Dilarang
Kapok Menjadi Indonesia
J Kristiadi ; Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS, 22 November
2016
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi lambang
negara—berbeda-beda, tapi tetap satu—bukan retorika para pendiri negara,
melainkan menukik lebih dalam ke akar sejarah Nusantara. Adalah Empu
Tantular, sekitar 700 tahun yang lalu, mengguratkan sesanti ”Bhinneka Tunggal
Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, beraneka ragam itu satu, tiada kebenaran ganda”,
dalam karyanya, Sutasoma. Kalimat tersebut menjadi mantra ampuh bangsa
Indonesia dalam upaya memintal ikatan tali keragaman dalam persatuan dan
kesatuan menjadi bangsa. Proses menjadi nasion, menurut Bung Hatta, karena
rakyat Indonesia mempunyai keinsafan dan merasakan persamaan nasib, tujuan,
serta kebersamaan yang tertanam di hati dan otak.
Kesadaran bangsa Indonesia sebagai masyarakat multikultur
mempunyai basis dan modal sosial yang kokoh. Hal itu dapat dibuktikan dalam
proses membentuk negara. Para pendiri bangsa tidak mengikatkan lebih dulu
kepada doktrin atau ideologi tertentu, tetapi terlebih dahulu menggali
nilai-nilai luhur bangsa yang dapat menjadi basis ideologi bersama.
Pengelolaan kekuasaan berlandaskan cita-cita bersama sekaligus menyadari
sepenuhnya realitas heterogenitas bangsa. Hal itu berbeda, misalnya dengan
negara-negara yang memaksakan ideologi atau doktrin tertentu serta
mengabaikan nilai-nilai bangsa itu sendiri dalam membentuk struktur politik.
Berbekal semangat tersebut, perjuangan bangsa Indonesia merawat
ke-bhinneka tunggal ika-an sudah sampai pada tataran kemampuan mewujudkan
entitas politik tanpa menyeragamkan kultur, menjadi inklusif tanpa terperosok
dalam perilaku asimilasionis. Meskipun menjunjung tinggi kemajemukan, tetapi
sekaligus menghargai dan memuliakan identitas bersama sebagai suatu bangsa
Indonesia.
Namun, sayangnya setidak-tidaknya sejak Pilpres 2014, terlebih
dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, simtom-simtom pembelahan bangsa mulai
menguat, terutama dipicu ujaran kebencian bernuansa sentimen primordial yang
diartikulasikan melalui media sosial (medsos). Wacana publik bukan hanya
menjadi tidak juntrung, bahkan berpotensi merusak tatanan kehidupan yang
beradab. Medsos menjadi ajang festival orgi bigotri (bigotry) yang mengumbar
kebencian primordialistik. Ingar bingar kebencian akan membunuh rasa
persaudaraan serta akan menggiring demokrasi tersesat ke rute anarki sosial.
Gelombang umpatan kesumat tersebut kalau dibiarkan akan
mengakibatkan praktik berdemokrasi menggerogoti keindonesiaan. Karena arena
politik bukan lagi menjadi ranah kompetisi yang sehat, melainkan menjadi
ajang saling menaklukkan. Politik penaklukan mempunyai potensi sangat besar
memorakporandakan upaya meningkatkan sensitivitas ”rasa-merasa” dalam
membangsa menjadi Indonesia yang bineka, tetapi eka. Sensitivitas saling
rasa-merasa sebagai bangsa dapat tenggelam oleh gelora kebencian bernuansa
sentimen primordial. Sensitivitas saling merasakan sebagai bangsa Indonesia
semakin menipis.
Padahal masyarakat multikultural merupakan berkah serta dapat
menghasilkan kekuatan yang dahsyat untuk mewujudkan Indonesia menjadi bangsa
yang besar apabila dilakukan secara kreatif dan konstruktif. Sebab, keragaman
merupakan kombinasi tiga perspektif yang saling melengkapi: identitas
(keterlekatan) kultural manusia, hasrat untuk mengenal keanekaragaman budaya
sesama warga, serta kemajemukan internal tiap kebudayaan. Semua dimensi
tersebut merupakan senjata ampuh mewujudkan kehidupan bersama yang beradab.
Mengingat magnitudo sebaran keragaman bangsa sangat besar, lebih
kurang seribu suku; puluhan ribu bahasa lokal; serta berbagai agama dan
kepercayaan warisan kebudayaan yang berasal dari kerajaan Hindu, Buddha, dan
Islam; agenda menjadi Indonesia harus menjadi komitmen seluruh elemen bangsa.
Oleh sebab itu, tekad pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla melakukan revolusi
mental dalam membangun karakter bangsa harus dilakukan secara besar-besaran
dan disertai paradigma yang jelas, agenda yang terjadwal, program yang cermat
dan rinci, serta pengawasan yang ketat. Tidak boleh hanya berhenti pada titik
retorika atau sekadar dijadikan proyek menghabiskan anggaran belanja negara.
Agenda raksasa ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh negara
sendirian. Masyarakat sipil, kalangan ulama, masyarakat kelas menengah,
pelaku usaha, pokoknya seluruh komponen bangsa harus terlibat dalam gerakan
kebangsaan. Kekuatan bersama ini harus membangkitkan rasa-merasa menjadi
Indonesia dengan menciptakan iklim yang sehat dan jeli memanfaatkan momentum,
misalnya peringatan-peringatan hari besar nasional, dan lain-lain, sebaiknya
dimanfaatkan untuk menggelorakan gerakan ini. Selain itu, Presiden dan Wakil
Presiden, sebagai tokoh sentral dan simbol negara, perlu rajin bersilaturahim
dengan berbagai kalangan masyarakat, ulama, pemimpin, serta tokoh masyarakat di
pusat dan daerah.
Dengan gerakan besar-besaran, diharapkan secara pelan-pelan
masyarakat mulai merasakan pertama-tama ”aku” adalah bangsa Indonesia yang
ditakdirkan lahir sebagai suku atau ras tertentu serta memeluk agama tertentu
pula. Selain itu, kompetisi politik dilakukan dengan semangat saling
rasa-merasakan sebagai warga negara Indonesia yang bertekad bersatu padu
mewujudkan kebahagiaan.
Menjadi bangsa Indonesia bukan kebetulan, melainkan upaya keras
para pendiri negara yang menyadari Indonesia adalah bangsa yang beragam,
tetapi harus bersatu dalam mewujudkan cita-cita bersama. Oleh sebab itu,
seluruh komponen bangsa Indonesia dilarang keras kapok menjadikan Indonesia
yang beragam, tetapi tetap bersatu padu menuju kebahagiaan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar