Kecemasan
dan Kekerasan
Yudi Latif ; Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 29 November
2016
Kabut kecemasan mengepung dunia, menyulut sentimen primordial di
berbagai belahan bumi. Api permusuhan dan penyingkiran ”yang berbeda”
menjalar mulai dari Timur Tengah hingga Eropa, Amerika Serikat hingga Amerika
Latin, dari Myanmar hingga Indonesia.
Arus globalisasi membuka rongga kebebasan ruang publik dan
intensitas perjumpaan lintas peradaban. Kebebasan dan perjumpaan melambungkan
banyak harapan. Tingginya harapan pada kenyataannya tidak selalu sejalan
dengan pemenuhan ekspektasi keadilan. Jarak lebar antara kebebasan dan
keadilan itulah yang melahirkan kecemasan dan kekerasan.
Dalam konteks Indonesia, Orde Reformasi melahirkan momentum
keterbukaan ruang publik dan pemberdayaan ”masyarakat sipil” (civil society). Hal ini ditandai oleh
penguatan kembali hak-hak sipil, kebebasan berpendapat, berkumpul, dan
berorganisasi. Walaupun demikian, nilai-nilai demokrasi tidak bisa ditegakkan
dengan mudah di tengah kuatnya budaya feodalisme, rendahnya tingkat
pendidikan, buruknya situasi ekonomi, dan lemahnya supremasi hukum.
Pengembangan demokrasi dan reformasi politik tanpa dukungan tertib hukum dan
keadilan sosial-ekonomi sering kali dibarengi dengan konflik sosial,
disintegrasi, dan kekerasan etno-religius.
Dengan kata lain, penguatan demokrasi dan masyarakat sipil
menghendaki adanya kebebasan yang sejalan dengan keadilan. Dalam sistem
politik otoritarian, ancaman utama terhadap kebebasan muncul dari negara.
Dalam sistem demokratis, ancaman itu justru muncul dari kekuatan-kekuatan
masyarakat sipil, dalam bentuk fanatisme komunalistik.
Fanatisme merupakan antipoda dari masyarakat sipil karena
menolak rasionalitas, prinsip representasi dalam politik serta pemerintahan
hukum (konstitusional) sebagai bantalan vital demokrasi. Kelompok-kelompok
mapan yang mengalami kemunduran atau kalangan yang terlempar dari gelanggang
politik formal akan mengembangkan fanatisme dan cenderung bersikap ”iri” (resentment) terhadap kebebasan,
partisipasi, dan modernisasi.
Namun, fanatisme tidaklah muncul tanpa akar. Ia muncul akibat
terganggunya basis-basis keadilan dan distorsi komunikasi dalam ruang publik.
Berdasarkan pengalaman lintas negara, banyak kekerasan dan konflik sosial
terjadi akibat ketidakadilan (baik nyata maupun perseptual) dalam alokasi
sumber daya, penyerobotan lahan kehidupan serta deprivasi sosial; baik dalam
relasi domestik maupun internasional. Ketidakadilan dan ketercerabutan sosial-ekonomi
ini diperparah oleh pelumpuhan daya-daya komunikatif dalam ruang publik
karena penundukan sistem nilai kebajikan hidup bersama (lifeworld) oleh dunia sistem kapitalisme.
Keadilan hukum terganggu ketika warga negara diberi perlakuan
yang berbeda atau tak diberi perlindungan oleh negara atas hak-hak
sipil-politik dan hak-hak ekonomi-sosial-budayanya. Jika warga negara gagal
memperoleh perlindungan dari negara, secara alamiah mereka akan mencari
perlindungan dari sumber-sumber yang lain. Sumber-sumber alternatif ini bisa
dalam bentuk fundamentalisme keagamaan, tribalisme-etnosentrisme, premanisme,
dan koncoisme.
Ketidakadilan ekonomi terganggu manakala perluasan ruang
partisipasi di bidang politik tidak seiring dengan perluasan partisipasi di
bidang ekonomi. Di Indonesia, pergeseran ke arah sistem politik demokratis
yang membawa serta gelombang aspirasi neoliberal dalam perekonomian terjadi
ketika tradisi negara kesejahteraan masih lemah. Penetrasi kapital dan
kebijakan pro pasar di tengah-tengah peluasan korupsi serta lemahnya regulasi
negara, memberi peluang bagi merajalelanya ”predator-predator” ekonomi
raksasa, yang secara cepat memangsa pelaku-pelaku ekonomi menengah dan kecil.
Ekspansi kepentingan predator besar ini tidak berhenti pada dunia usaha,
tetapi juga menyusup ke soal perumusan perundang-undangan, bahkan sampai pada
pemilihan pejabat pemerintah di daerah. Kesenjangan ekonomi melebar yang
menyulut kecemburuan sosial.
Dengan demikian, untuk mencapai demokrasi substantif, kebebasan
di ruang publik harus dikelola secara dewasa. Kebebasan harus digunakan
secara bertanggung jawab dalam rangka ”melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Konsolidasi demokrasi di Indonesia akan berhasil jika kita mampu
mengelola tuntutan kebebasan yang bersejalan dengan keadilan. Jika keduanya
tak berjalan berkelindan, ancaman yang akan kita hadapi tidak saja soal
disintegrasi sosial, tetapi juga akan hancurnya kerekatan sosial dalam
masyarakat. Apabila kerekatan sosial hancur, akan tumbuh sosial distrust
(iklim tidak saling memercayai) di antara kelompok-kelompok sosial sehingga
kelompok yang satu dengan yang lainnya akan saling curiga, saling bermusuhan
atau bahkan, yang paling mengerikan, adanya upaya untuk saling meniadakan.
Dalam situasi demikian, mimpi buruk Hobbesian berupa ”perang semua lawan
semua” (war of all against all)
bisa jadi kenyataan. Dengan ini, kita sadar, betapa pentingnya melakukan
refleksi diri, membuka hati penuh cinta untuk yang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar