Mengantisipasi
Perdagangan Global
A Prasetyantoko ; Ekonom
di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
|
KOMPAS, 28 November
2016
Berhati-hatilah jika harus memerankan hal buruk (devil). Bisa
jadi kita sedang memainkan bagian terbaik dari diri kita.
Begitulah peringatan filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre. Hari-hari
ini, semua orang tengah menantikan, apakah presiden Amerika Serikat (AS)
terpilih, Donald Trump, akan benar-benar merealisasikan propaganda politiknya
saat kampanye.
Pada waktu kampanye, sebagai kandidat yang tak diunggulkan,
Trump tampil tanpa beban. Panggung politik memang selalu sarat dengan
permainan peran.
Dalam posisi tanpa beban, Trump telah memainkan bagian terbaik
dari dirinya selama kampanye. Ternyata, publik AS justru membeli ide
tersebut.
Economist Intelligence Unit menempatkan terpilihnya Trump
sebagai salah satu dari 10 risiko terbesar perekonomian global. Hal tersebut
ternyata lebih serius daripada keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit)
atau bahkan konfrontasi Laut Tiongkok Selatan. Sementara Moody's juga
menyimpulkan, jika Trump merealisasikan sebagian besar janji kampanyenya,
perekonomian AS justru akan semakin terperosok ke dalam krisis.
Salah satu yang dicemaskan banyak pihak adalah sikap Trump
terhadap perdagangan global. Dia sudah berjanji akan menarik diri dari
kesepakatan Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP) dan akan
lebih fokus pada kepentingan dalam negeri. Bahkan, Trump punya ide konyol
untuk membangun tembok perbatasan AS dengan Meksiko. Bagi sebagian orang
lain, hal itu dianggap konyol, tetapi justru menjadi daya tarik bagi sebagian
lainnya.
Gejala meningkatnya sikap proteksionis dalam perdagangan global
sudah diperingatkan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam World Economic
Outlook edisi Oktober lalu. Menurunnya permintaan global dan merosotnya
aktivitas perekonomian membuat sikap proteksionis cenderung meningkat.
Karena itu, perekonomian global akan makin terseret ke bawah.
Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo dalam Pertemuan Tahunan Bank
Indonesia pekan lalu juga mengingatkan, salah satu tantangan struktural
ekonomi global yang punya implikasi bagi negara berkembang seperti kita
adalah berkurangnya pengaruh pertumbuhan ekonomi global terhadap perdagangan
dunia.
Elastisitas pertumbuhan ekonomi dunia terhadap perdagangan dunia
melemah dalam lima tahun terakhir menjadi kurang dari satu. Jika lima tahun
lalu, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menghasilkan sekitar 1,3 persen
perdagangan dunia, kini hanya 0,9 persen.
Kemitraan
ekonomi
Terlepas dari meningkatnya sikap proteksionis, kita juga
menghadapi fakta melemahnya aktivitas ekonomi dan kaitannya dengan
perdagangan. Dengan demikian, persoalan terkait perdagangan global memang
begitu kompleks sehingga tidak bisa diharapkan meningkat dalam kurun relatif
singkat. Penyesuaian tentu harus terus dilakukan, baik pada level global,
regional, maupun domestik.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pada level global, jika TPP
benar-benar mandek, Tiongkok akan mengambil alih dengan mengakselerasi
Kemitraan Ekonomi Komprehensif Kawasan (Regional Comprehensive Economic
Partnership/RCEP).
RCEP beranggotakan 16 negara, yaitu 10 negara ASEAN ditambah
Tiongkok, Jepang, India, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Mereka
mewakili 30 persen produk domestik bruto global dan melibatkan hampir separuh
warga dunia.
Kemandekan TPP bisa menjadi peluang bagi konsolidasi regional
karena peran ASEAN menjadi semakin sentral. Karena itu, konsolidasi pada
level Masyarakat Ekonomi ASEAN perlu segera dilakukan dalam rangka
mengantisipasi kemandekan perdagangan global, macetnya TPP, implikasinya pada
perekonomian Tiongkok, sekaligus limpahan masalah dan peluang pada level
regional ASEAN.
Sementara, pada level domestik, paling tidak ada dua hal yang bisa
dilakukan. Pertama, mengonsolidasikan mata rantai perdagangan domestik yang
dikaitkan secara langsung dengan proyek infrastruktur. Peta perdagangan
domestik kita masih terfragmentasi sehingga tidak efisien.
Salah satunya terjadi karena dukungan infrastruktur dan
logistik, selain ciri khas demografi kita yang bersifat kepulauan. Membangun
infrastruktur harus diletakkan dalam koridor pembangunan kawasan sehingga
menyatukan geografi Indonesia dalam peta jaringan nilai yang kuat.
Kedua, memanfaatkan ekonomi digital untuk merekatkan jaringan
mata rantai nilai dalam memadukan aktivitas perdagangan, investasi, dan
logistik antarkawasan. Kemajuan digital bisa dimanfaatkan untuk
mengonsolidasikan ekosistem pendukung, mulai dari akses pendanaan hingga
distribusi barang di fase pemasaran.
Intinya, meskipun tantangan global patut dicemaskan, kita tidak
boleh pesimistis. Justru dalam situasi pelambatan perekonomian global seperti
ini, muncul banyak peluang yang harus segera ditindaklanjuti secara konkret. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar