Bahasa
Simbolik Presiden
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan; Akademisi dan Praktisi Bisnis yang juga Guru Besar Bidang
Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
KOMPAS.COM, 25 November
2016
Seorang teman mengirim kalimat bijak, dan saya suka membacanya.
Maklum sebagai manusia, kita sangat sering mudah terprovokasi. Sering
“terpancing.” Bunyi kalimat itu begini:
“Jangan risaukan omongan orang. Sebab orang membaca dunia dengan
pemahaman dan pengalaman yang berbeda.”
Sikap seperti itu sebenarnya sudah lama ada dalam hidup saya.
Saat tidak naik di saat kelas 5 SD. Saya menjadi amat gusar. Itu terjadi
zaman silam. Saya gusar melihat ibunda menangis. Gusar digunjingkan guru yang
selalu membanggakan anak-anak tertentu yang dalam pikiran saya saat itu
“tidak keren.”
Tidak keren karena anak-anak yang dapat rangking menurut saya
hidupnya terlalu steril, cengeng, kurang bandel, dan selalu ada yang membela.
Sedangkan saya, ya begitulah, membela diri, ya sendiri saja. Kalau ditertawakan,
saya ikut tertawa saja.
Begitu juga selanjutnya. Setelah sungguhan belajar, toh bisa
juga masuk ranking. Tapi lagi-lagi saya merasa biasa saja. Saya malah gemas
kalau nilai yang saya capai “diintip” teman-teman lainnya.
Dibanding-bandingkan.
Bagi saya, mau rangking atau tidak bukan urusan. Yang penting,
jangan ulangi kegagalan kemarin. Saya maunya berkembang, menjadi lebih baik.
Sedangkan orang-orang di sekitar kita maunya serba instant. Maunya tampak
hebat.
Tak Perlu
Menjelaskan
Kemarin sebuah televisi bermaksud mewawancarai saya. Mereka
meminta saya menjadi ahli tafsir. Maksud saya, mereka meminta saya
menjelaskan apa makna “pemikiran Presiden pada tokoh-tokoh politik di beranda
Istana.”
Sebelumnya, Anda pasti tahu, Presiden berturut-turut berkunjung
ke Kopassus, Kostrad, Paskhas, Brimob dan Marinir, dan lagi-lagi
bertanya,”Ini leadership apa?"
Dulu juga begitu, saat Gubernur Joko Widodo pergi blusukan,
semua orang juga ingin tahu, apa maknanya? Sama ketika Menteri Dahlan yang
juga blusukan, bersepatu kets. Juga orang banyak bertanya.
Saya sendiri sebenarnya senang melihat pemimpin bekerja, periksa
lapangan, tak hanya bicara dan duduk dengan staf-stafnya saja.
Bagi saya mereka semua ingin mengajak kita bersunguh-sungguh
dalam melayani publik. Ya itu saja.
Tetapi media masa “minta penjelasan” lagi. Bahkan berjam-jam, bersama dua
tiga orang pakar pula. Kadang membuat kita bingung juga.
Seorang teman pun mengirim tulisan seorang pengamat politik. Ia
menjelaskan kunjungan-kunjungan Presiden ke markas-markas militer sebagai
pesan terselubung, yang artinya beliau memilih diam dan “mengasah pisau,”
tatkala yang lain berteriak-teriak mangancam.
Kembali ke pertanyaan wartawan tadi tentang undangan Presiden
pada petinggi-petinggi parpol untuk makan siang di Istana, tetap saja sulit
dijelaskan. Dan seperti biasa pula, banyak elite yang menafsirkan.
Saya sendiri memilih diam dan merenung, duduk di tepi sungai di
Ubud yang sulit dijangkau sinyal telepon.
Pertanyaannya adalah, haruskah bahasa simbolik dijelaskan,
ditafsirkan, sementara aktor utamanya membuatnya serba santai, bahkan penuh
jenaka.
“Wartawan tanya, makan apa sama bu Mega, saya jawab “Ikan
bakar… mereka tanya lagi…,” itu jawaban presiden.
Juga soal naik kuda di rumah Jend. (Purn) Prabowo. Banyak orang
minta dijelaskan maknannya. Padahal, kita cukup senyum-senyum saja, kasihan
melihat Presiden yang tidak biasa naik kuda, canggung, sementara “sahabatnya”
begitu gagah, biasa berkuda.
Ya, itu sebuah bahasa simbolik tentang kedekatan, keramahan,
mengesankan seperti tidak ada masalah diantara mereka. Kita pun bisa
merasakan aroma “ketentraman,” peaceful.
Ah indahnya pertemanan. Pasti mereka melakukan itu karena mereka
cinta tanah air. Itu saja.
Saya akhirnya berhasil menahan diri karena pesan bijak via WA
yang saya terima juga bilang begini:
“Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, mereka yang
sudah menyukaimu tidak membutuhkan itu. Sedangkan yang membencimu, pasti
tetap tidak percaya.”
Untuk apa
alasan ?
Saya pikir semua itu benar adanya. Dulu, saat saya “dikerjai”
orang-orang tertentu yang tak menginginkan saya menjadi A atau B di kampus,
saya selalu berusaha menjelaskan. Saya berupaya keras membantah
omongan-omongan negatif yang tak masuk akal. Alasannya menurut saya, sangat
logis.
Saya berharap akan semakin banyak yang mempercayai saya. Maklum
orang kerja selalu jadi musuh bersama bagi yang maunya santai-santai,
bagi-bagi saja, memelihara social – harmony. Sedangkan orang kerja
menginginkan perubahan. Bagi orang lain, perubahan adalah ancaman.
Tetapi belakangan saya sadar, tak ada orang yang berubah setelah
mendengarkan alasan-alasan atau argumentasi saya. Yang suka sama saya tetap
baik dan postif, yang membenci, ya tetap antipati, malah semakin agresif.
Jadi, kembali ke Presiden kita, entah apa yang harus dijelaskan?
Yang tidak suka, ya tetap bicara negatif, dan yang positif, ya tetap bisa
tersenyum dan mungkin tetap merasakan ketentraman, damai lahir-batin.
Lagi pula, alasan atau penjelasan tentang diri memang tak perlu.
Dalam teori mindset, hanya orang-orang yang merasa dirinya pintar dan
beranggapan kepintarannya abadi, ditemukan akan menjadi orang yang “bekerja”
untuk dinilai.
Jadi, hanya orang-orang seperti itu yang melakukan sesuatu demi
pencitraan. Mereka jadi sulit maju, dan sulit membuat bangsa dan orang
sekitarnya maju.
Itu menurut Prof. Carol Dweck (Stanford) yang meneliti tentang
orang-orang ber-mindset tetap dan yang ber-mindset tumbuh.
Yang ber-mindset tetap itu, karena biasa mendapat nilai bagus di
sekolah, selalu merasa cemas bila menyaksikan “saingannya” terlihat bagus,
atau berpotensi menyalib, apalagi bila mereka berprestasi dan bisa melakukan
“hal-hal berat” yang dulu tidak bisa ia jalankan.
Bagi mereka, prestasi hanya untuk mereka. Dan bila kurang bagus
hasilnya, ia pun akan beralasan, membantah berita-berita negatif, kuping
tipis, dan seterusnya.
Ah sudahlah. Tak semua orang cerdas akan cerdas terus
selama-lamanya. Yang bodoh juga tak akan bodoh selama-lamanya. Dan menurut
saya, yang akan menjadi semakin bodoh, atau tetap bodoh ya mereka yang selalu
ingin menjelaskan tentang posisi dirinya.
Masalahnya, Anda ingin diomongkan menjadi orang hebat, atau
ingin menjadi “lebih baik”? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar