Agile
Banking
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
JAWA POS, 31 Desember
2016
BEBERAPA
tahun lalu kita masih sering membaca berita tentang pembukaan kantor cabang
bank. Sekarang? Nyaris tak terdengar lagi. Iya, membuka kantor cabang –secara
fisik, ada gedung dan karyawannya– kini tidak trendi lagi.
Mungkin
itulah jawaban dari ucapan Bill Gates bahwa masyarakat modern kelak akan
hanya perlu sistem perbankannya, sedangkan kantor banknya tak harus bangunan.
Lagi pula, pekerjaan yang paling banyak hilang adalah teller bank. Hendaknya
para teller mulai mempersiapkan keterampilan baru.
Apalagi,
nasabah sekarang semakin pintar. Mereka tahu, pada akhirnya semua biaya untuk
kantor cabang tersebut akan dikonversi menjadi tanggungan nasabah juga. Suku
bunga kredit menjadi lebih mahal, sementara suku bunga tabungan atau deposito
ditekan serendah mungkin.
Jadi,
pembukaan kantor cabang tidak perlu lagi. Sekarang era branchless banking.
Bank boleh hadir di mana-mana, tapi tak usah berupa fisik. Bahkan, lebih dari
itu, sekaranglah era agile banking. Apa itu?
Saya
pakai definisi yang simpel saja. Bank mesti terus memperbesar pangsa
pasarnya. Itu harus. Sebab, bank adalah institusi bisnis. Namun, caranya tak
bisa lagi seperti dulu. Selain harus memperbesar pangsa pasarnya, bank juga
dituntut untuk terus menekan biaya operasional. Inilah era agile banking. Bagaimana caranya?
Lima Ciri
Ada
lima ciri yang mewarnai. Pertama, konsumen harus menjadi nomor satu. Jadi,
bank harus berfokus pada apa yang menjadi kebutuhan customer, harus paham apa yang menjadi kepedihan dan keinginan
konsumen.
Kedua,
bank harus mendesain sedemikian rupa agar sistemnya, mata rantai, dan
jaringan distribusinya tidak kompleks. Bahkan harus jauh lebih sederhana.
Ketiga,
perbankan juga harus mengubah sebanyak mungkin biaya-biaya tetapnya (fixed cost) menjadi biaya variabel (variable cost). Biaya tetap yang
terlalu tinggi hanya akan membebani bank dan akhirnya menjadi tanggungan
nasabah juga.
Keempat,
bank harus menjadi semakin fleksibel –meski tanpa harus mengorbankan prinsip
kehati-hatian. Jadi, dituntut adaptif, menyesuaikan diri dan lebih cepat
mengambil keputusan.
Kelima,
bank yang agile harus mampu memanfaatkan kanal-kanalnya, baik yang
tradisional maupun digital. Itu dilakukan untuk terus memperbesar pangsa
pasarnya.
Rumit?
Kelihatannya begitu. Memang seperti itulah tuntutan bisnis di era modern.
Nasabah maunya serbalebih. Di sisi lain, persaingan semakin sengit.
Begitulah, bisnis memang tidak pernah menjadi semakin mudah. Itu sebabnya
setiap institusi bisnis dituntut untuk menjadi semakin agile, semakin tangkas
dalam merespons setiap perubahan.
Supaya
punya bayangan seperti apa kira-kira agile banking, kita angkat case tentang
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), yang kini usianya sudah 121 tahun.
Anda
tahu, BRI saat ini memiliki lebih dari 59 juta nasabah. Artinya, hampir 25
persen dari seluruh penduduk negeri ini menjadi nasabah bank BUMN tersebut.
Lalu,
ini yang ”merepotkan”, sebagian besar di antaranya adalah pengusaha skala
UMKM atau usaha mikro, kecil, dan menengah. Persentasenya mencapai 72,4
persen. Selebihnya, kredit BRI disalurkan ke pengusaha besar atau korporasi
(13,5 persen) dan sesama BUMN (14,1 persen).
Dengan
jumlah nasabah sebanyak itu, apalagi sebagian besar berada di pedesaan, di
pelosok, termasuk pulau-pulau terluar negeri ini, tak mungkin BRI bisa
menjadi agile bank kalau hanya mengandalkan kanal-kanal distribusi
tradisional. Misalnya, dengan membuka banyak cabang serta merekrut ratusan
dan mungkin ribuan pegawai. Ongkosnya sangat mahal dan tidak menyelesaikan
masalah, baik di masa kini dan terlebih lagi di masa mendatang.
Captive Market
Apa
yang dilakukan BRI untuk menjadi agile bank? Saya lihat, langkah pertama
adalah investasi satelit. Memang mahal, tetapi itu investasi amat logis.
Hitung-hitungannya begini.
BRI
membeli satelit, BRIsat, seharga Rp 2,5 triliun dengan pembayaran dicicil
selama delapan tahun. Untuk itu, setiap tahun BRI mesti membayar cicilan
sekitar Rp 400 miliar. Angka itu masih lebih murah ketimbang BRI menyewa
jaringan telekomunikasi konvensional yang mencapai Rp 500 miliar per tahun.
Apalagi, umur satelit itu mencapai 17 tahun dan bisa diperpanjang hingga 19
tahun.
Dengan
BRIsat, BRI bisa memperluas pangsa pasar hingga daerah-daerah terpencil –yang
selama ini tak bisa diakses jaringan telekomunikasi konvensional tersebut.
Bagaimana caranya? Bukan dengan membuka kantor-kantor cabang atau merekrut
karyawan baru, melainkan justru dengan memberdayakan nasabah, yang sebagian
besar di antaranya merupakan pengusaha UMKM di daerah tersebut. Jadi, BRI
merekrut mereka sebagai agen-agennya.
Untuk
para agennya, BRI melengkapi mereka dengan sejumlah produk berbasis teknologi
yang terkoneksi dengan BRIsat. Misalnya, mesin EDC atau ATM mini. Maka,
begitulah, sambil terus mengelola bisnisnya, agen-agen itu dapat menjual
produk-produk dan layanan BRI. Mulai tabungan, tarik tunai, hingga kredit
skala mikro.
Kini,
berkat teknologi tersebut, BRI tidak hanya berhasil memperluas pangsa pasar,
terutama UMKM, tetapi juga mampu menekan biaya operasional sekaligus memiliki
captive market. Itu terjadi karena customer-nya sulit sekali direbut oleh
bank-bank lain, yakni masyarakat yang berada di pelosok, pedalaman, dan
pulau-pulau terluar. Begitulah kalau bank sudah sangat tangkas dalam
berbisnis.
Meski
ini soal bank, saya yakin ini juga penting untuk Anda pikirkan dalam bisnis
Anda di luar bank. Ingat, tahun 2017 persaingan dunia usaha telah berubah.
Semua bisnisnya incumbents akan menghadapi lawan-lawan yang tak kelihatan.
Itu adalah topik buku baru saya yang sedang ditulis untuk Februari yang akan
datang. Semoga Anda bersabar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar