Gerak
Cepat
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional;
Co-founder Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 23 November
2016
Ganti pimpinan, ganti kebijakan. Sinisme itu kerap terlontar
dalam konteks Indonesia dan karena itu kita kerap mengeluhkan sulitnya
mencapai kemajuan yang berarti dalam pencapaian suatu tujuan.
Dalam minggu ini, kebetulan ada sejumlah perkembangan politik
global yang menyiratkan bahwa pergantian pimpinan dan kebijakan bisa membawa
berkah juga. Baru saja kita saksikan pergantian presiden di Amerika Serikat
(AS) dan sejauh ini makin jelas bahwa pergantian itu ditandai dengan
resistensi terhadap arah kebijakan tertentu. Presiden AS Barack Obama dalam
rangkaian perjalanan terakhirnya keliling dunia menyampaikan pesan menarik.
Obama bersyukur Presiden George W Bush memilih untuk tidak
bereaksi atas kebijakan yang dipilihnya, bahkan ketika sangat bertentangan sekalipun.
Obama pun mengaku tidak berhak bersuara atas kebijakan Donald Trump bilamana
kebijakan yang dipilih presiden baru tersebut melanggar “nilai atau idealisme
tertentu”. Pernyataan tersebut mirip dengan pernyataan Kanselir Jerman Angela
Merkel kepada Donald Trump saat memberi ucapan selamat.
Merkel mengatakan bahwa tawaran kerja sama dari Jerman akan
bergantung pada komitmen Trump atas kesetaraan hak, jika Trump menghargai
“harkat manusia, terlepas dari mana pun asal usulnya”. Sementara itu, Jepang
yang menjadi negara pertama yang dikunjungi Donald Trump dengan gaya yang
lebih santun menyayangkan keputusan AS untuk mengabaikan perjanjian Trans
Pacific Partnership (TPP) segera setelah dilantik. Ia menambahkan bahwa ke-11
anggota TPP yang lain akan terus menjalankan kesepakatan yang telah
terbentuk.
Menarik bahwa Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe tidak hanya
memutuskan untuk “moving on“ alias lanjut melangkah meski tanpa didukung AS.
Namun, pihak Jepang juga sigap mengambil foto dari segala sudut pertemuannya
dengan Trump saat AS justru tidak menyiapkan juru foto untuk pertemuan
tersebut. Foto-foto tersebut menjadi bahan perbincangan seputar gaya
kepemimpinan Trump yang perlu diantisipasi oleh pimpinan negara-negara lain.
Presiden China Xi Jinping yang negaranya kerap menjadi bahan
pembicaraan di banyak kawasan, bahkan dikritik keras oleh Trump semasa
kampanye, justru digambarkan saling mendukung. Xi Jinping menyampaikan bahwa
pilihan satu-satunya yang benar bagi kedua negara adalah bekerja sama. Di sisi
lain, Xi Jinping dengan sigap mengambil alih keaktifan AS dalam forum-forum
kerja sama ekonomi dengan mengumumkan bahwa Pivot AS di Asia telah berakhir.
China, sebuah negara komunis dengan sistem satu partai, justru
tampak menjadi pahlawan yang akan menyelamatkan pasar bebas dan liberalisme
bagi negara-negara kapitalis di kawasan Asia-Pasifik. Pilihan kebijakan yang
dianggap baik oleh AS telah menjadi berkah bagi negara lain untuk menyuarakan
kebijakan lain yang kontras, tetapi justru tampak lebih menjanjikan bagi
sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Kebetulan sekali minggu ini saya sempat duduk bersama tiga
ekonom kawakan yang kaya pengalaman tentang pergantian kebijakan. Ketiganya
membuat saya teringat pada ambisi Indonesia untuk menciptakan kemakmuran,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Bahkan sebelum kemakmuran itu
tercapai, Indonesia selalu menyuarakan keaktifan politik luar negeri dalam
mencapai perdamaian abadi dan keadilan sosial di tingkat global.
Sejarahnya cukup panjang di mana kita memilih untuk menggalang
solidaritas sesama negara-negara berkembang sebagai kekuatan pengimbang dalam
menghadapi negara-negara kolonial dan negara- negara besar lainnya. Menjadi
kekuatan pengimbang selalu punya tantangan termasuk karena kita harus melawan
arus mainstream, harus berani “muncul” dan tampil beda.
Dalam pergantian pimpinan 2016 di AS, tampak bahwa potensi
panggung untuk tampil justru lebih terbuka lebar, lebih lebar daripada ketika
Obama yang punya akar silsilah keluarga yang bersinggungan dengan Indonesia
naik sebagai presiden AS. Pada masa Obama, komitmen memberi ruang bagi
Indonesia tecermin dalam penegasan kehadiran AS di Asia (Pivot to Asia) dan penguatan jalur kerja sama formal yakni Strategic Comprehensive Partnership Agreement.
Dalam masa Trump, tampaknya bentuk dan jalur kerja sama justru
bisa lebih eclectic, lebih variatif. Buat Indonesia, ini saat yang sangat
tepat untuk aktif di tataran politik luar negeri. Ruangnya terbuka. China,
Jepang, dan Jerman yang sudah dengan tanggap menentukan posisi dan
menunjukkan intensinya untuk memimpin sejumlah isu tertentu punya
keterbatasan yang justru bisa diisi oleh Indonesia.
Perekonomian China tidak sekuat yang dibayangkan. Apalagi karena
kebijakan mematok mata uang yuan, ternyata menguras cadangan devisa yang
meskipun berkurang masih merupakan yang terbesar di dunia. Jepang sebagai
pemegang cadangan devisa terbesar nomor dua di dunia belum berhasil keluar
dari stagnasi ekonomi yang berkepanjangan. Keduanya punya motif praktis untuk
menyegarkan perekonomiannya.
Sementara Jerman punya motif menjaga keutuhan Uni Eropa pasca
Brexit sambil terus membangun respek dari negara-negara lain. Indonesia
sepatutnya setangkas China dan Jepang dalam merespons lemahnya pertumbuhan
ekonomi di negaranya. Apalagi, pertumbuhan ekonomi kita di bawah proyeksi dan
anggaran belanja negara sulit diandalkan untuk mendorong pembangunan.
Sementara daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah, berkurang.
Investasi yang kita harapkan datang dari luar negeri untuk
membawa dana segar untuk membangun infrastruktur ternyata, menurut data BPS
Statistik, justru membawa utang pemerintah baru dan kewajiban membayar bunga
hingga Rp600 triliun di tahun 2017. Akibatnya anggaran belanja negara tahun
depan diproyeksikan defisit pula. Investasi yang masuk ternyata lebih banyak
dalam bentuk portofolio alias dana jangka pendek sehingga tidak bisa
diandalkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Dana repatriasi dan uang
tebusan, menurut data statistik amnesti pajak, sudah stagnan.
Kondisi seperti ini adalah tantangan untuk membuat Indonesia
berani mengusulkan kebijakan yang melawan arus, yang membuat mata dunia
terarah pada sulitnya berada dalam konteks pertarungan pengaruh global masa
kini. Patutlah kita hidupkan lagi wacana industrialisasi yang berpihak pada
negara-negara seperti Indonesia, termasuk juga pemenuhan hak atas pekerjaan
dengan mereformasi hubungan industrial agar industri yang bergerak di sektor
jasa, teknologi dan produk tersier bisa berkembang lebih pesat.
Upaya Presiden Joko Widodo untuk menarik investasi dengan cara
menugaskan 12 menteri penghubung patut dievaluasi juga pasca reshuffle
kabinet dan setelah mencermati kondisi terkini di Indonesia. Para menteri
penghubung itu patut punya turunan koordinasi (dan anggaran kegiatan) yang
jelas dengan Kementerian Luar Negeri sebagai penanggung jawab hampir semua
kantor perwakilan Indonesia di luar negeri dan skema kerja sama luar negeri,
termasuk yang sifatnya nonekonomi.
ASEAN sebagai mitra politik justru patut mendapat porsi
perhatian yang besar karena negara-negara lain seperti Australia, Jepang,
China, dan perkumpulan Uni Eropa akan makin aktif mencari peluang menambah
pertumbuhan ekonomi dengan negara-negara di Asia Tenggara. Kalau tidak
pandai-pandai kita menjaga, ASEAN akan lebih mudah bubar. Padahal, selama ini
ASEAN menjadi alasan mengapa negara-negara lain punya keyakinan untuk lebih
diuntungkan dari skema kerja sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar