Kekacauan
Komunikasi 411
Redi Panuju ; Doktor
Sosiologi Media;
Ketua Prodi Magister Ilmu
Komunikasi Unitomo Surabaya
|
JAWA POS, 24 November
2016
KEKACAUAN komunikasi (communication
breakdown) terjadi bukan hanya karena salah satu pihak atau keduanya
tidak memahami isi pesan (message)
yang dimaksud pengirimnya atau ketidakpahaman menafsirkan seluruh isi pesan,
tapi juga karena isi pesan diterima yang bukan menjadi tujuannya. Contohnya
tayangan televisi yang isinya diperuntukkan kalangan dewasa, tetapi ditonton
anak-anak di bawah umur. Hal itu sesungguhnya juga berlaku pada kasus iklan
mobil mewah, rumah mewah, dan gambaran hidup mewah yang ditangkap kalangan
miskin.
Dalam konteks ini, saya menduga kasus penistaan agama yang
mendera Gubernur (nonaktif) DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
mirip-mirip dengan itu. Semula Ahok memakai narasi Al Maidah 51 yang
ditujukan kepada para pendukungnya di Kepulauan Seribu untuk menamsilkan
bahwa orang-orang di luar yang tidak mendukung dirinya disebabkan adanya
pesan dalam ayat tersebut di mana diwajibkan bagi kaum muslim memilih
pemimpinnya dari kalangannya sendiri (muslim).
Tentu Ahok mengenal narasi itu dari suatu komunikasi yang entah
di mana terjadi dalam kalangan internal (terbatas) kaum muslim. Dalam hal ini
Ahok berstatus penerima pesan yang bukan tujuan aslinya. Ahok seperti halnya
anak-anak yang menerima pesan orang dewasa menjadi tidak enak hati atau
seperti orang miskin yang selalu disuguhi gambaran hidup mewah menjadi
“ngiler”.
Pesan yang sama memungkinkan dipersepsi berbeda sesuai dengan
perbedaan entitasnya itu. Di masjid-masjid saya sangat sering mendengar
seorang khatib “mengolok-olok” agama lain (dengan tujuan memperkuat
iman/akidah jamaahnya). Hal tersebut tidak menimbulkan kekacauan dalam
komunikasi karena pesannya diterima komunikan yang memang menjadi tujuannya.
Pastilah bila di sana ada orang nonmuslim yang mendengar, dia akan mengalami
persepsi berbeda. Dia merasa dihina. Padahal, maksud sang khatib bukanlah
menghina, melainkan memperkuat kohesivitas kolektif.
Narasi Ahok tentang “dibohongi pakai Al Maidah 51” telanjur
menyebar begitu luas, jauh melampaui komunikan yang menjadi tujuannya. Dalam
alam posmodern seperti sekarang, seperti dikatakan Baudrillard, memang
memungkinkan reproduksi informasi dan penyebarluasannya (difusi) seperti
gerakan simulakral, begitu cepat dan berlipat-lipat. Efeknya, demo 4 November
(demo 411) tak terelakkan.
Meskipun akhirnya Ahok ditetapkan sebagai tersangka, kekacauan
komunikasi tidak lantas terhenti. Justru membelah opini publik di masyarakat
menjadi seperti serpihan piring pecah. Angka 411 dikembangkan “lawan” Ahok
sebagai tulisan “Allah”, yang diasosiasikan bahwa demo tersebut mendapat
pertolongan dari Tuhan. Sementara bagi pendukung Ahok, angka itu adalah
malapetaka politik. Media massa ternyata tidak menghentikan pemberitaan kasus
tersebut karena memang punya magnitude yang besar dalam nilai jurnalistik
(news values).
Tidak banyak publik yang menyadari bahwa dalam pemberitaan
selalu ada bingkai (framing) sesuai dengan politik redaksionalnya. Padahal,
kita tahu, pada media-media besar (televisi), ada relasi yang unik antara
pemiliknya dan dukungan politik yang konkret terhadap Ahok.
Frekuensi dan intensitas terhadap pemberitaan pemeriksaan Ahok
oleh Bareskrim Polri setelah berstatus tersangka membelah persepsi. Bagi yang
kontra dengan Ahok, pemberitaan itu dimaknai sebagai penguatan terhadap
kepuasan. Bagi pendukung Ahok, pemberitaan tersebut bisa dimaknai justru
Ahok-lah yang sekarang sedang dinistakan media sehingga menimbulkan kesan
sebagai individu yang sedang “dikuyo-kuyo” (dianiaya). Sedangkan bagi yang
dukungan politiknya masih mengambang, bergantung pada keyakinan yang
terbentuk. Bisa mendukung Ahok, bisa menolak, tapi bisa juga tak bersikap
(bibit golput dalam pilkada DKI Jakarta).
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi menjelang maupun sesudah 411
turut menyumbang kekacauan komunikasi. Kunjungan Jokowi ke markas TNI dan
Brimob yang gesturnya ditayangkan berulang-ulang di TV dapat dimaknai: maksud
Jokowi barangkali untuk menunjukkan bahwa dirinya masih eksis. Sebagai
presiden maupun sebagai panglima tertinggi. Namun dapat dimaknai berbeda oleh
pihak lain. Gestur Jokowi seperti hendak mengirimkan pesan bahwa dirinya siap
mengerahkan militer bila terjadi “makar”. Seolah-olah pemerintah sudah punya
predisposisi bahwa demo 411 mengarah pada tampuk pemerintahannya. Pesan itu
bisa menjadi liar ketika ada yang menafsirkan sebagai (maaf) “politik adu
domba”.
Kekacauan komunikasi berikutnya, Jokowi kurang jeli
mengidentifikasi siapa gerangan para pendemo 411. Jokowi mengunjungi para
ulama yang bukan bagian substantif inisiator unjuk rasa tersebut. Kunjungan
Jokowi ke pimpinan NU dan Muhammadiyah jelas tidak tepat. Sebab, dua
organisasi itu sebelum demo tidak menginstruksi anggotanya untuk turun ke
jalan. Inisiator demo 411 justru berasal dari kalangan muslim yang secara
ekonomi masuk menengah perkotaan, terpelajar, dan selama ini dimarginalkan
pemerintah dan institusi sosial keagamaan yang mapan.
Mengapa kalangan tersebut tidak “disapa” presiden? Pesan Jokowi
untuk tidak berdemo lagi mungkin benar karena menghabiskan energi dan
berbahaya bila disusupi anasir-anasir yang tidak bertanggung jawab. Namun,
pesannya tertuju kepada penerima pesan (komunikan) yang salah. Jadi, potensi
kekacauan komunikasinya lebih besar. Wajar bila ada inisiasi akan ada demo
lagi. Ayo berkomunikasilah dengan khalayak yang tepat. Masih ada waktu….! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar