
perundang-undangan turunannya menjamin Indonesia yang bineka ini adalah wadah
yang satu untuk semua dalam kebinekaan, bukan semua untuk sekelompok orang.
Ketika frustrasi publik terakumulasi, maka kasus sekecil apa pun, apalagi
yang terkait penistaan agama, otomatis akan menjadi besar yang hampir saja
menggoyahkan eksistensi negara karena Basuki sesungguhnya hanyalah medium
belaka.
Rasanya
lucu kalau kita berharap lantai yang disapu bakal bersih, sementara sapu yang
digunakan begitu kotornya. Bagaimana mungkin, kita berharap pabrik tahu bisa
memproduksi keju... mimpi kali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar