Toleransi
bukan Basa-basi
Totok Amin Soefijanto ; Wakil
Rektor Akademik Universitas Paramadina;
Senior Advisor ACDP-Indonesia; Penasihat
One-Indonesia.id
|
MEDIA INDONESIA,
23 November 2016
TOLERANSI ialah bukti kematangan jiwa seseorang. Sikap semacam
ini memerlukan kemampuan besar memahami orang lain sekaligus mencerminkan
kebesaran jiwanya dalam menerima perbedaan. Semua umat beragama memiliki
keteguhan iman dan percaya bahwa agamanyalah yang benar. Di sisi lain,
keteguhan itu tidak mengabaikan keberadaan agama lain beserta umatnya. Dalam
Islam, misalnya, ada ayat yang menyebutkan, 'Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku' (Al Kafirun: 6). Di situlah sebenarnya toleransi dan keterbukaan
Islam terhadap pemeluk agama lain.
Semangat inilah yang menurut Khaled Abou El Fadl menentukan
peradaban luhur manusia di masa depan setelah mengambil hikmah dari sejarah
Islam yang sebenarnya sarat dengan ikhtiar perdamaian--lebih banyak suasana
damai daripada perang. 'Semua kebaikan sejarah itu sekarang berada di pundak
para pemikir muslim kontemporer untuk diteruskan', tulisnya dalam Boston Review edisi 1 Desember
2001--tiga bulan setelah peristiwa September 11.
Sikap ekstrem dan tidak toleran ada di setiap agama. Kemajuan
sains dan teknologi yang kemudian mengikis peran agama juga mulai muncul.
Bagi sebagian ateis baru, agama justru menjadi penghalang perdamaian. Banyak
perang disebabkan agama atau mengatasnamakan agama. Samuel Huntington dalam Clash of Civilizations? (perhatikan
tanda tanya di judul itu) menyebutkan bahwa konflik di masa depan akan banyak
disebabkan perbedaan budaya dan agama.
Esai Huntington itu terbit pertama kali di jurnal Foreign Affairs pada 1993 dengan
gambaran perang kecil di berbagai wilayah. Sangat menyentak bagi para pengamat
politik dunia Islam, seperempat abad kemudian, tesis itu masih sangat
membekas di benak para pemikir sosial dan ekonomi hingga sekarang. Perang
saudara di Suriah, maraknya IS, dan guncangnya geopolitik Timur Tengah
seperti membenarkan ramalan Huntington. Pertanyaan kritisnya ialah mungkinkah
konflik yang terjadi saat ini 'disebabkan' tesis Huntington?
Kita justru membutuhkan toleransi saat ini. Dunia sudah semakin
kompleks dan modern. Manusia dan peradaban di dalamnya sudah semakin beragam
dengan tingkat kehidupan yang lebih baik--khususnya di bidang kesehatan dan
pendidikan--membuat harapan hidup semakin panjang. Kesempatan semakin terbuka
untuk siapa saja menjadi manusia yang berhasil, terlepas dari agama, suku,
bangsa, etnik, dan gender (jenis kelamin). Bumi kita yang semakin dipadati
penduduk dan terancam polusi, juga pemanasan global, membutuhkan kita semua
untuk bekerja keras. Bagaimana mengatasi kebutuhan pangan dan energi buat 7,5
miliar penduduk (2016). Di sinilah semangat toleransi diperlukan. Kita harus
saling menenggang rasa dan menghargai sesama karena kita bersama-sama
menghadapi masalah. Kita perlu bekerja sama dan memanfaatkan semua bakat dan
kepandaian yang ada, terlepas dari agama, ras, suku, gender, dan sebagainya.
Persoalan toleransi menjadi berat karena masih banyak saudara
kita yang belum mendapatkan pendidikan yang baik, pelayanan kesehatan yang
memadai, dan posisi ekonomi-sosial yang masih rendah. Perjuangan mendorong
toleransi menjadi berat ketika sebagian dari kita tidak melek huruf, literasi
kurang, dan kesempatan belajar nyaris hilang. Demokrasi menjadi utopia buat
orang-orang yang tertinggal dan tertindas. Mereka membutuhkan kesempatan yang
sama, atau kalau perlu kesempatan yang diadakan khusus buat mereka (aksi
afirmasi atau affirmative action) agar dapat sejajar dengan rekan-rekan
mereka di masyarakat. Oleh sebab itu, kita perlu membangun manusia melalui
pendidikan yang bermutu buat saudara-saudara kita sebangsa setanah air yang
kurang beruntung.
Kemampuan bertoleransi dimulai dari pendidikan dini di keluarga,
lalu berlanjut ke sekolah formal dan pergaulan di masyarakat. Toleransi,
menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), ialah sikap atau sifat
'toleran'. Nah, arti toleran sendiri ialah 'bersifat atau bersikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri'.
Di sinilah perlunya pendidikan yang bermutu buat anak-anak kita
agar mereka mampu mewujudkan sikap toleran tersebut. Apakah pendidikan yang
baik menjamin seseorang menjadi toleran? Belum tentu juga, tetapi setidaknya
kalau dilihat porsi terbesar masyarakat beradab dan toleran biasanya terdiri
dari orang-orang yang terdidik dengan baik.
Toleransi dapat ditumbuhkan dengan kepedulian sosial dari mereka
yang sudah berhasil. India yang relatif lebih berat tantangan toleransinya
saat ini mendorong perusahaan yang berhasil membantu mendirikan laboratorium
sains dan komputer untuk kaum minoritas, marginal, wanita, dan anak
berkebutuhan khusus. Negara harus hadir untuk memperkuat semangat toleransi
dengan menghargai keragaman, pembangunan infrastruktur, pengendalian harga
sembako, penyediaan kesempatan pelatihan, dan penegakan hukum.
Presiden Joko Widodo juga mengingatkan mayoritas agar melindungi
minoritas dan sebaliknya minoritas menghargai mayoritas. Peran negara memang
seharusnya mendorong kerja sama semua warga negara dari semua agama, ras,
suku, dan gender agar cita-cita bangsa tercapai. Semua itu memungkinkan
apabila semua pihak menjalankan toleransi secara baik dan nyata, bukan hanya
retorika.
Sikap toleran dapat dimulai dari hal-hal yang kecil. Kita
biasakan anak kita melihat temannya dari penganut agama lain dalam beribadah,
misalnya. Kok berbeda? Kita menjelaskan kepadanya dengan semangat toleransi.
Hasilnya berbeda kalau kita sebagai orangtua memberikan penjelasan yang
negatif dan merendahkan. Masih ada keluarga yang membesarkan anaknya dengan
semangat intoleran tanpa disadarinya. Sikap kita yang 'berbeda' saja bila
berhubungan dengan rekan yang berbeda agama atau suku dari kita akan
ditangkap anak-anak kita dengan mudah. Stereotip yang kita sampaikan mengenai
suku tertentu atau penganut agama tertentu akan membekas di benak si anak
bila dewasa nanti.
Oleh sebab itu, kita harus mulai dari diri kita sendiri. Contoh,
cobalah berbesar hati bila ada orang yang berbeda dari kita melakukan
kesalahan. Sering kita mengomel, “Dasar si A ….(agama, gender, atau suku),
makanya …. (cap negatif). Ungkapan sepele seperti itu bila didengar si anak
akan membentuk persepsi si anak tentang kelompok tertentu dengan
stereotipnya.
Ada nasihat yang baik dalam menumbuhkan toleransi di antara
kita. Salah satunya ialah terapkan keramahan secara acak (apply random kindness). Kita harus
tersenyum dengan siapa pun yang kita temui di mana pun dan kapan pun. Mudah,
bukan? Mudah diucapkan, tetapi cobalah terapkan mulai hari ini. Jangan
melihat warna kulitnya, bajunya, atau atribut-atribut yang 'berbeda' dari
kita. Di situlah sebenarnya strategi agar kita menjadi pribadi yang toleran
dan menghargai orang yang berbeda dari kita. Imbalan atau pahala yang kita
peroleh akan sangat besar buat jiwa kita. Inilah rahasianya: toleransi bukan
untuk orang lain, tetapi untuk diri kita sendiri. Selamat Hari Toleransi
Dunia, semoga kita berhasil menjadi orang yang memiliki toleransi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar