Trump
dan Timur Tengah
Zuhairi Misrawi ; Ketua
Moderate Muslim Society (MMS);
Peneliti The Middle East
Institute
|
KOMPAS, 17 November
2016
Kemenangan Donald Trump sebagai
presiden ke-45 AS tidak hanya mengubah peta politik di dalam negeri AS,
tetapi juga akan membawa perubahan besar di Timur Tengah.
Kini, tak mudah bagi publik
Timteng menerka kira-kira seperti apa kebijakan politik di Timteng. Di satu
sisi, Trump dalam kampanyenya berjanji fokus pada kebijakan dalam negeri
untuk memulihkan ekonomi. Namun di sisi lain, masih banyak persoalan politik
di Timteng yang perlu keterlibatan AS.
Beberapa agenda yang akan
mendapat perhatian Trump ialah Palestina, Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS), serta Iran. Jika tak hati-hati dalam memecahkan masalah-masalah itu,
bukan tak mungkin akan jadi bencana politik bagi AS, seperti dilakukan
pendahulunya dari Partai Republik, George W Bush.
Beberapa hari menjelang pilpres
AS, menurut Robin Wright di The New Yorker, ada sembilan negara di Timteng
yang disurvei perihal pilihan mereka terhadap presiden AS. Antara lain:
Aljazair, Mesir, Irak, Maroko, Palestina, Tunisia, Arab Saudi, Jordania dan
Kuwait. Sekitar 66 persen memilih Hillary Clinton dan hanya 11 persen memilih
Trump. Pilihan terhadap Trump paling rendah di Mesir dan Palestina.
Rendahnya pilihan warga Arab
terhadap Trump berbanding terbalik dengan sikap rezim yang berkuasa di
Timteng. Trump justru mendapatkan respons positif dari sejumlah rezim,
khususnya Mesir dan Arab Saudi.
Presiden Mesir Abdel Fatah
El-Sisi merupakan pemimpin Timteng yang pertama kali menelepon dan
mengucapkan selamat langsung kepada Trump. Sikap El-Sisi ini didasari pada
fakta bahwa Trump dianggap lebih menguntungkan daripada Hillary. Trump lebih
condong pada stabilitas politik daripada demokrasi dan hak asasi manusia.
Dalam sebuah pertemuan antara
Trump dan El-Sisi di AS saat masa kampanye, keduanya terlihat punya chemistry
dan visi yang sama soal pentingnya stabilitas politik di Timteng.
Selain Mesir, Arab Saudi juga
menyambut positif kemenangan Trump. Menlu Adel al-Jubeir dalam akun
Twitter-nya langsung mengucapkan selamat atas kemenangan Trump dan berharap
dapat memperkuat hubungan bilateral kedua negara. Sikap Arab Saudi dapat
dimaklumi karena mereka sangat kecewa terhadap Obama yang melakukan
normalisasi hubungan AS-Iran dalam kesepakatan nuklir.
Palestina
Isu paling krusial yang akan
banyak mendapatkan perhatian warga Timteng pada kepemimpinan Trump adalah
Palestina. Pasalnya, Trump telah mengambil sikap memihak kepada Israel
terkait konflik menyejarah Israel-Palestina. Pada masa kampanye pilpres,
Trump berjanji akan menegaskan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Ia juga
berjanji mengakhiri perundingan solusi dua negara hidup berdampingan dengan
damai (two states solution). Bahkan, Trump akan mendukung pendudukan Israel
di Tepi Barat dan pembangunan pemukiman baru di Jerusalem Timur, yang wilayah
Palestina.
Maka dari itu, kemenangan Trump
merupakan kekalahan Palestina. Cita-cita mewujudkan kemerdekaan dan kedaulatan
Palestina akan semakin sulit, bahkan hampir dipastikan mengalami kegagalan.
Padahal negara-negara Eropa sedang berusaha mendorong kemerdekaan Palestina.
Tanpa dukungan AS, upaya ini akan gagal. Indonesia juga dua tahun terakhir
sangat aktif mendorong kemerdekaan Palestina.
Sikap Trump ini bukan tanpa
risiko. Langkah berada di pihak Israel akan membawa konsekuensi tidak
sederhana. Langkah ini akan membangunkan macan tidur, khususnya faksi Hamas
yang keras terhadap Israel.
Pelajaran masa lalu membuktikan,
sikap ekstrem Trump terhadap Palestina akan menjadikan Hamas sebagai idola
politik warga Palestina. Artinya, jika digelar pemilu di Palestina, Hamas
akan mendapatkan dukungan politik lebih besar, karena sikap Hamas yang
menentang keras Israel akan mendapatkan dan akan menemukan momentumnya, bahwa
AS dan Israel merupakan penghalang bagi kemerdekaan Palestina. Tak hanya itu,
isu Palestina tak hanya berdampak bagi instabilitas politik di dalam negeri
Palestina, tetapi juga pada ranah global. Kelompok ekstrem seperti NIIS dan
Al Qaeda akan mendapatkan amunisi untuk melawan AS dan sekutu-sekutunya
karena mereka sebagai biang keladi penindasan global.
NIIS
Kedua, NIIS. Tak bisa
dimungkiri, NIIS kelompok yang sangat bergembira menyambut kemenangan Trump.
Janji Trump yang hendak melarang Muslim masuk ke AS hanya akan menjadi bensin
yang dapat mengobarkan ideologi ekstremis NIIS. Bahkan NIIS mengancam AS jika
Trump bersikukuh memberlakukan orang Muslim di AS secara diskriminatif,
pembalasan NIIS akan jauh lebih keras.
Di samping itu, Trump dalam
kampanye berjanji membumihanguskan NIIS. Obama relatif keras terhadap NIIS,
tetapi Trump yang didukung kubu konservatif AS akan jauh lebih besar
mengerahkan kekuatan militer untuk melawan NIIS. Langkah tersebut juga tak
selamanya positif.
Sikap keras yang dilakukan
Trump terhadap NIIS tak akan jadi jaminan NIIS akan sirna di muka bumi.
Bahkan jika tak hati-hati, sikap Trump yang akan mengerahkan kekuatan militer
terhadap NIIS akan membesarkan NIIS. Mereka yang selama ini mulai kecewa pada
NIIS akan terkonsolidasi, karena AS musuh bersama kelompok ekstremis. NIIS
akan dengan mudah membuat narasi ”melawan AS”.
Maka dari itu, NIIS meyakini
Trump merupakan akhir dari kedigdayaan AS karena AS akan jadi musuh bersama.
AS akan mengalami deligitimasi moral karena sikapnya yang menggunakan militer
untuk menghabisi NIIS. Sikap AS terhadap Irak dan Afganistan menjadi contoh,
betapa kekuatan militer tak bisa menghancurkan kelompok ekstremis. Alih-alih
ingin menghancurkan mereka, justru membangun mereka dari tidurnya.
Iran
Ketiga, Iran. Kebijakan Trump
terhadap Iran akan jadi babak baru yang menarik perhatian. Pasalnya, Trump
berencana meninjau kembali kesepakatan nuklir AS-Iran. Obama memandang lebih
baik menormalisasi hubungan dengan Iran yang terus memburuk sejak 1979 dengan
mengontrol dan membatasi pengembangan nuklir. Namun, Trump justru menganggap
kesepakatan itu ancaman bagi pengembangan nuklik Iran. Karena itu, Trump
berjanji membatalkan kesepakatan itu.
Sikap ini akan mengubah wajah
relasi AS-Iran ke depan. Selama ini, Iran bersama AS dan Rusia bersama-sama
menumpas NIIS. Obama meyakini tak mungkin melawan NIIS tanpa melibatkan Iran.
Maka dari itu, sikap keras Trump harus dibayar dengan sejauh mana komitmen
Iran dalam peran serta melawan NIIS.
Bahkan yang lebih penting,
sikap Trump bisa membangunkan kubu konservatif di Iran. Sebab itu, kemenangan
Trump disambut meriah kubu konservatif di Iran. Padahal Iran akan menggelar
pilpres Mei 2017. Sikap keras Trump atas Iran akan jadi amunisi penting kaum
konservatif untuk memiliki kebijakan serupa dengan Trump, menentang keras AS
dan menolak kesepakatan politik dengan AS.
Secara umum, beberapa rencana
kebijakan luar negeri Trump akan jadi angin segar bagi kaum konservatif dan
ekstremis Timteng. Trump harus mempertimbangkan beberapa kebijakan terhadap
Palestina, NIIS, dan Iran. Dampak mudaratnya jauh lebih besar daripada
manfaatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar