Ancaman
Kualitas Penduduk
Ali Khomsan ; Guru
Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
|
KORAN SINDO, 22 November
2016
Kualitas tenaga kerja Indonesia terancam karena banyak pekerja
yang hanya berpendidikan sekolah dasar (SD). Sebanyak 1.014.079 siswa SD
tidak mampu melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SMP) atau putus sekolah.
Mereka adalah generasi muda yang dalam waktu beberapa tahun ke
depan memasuki usia kerja. Apa yang bisa diharapkan dari tenaga kerja yang
kurang berpendidikan? Mereka akan jatuh terpuruk dengan upah rendah dan sulit
mencapai kesejahteraan. Potret penduduk Indonesia memang agak runyam di
bidang pendidikan. Sekarang ini 42,9% rakyat Indonesia dari total penduduk
yang 255 juta hanya berpendidikan SD. Yang berpendidikan SMP sekitar
sepertiga penduduk Indonesia. Pilihan pekerjaan akhirnya menjadi sangat
terbatas.
Jenis pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tingkat menengah
(teknisi atau karyawan) menjadi sulit bagi penduduk berpendidikan rendah,
apalagi untuk pekerjaan dengan keterampilan tinggi.
Pertumbuhan
Penduduk
Kesuksesan keluarga berencana era Orde Baru adalah suatu
prestasi. Mampukah pada Era Reformasi ini pemerintah mengerem laju
pertambahan penduduk? Saat ini laju pertumbuhan penduduk kita adalah 1,49%.
Artinya 4,5 juta bayi lahir setiap tahun. Konsekuensinya sangat luas mulai
dari bidang penyediaan lapangan kerja, ketersediaan pangan, fasilitas
kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
Pertumbuhan penduduk sangat dipengaruhi oleh angka kelahiran,
kematian, dan migrasi. Berkembangnya ilmu kesehatan turut berperan dalam
mengurangi angka kematian akibat penyakit. Sebab itu, di negara- negara maju
pertumbuhan penduduk lebih rendah dibandingkan di negara berkembang karena
pelayanan kesehatan yang semakin baik akan mengurangi risiko kematian
penduduknya. Keinginan untuk beranak banyak berkurang ketika risiko kematian
penduduk menurun.
Di samping itu, pemahaman tentang pentingnya keluarga kecil,
tetapi berkualitas telah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat di
negaranegara maju dibandingkan di negara-negara terbelakang. Pertumbuhan
penduduk terkait dengan angka kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas),
dan migrasi. Peningkatan angka kematian bayi dan anak dapat terjadi karena
faktor gizi. Kurangnya asupan gizi menyebabkan rendahnya status gizi anak dan
anak akan semakin mudah terserang infeksi yang menyebabkan kematian.
Demikian pula apabila ibu hamil kekurangan gizi, akan lahir bayi
dengan berat lahir rendah (BBLR) yaitu berat kelahiran kurang dari 2,5 kg.
Bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2,5 kg berisiko mengalami gangguan
kesehatan. Saat ini prevalensi BBLR di Indonesia adalah 10,2%, balita
penderita kurang gizi kronis 37,2%, dan angka kematian bayi 34 per 1000
kelahiran hidup. Bank Dunia akan mengumumkan negara-negara yang gagal
menurunkan prevalensi stunting/pendek (kurang gizi kronis).
Indonesia pantas untuk merasa khawatir karena jumlah anak
stunting bukan menurun, tetapi malah meningkat berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar 2010-2013. Negara-negara lain seperti Bangladesh, Brasil, Thailand, dan
China telah sukses menurunkan angka stunting, sedangkan Indonesia nyaris tidak
bergerak. Apa yang salah dengan pembangunan gizi di Indonesia?
Sosio-Budaya
Faktor budaya dapat berperan dalam menentukan berapa jumlah anak
yang diinginkan dalam keluarga. Anak terkadang dianggap sebagai investasi
yang dapat dimanfaatkan untuk membantu orang tuanya mencari nafkah. Dengan
demikian, mempunyai banyak anak dianggap dapat meningkatkan derajat ekonomi
keluarga. Pada sebagian masyarakat, anak laki-laki sangat penting sebagai
pewaris keturunan.
Akhirnya, orang tua akan terus berusaha untuk mendapatkan anak
laki-laki meski anakanaknya mungkin sudah banyak, namun berkelamin perempuan.
Membesarkan anak memerlukan biaya tinggi karena anak tidak cukup kalau diberi
makan saja, tetapi juga harus disekolahkan. Struktur penduduk sering digambarkan
dalam bentuk piramida kependudukan. Di negara berkembang struktur penduduknya
seperti piramida Mesir yaitu di bagian bawah yang mencerminkan penduduk usia
muda jumlahnya sangat banyak, sedangkan di puncak yang merupakan penduduk
usia tua jumlahnya sangat sedikit.
Dampak pembangunan yang berhasil meningkatkan kesejahteraan
masyarakat akan mengubah bentuk piramida penduduk yang semula seperti
piramida Mesir menjadi bentuk Candi Prambanan. Artinya kelompok usia tua akan
semakin banyak sehingga proporsi penduduk tidak lagi didominasi oleh usia
anak-anak. Usia harapan hidup (UHH) bangsa kita diakui semakin membaik yaitu
dari 66 tahun pada 1995-2000 menjadi 70,1 tahun pada 2010-2015.
Dalam waktu dekat akan ada sejumlah 20 juta lansia yang tentu
memerlukan layanan-layanan kesehatan yang lebih baik seiring dengan semakin
kompleksnya jenis penyakit yang dihadapi. Ini tantangan berat bagi bangsa
yang sedang mengalami transisi demografis. Fenomena double burden saat ini
terjadi di Indonesia. Persoalan gizi kurang belum tuntas diatasi, namun kini
kita juga mengalami persoalan gizi lebih (obesitas) yang membawa dampak pada
merebaknya penyakit degeneratif (stroke, penyakit jantung, diabetes, kanker,
hipertensi, dan sebagainya).
Survei terakhir tentang penyebab kematian tertinggi di Indonesia
ternyata didominasi oleh stroke (21,1%), penyakit jantung (12,9%), dan
diabetes (6,7%). Dalam hal pangan, mengacu hasil Global Food Security Index
(GFSI), indeks ketahanan pangan Indonesia menduduki peringkat ke-71 dari 113
negara. Posisi ini masih kalah dibandingkan Vietnam (67), Filipina (65),
Thailand (49), Malaysia (34), dan Singapura (5).
Meski konon indeks ketahanan pangan Indonesia mengalami
perbaikan, negara-negara tetangga kita ibaratnya berlari cepat dan kita
sekadar berjalan lambat. Kelalaian dalam perencanaan kependudukan akan
berakibat fatal bagi bangsa ini. Jangan lagi teperdaya oleh asumsi bahwa
penduduk yang banyak akan menjadi aset pembangunan dan bonus demografi akan
dapat diraih oleh Indonesia.
Kenyataannya, jumlah penduduk yang banyak akan menjadi beban
pembangunan bila tidak diiringi dengan upaya-upaya mendongkrak kualitas
penduduk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar