Memikirkan
(lagi) Nasib Guru
Agus Wibowo ; Direktur
Pendidikan SEEB Institute;
Dosen Universitas Negeri Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
28 November 2016
BELUM lama ini, kita memperingati Hari Guru. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, persoalan yang dihadapi guru belum bergeser pada perbaikan nasib,
perbaikan kompetensi atau profesionalisme, dan perlindungan hukum. Data
teranyar menyebut ribuan guru yang lolos sertifikasi belum memperoleh
tunjangan sebagaimana yang dijanjikan. Mereka malah disertifikasi ulang
dengan standar kelulusan yang dinaikkan. Di sisi lain, profesi guru masih
tetap ditempatkan sebagai agen pelaksana kurikulum; yang selalu jadi bahan
uji coba kebijakan. Ironis sekali.
Sementara itu, dari sisi perlindungan hukum, nasib guru masih
sangat memprihatinkan. Buktinya, akhir-akhir ini banyak guru yang
dikriminalisasi sebagian orangtua siswa. Seperti nasib Sambudi, salah seorang
guru di SMP Swasta di Sidoarjo, yang belum lama ini diajukan ke meja hijau
oleh salah satu orangtua murid lantaran dituduh melakukan kekerasan--meski
hanya mencubit--anak didiknya. Sambudi mencubit salah satu dari beberapa
siswa yang ketahuan mangkir tidak melaksanakan kegiatan salat duha. Padahal,
kegiatan salat duha itu merupakan kebijakan sekolah untuk menumbuhkan sikap
bertakwa kepada anak didik (Media Indonesia, 28/6/2016).
Revitalisasi
LPTK
Guru profesional memang menjadi syarat keberhasilan pendidikan
sebuah bangsa. Jika membicarakan guru profesional, kita tidak bisa lepas dari
lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) atau dahulu dikenal dengan
IKIP. Saat ini beberapa LPTK eks IKIP tengah berbenah meningkatkan kualitas
lulusan. Sebut di antaranya Universitas Negeri Jakarta (UNJ). UNJ yang dahulu
dikenal dengan IKIP Jakarta saat ini tengah melakukan revitalisasi kurikulum
bagi prodi-prodi kependidikan beker-ja sama dengan Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti). Revitalisasi
kurikulum ini fokus tidak saja pada luaran lulusan, tetapi juga pada ca-paian
pembelajaran lulusan (CPL) dan capaian pembelajaran mata kuliah (CPMK).
Revitalisasi kurikulum yang dilakukan UNJ diharapkan berdampak
positif bagi luaran tenaga pendidik dan kependidikan di masa yang akan
datang. Lulusan UNJ tidak saja diharapkan profesional dalam bidangnya, tetapi
juga sesuai dengan amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 8,
yaitu setiap guru dan dosen harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
dan sertifikasi.
Kompetensi pedagogis terkait dengan penguasaan teori ilmu
pendidikan dan penguasaan proses pembelajaran. Kompetensi kepribadian terkait
dengan kepribadian atau budi pekerti seorang pendidik yang harus dimiliki
baik di kelas, lingkungan sekolah, maupun di masyarakat. Kompetensi sosial
terkait dengan kemampuan seorang pendidik dalam memiliki keterampilan
berkomunikasi dengan siswa, sesama guru, kepala sekolah, dan masyarakat.
Sementara itu, kompetensi profesional bagi guru berkaitan dengan kompetensi
di bidang keilmuan yang meliputi konsep dan teori serta mengonstruksi materi
ajar ke dalam kegiatan belajar mengajar dengan pendekatan–pendekatan yang
rele-van. Sebagai tindak lanjut, visi dan misi UNJ ke depan diarahkan pada
universitas guru kelas dunia.
Revitalisasi LPTK sebagaimana yang dilakukan UNJ mestinya bisa
menjadi motivasi bagi kampus-kampus keguruan lain untuk berbenah. Apalagi,
pada 2019 diprediksi ada lebih dari 500 ribu guru PNS yang pensiun. Belum
lagi guru-guru di sekolah swasta yang juga pensiun. Kekosongan guru yang
begitu banyak sangat sayang jika hanya diisi pendidik-pendidik karbitan dan
asal lulus. Masa depan generasi bangsa tentu akan tergadai jika hanya diajar
lulusan yang tak berkualitas. Oleh karena itu, mencetak guru profesional
merupakan tugas LPTK yang tidak bisa ditawar lagi.
Kekerasan vs
cinta
Terkait maraknya kasus kriminalisasi, sudah saatnya para
orangtua dan guru terbiasa duduk bersama guna menyelesaikan aneka
permasalahan. Bagaimanapun, orangtua memiliki tugas penting mendidik anak.
Luaran pribadi unggul berkarakter tidak mungkin terwujud jika hanya diserahkan
kepada guru. Jauh hari, Ki Hadjar Dewantara (1922) lewat Tri Pusat Pendidikan
menegaskan tanggung jawab mendidik anak itu tidak hanya tugas guru dan
sekolah. Mendidik anak, kata Ki Hadjar, juga menjadi kewajiban orangtua serta
masyarakat.
Guna meminimalkan tindak keke-rasan di sekolah, meminjam istilah
Dianta Sebayang (2016), guru tidak cukup kerja keras, tetapi juga kerja
cerdas. Itu artinya, guru mengajar berbasis kompetensi, bukan asal mendidik.
Dengan kompetensi itu, guru bisa menyiasati pengondisian anak didik tanpa
harus menggunakan aneka kekerasan. Mendidik yang baik, tulis Agus Wibowo
(2013:144), mestinya berlandaskan cinta, bukan sekadar rutinitas kerja
kurikulum. Cinta menjadi semacam elan vital, yang mendo-rong guru melakukan
apa saja; agar yang dicintai itu tetap ada, bahagia, dan lestari. Ketika guru
sudah mencintai sepenuh hati profesinya, cinta itu juga akan mengalir dan
dirasakan anak didiknya.
Pendidikan dengan asupan cinta saat ini menjadi sesuatu yang
langka di negeri kita. Para guru di negeri ini, meminjam istilah
Fuatuttaqwiyah (2012), sebagian besar lebih konsen dan peduli pada pemenuhan
beban kurikulum atau target mengajar. Cinta lebih sering absen dari
ruang-ruang pembelajaran di kelas kita. Cinta yang tulus dari sang guru, saat
ini amat jarang menyapa anak didik, membuat mereka lebih bergairah hidup,
menyuplai mereka dengan vitamin kasih.
Sebagian besar guru kita telah kehilangan cinta itu dalam
mengajar. Karena pembelajaran di ruang-ruang kelas telah kehilangan cinta, yang
terjadi sekadar pemenuhan kewajiban. Apa yang terjadi pada model pendidikan
seperti ini? Tentu saja, pembelajaran yang minus asup-an cinta dari sang guru
terasa panas, gersang, bahkan tanpa makna. Anak didik masuk kelas tanpa
motivasi, elain mendidik dengan cinta, guru hendaknya memiliki kekuatan
observasi. Mendidik anak, tulis Rhenald Kasali (2014), sebenarnya bukan
sekadar telling karena fungsi utamanya ialah membentuk (regulasi diri, fokus,
kontrol diri, working memory, dan kemampuan beradaptasi). Dan, untuk itu
diperlukan kekuatan observasi. Jika para guru memiliki kemampuan observasi yang
kuat, lanjut Rhenald Kasali (2014), tak satu pun masalah anak luput dari
catatan dan sentuhannya. Guru menjadi orang pertama yang membaca mengapa anak
tiba-tiba menjadi amat takut, sakit, memukul teman-temannya, kurang
bergairah, cerewet, asyik dengan dirinya sendiri, banyak melamun, dan
seterusnya. Kemampuan mengobservasi ini menjadi modal penting seorang
pendidik. Untuk mengasah kemampuan observasi ini dalam bentuk praktik,
dibutuhkan waktu enam bulan penuh. Peningkatan kompetensi guru salah satunya juga
terkait dengan pembentukan keterampilan observasi.
Sudah saatnya muruah guru dikembalikan lagi. Benar kekerasan
tidak tepat dilakukan, tetapi pemejahijauan bahkan kriminalisasi guru ke
depan tidak perlu terulang lagi. Ini jelas bukan karakter ketimuran yang
santun serta beradab. Karakter ketimuran bahkan meletakkan guru dalam posisi
agung, luhur, serta bermartabat. Guru dalam literasi ketimuran klasik, bahkan
dianggap memiliki ‘tuah’ lantaran tugas mencerahkan masyarakat yang tidak
ringan. Tradisi memuliakan guru dan mengembalikan muruah sekolah harus terus
kita jaga sembari meminimalkan tindak kekerasan.
Selamat Hari Guru! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar