Menyambut
Momentum Global
A Prasetyantoko ; Rektor
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
|
KOMPAS, 25 November
2016
Ketika Donald Trump terpilih sebagai presiden ke-45 Amerika
Serikat, banyak pihak terperanjat. Bahkan, mungkin saja, Trump sendiri dan
timnya pun tak sepenuhnya percaya. Begitupun ketika hasil plebisit di Inggris
Raya memenangkan kubu yang mendukung keluarnya Inggris dari keanggotaan di
Uni Eropa (Brexit). Waktu itu, kubu pro Brexit tampak kaget dengan kenyataan.
Dekade ini memang diwarnai banyak kejadian mengagetkan. Situasi
kurang lebih sama terjadi saat perekonomian AS diguncang krisis besar pada
2017/2018. Banyak ekonom dan ahli keuangan tak memercayai, sistem
perekonomian dengan manajemen risiko begitu rumit yang dianggap kokoh bisa
hancur diterjang krisis. Banyak pihak merasa dibangunkan dari tidurnya. Dan
biasanya, ketika tersadar dari tidur, faktanya sudah begitu jelek dan nyaris
tak bisa diperbaiki. Kita terbiasa bangun terlambat.
Perlukah kita panik? Di setiap rentetan kejadian besar tersebut,
terlihat pasar selalu bereaksi keras. Namun, pada akhirnya pasar juga selalu
menyesuaikan diri dengan keadaan. Perekonomian tengah mengalami kondisi
normal baru.
Panik juga merupakan sifat alamiah pasar. Itulah mengapa John M Keynes
mengatakan ada sifat binatang (animal spirit) dalam mekanisme pasar, terlalu
bergairah saat situasi optimis dan penuh kepanikan saat situasi jelek. Namun,
pasar selalu berorientasi menemukan titik keseimbangan baru yang diterima
semua pihak. Dan, proses pencarian keseimbangan baru ini sekarang tengah
berlangsung, baik pada level nasional di banyak negara, regional, maupun
global.
Menghitung
efek Trump
Kepanikan pasar menyusul terpilihnya Trump bersumber dari
beberapa hal. Pertama, rencana pemotongan pajak perusahaan dari 35 menjadi 15
persen. Kedua, pemberian pengampunan pajak bagi perusahaan besar yang membawa
masuk dananya dari luar negeri ke dalam perekonomian domestik AS. Selama ini,
banyak korporasi besar AS memilih menempatkan dananya di luar AS guna
menghemat pajak yang lebih rendah.
Ketiga, rencana pembangunan infrastruktur besar-besaran. Ketiga
hal ini berujung pada membengkaknya pengeluaran fiskal, sementara pemasukan
justru menyusut. Akibatnya bisa ditebak, pemerintah akan masuk ke pasar
menyerap likuiditas. Itulah mengapa terjadi aliran modal masuk cukup
signifikan ke pasar domestik AS akhir-akhir ini.
Keempat, kebijakan proteksionis di bidang perdagangan.
Akibatnya, produk di dalam negeri akan lebih mahal. Kelima, membatasi imigran
yang berarti mengakibatkan kelangkaan tenaga kerja. Dampaknya harga barang
naik. Dua kebijakan ini diramalkan akan mendorong inflasi di AS. Karena itu,
The Fed sudah mengantisipasi akan segera menaikkan suku bunganya. Dampak
jangka pendeknya, akan terjadi pemindahan likuiditas dari pasar negara
berkembang, termasuk Indonesia, ke pasar domestik AS.
Jika dampak jangka pendeknya dianggap sangat merugikan kita,
bagaimana dampak menengahnya? Pola kebijakan Pemerintah AS sebenarnya tak
banyak memengaruhi perekonomian domestik kita. Perubahan kebijakan AS akan
berdampak negatif pada kelompok negara kecil yang sangat bergantung pada
ekspor ke AS, seperti Singapura, Hongkong, dan Vietnam. Setelah itu, kelompok
negara menengah, seperti Thailand dan Malaysia, yang memiliki porsi ekspor
(ke AS) cukup tinggi.
Baru setelah itu, kelompok negara dengan porsi ekspor kecil
seperti kita. Jadi meski AS merupakan mitra dagang penting kita, proporsi
ekspor terhadap perekonomian relatif rendah, jadi dampaknya tak akan signifikan.
Sebagai partner dagang terbesar AS, Tiongkok diproyeksikan akan
mengalami kontraksi perdagangan cukup besar. Namun, Pemerintah Tiongkok tentu
tak akan diam. Mereka tengah berupaya memecah konsentrasi perdagangan ke
kawasan lain, seperti Asia dan Afika. Hal yang sama terjadi ketika Inggris
Raya keluar dari Uni Eropa, mereka mengompensasi kerugian dagang dengan
menjalin kemitraan dengan India dan negara besar lainnya.
Negara lain yang berpotensi merugi adalah India dan Filipina,
mengingat kedua negara ini dikenal sebagai tujuan outsourcing terbesar AS.
Tentu saja, negara satelit AS di kawasan Amerika, seperti Amerika Latin,
khususnya Meksiko, akan menderita dengan sikap proteksionismenya AS.
Singkatnya, perekonomian kita memang terkena dampak jangka pendek
dari jalur keuangan. Sementara dari jalur perdagangan diyakini tak akan
terpengaruh signifikan. Harapannya, ketika situasi sudah tenang, likuiditas
mulai kembali lagi ke negara berkembang sehingga pelemahan nilai tukar dan
indeks saham kembali berubah arah. Seperti biasanya, para pelaku pasar akan
panik sesaat dan dengan cepat menyesuaikan diri.
Dunia yang
bengkok
Kemenangan Trump dengan sikap proteksionismenya tak terlalu
mengejutkan. Laporan tiga bulanan World Economic Outlook Dana Moneter Internasional
(IMF) Oktober sudah mengantisipasi gejala tersebut. Laporan berjudul Subdued
Demand: Symptoms and Remedies ini mengingatkan, melemahnya daya beli akan
membuat pertumbuhan global terbebani. Pada saat bersamaan, kecenderungan
proteksionis meningkat. Dan, hasil pemilihan presiden AS kemudian membuktikan
tesis tersebut benar.
Gejala meningkatkan paham nasionalisme ini juga tak berhenti di
sini. Di Perancis, yang tahun depan akan mengadakan pemilihan umum,
popularitas paham ekstrem kanan di bawah pimpinan Marine Le-Pen meningkat. Di
kawasan lain pun demikian. Agaknya, kecenderungan ini mencemaskan para
pemikir demokrasi liberal.
Angela Merkel dianggap satu-satunya penjaga demokrasi liberal
yang paling kuat. Meskipun sudah menyatakan akan maju lagi setelah 11 tahun
berkuasa, tak ada jaminan akan terpilih kembali. Selain sudah terlalu lama,
juga tantangan terkini, khususnya soal imigrasi, telah menurunkan
popularitasnya.
Majalah The Economist
menulis, jika 9/11 tahun 1989 dengan runtuhnya Tembok Berlin merupakan
momentum kebangkitan demokrasi liberal, kini 9/11 2016 menjadi momentum
kembalinya paham nasionalisme. Sebenarnya situasi ini bukan tak pernah
diramalkan.
Saat Thomas L Friedman menulis buku The World is Flat (2005),
tiga tahun kemudian terbit buku berjudul The
World is Curved (2008) karangan David M Smick. Buku ini persis
mempersoalkan cara berpikir monolitik Friedman, setelah runtuhnya Tembok
Berlin sejarah dunia akan konvergen pada satu model saja, yaitu demokrasi
liberal dan pasar bebas.
Perjalanan sejarah dunia bukanlah garis lurus, melainkan gejala
melengkung tak beraturan. Sekarang, prediksi tersebut menjadi kenyataan,
sejarah sedang berkelok. Namun, satu hal yang pasti, pasar selalu dengan
lentur menyesuaikan diri.
Justru melihat peradaban dunia yang tengah terombang-ambing ini,
negara Asia, khususnya ASEAN, memiliki momentum penting. Jika kawasan ini
bisa mengonsolidasikan kekuatan ekonominya, tak menutup kemungkinan justru
negara-negara ini yang akan memimpin peradaban dunia dalam 10-15 tahun ke
depan. Ini adalah eranya Asia.
Perekonomian kita, meskipun tampak terkena dampak negatif, kita
tidak termasuk dalam kelompok negara yang paling terpengaruh dengan
perkembangan ekonomi AS. Memang energi untuk tumbuh tinggi menjadi terbatas,
tetapi justru momentum terbuka lebar. Kita memiliki kesempatan dalam jangka
menengah. Ini sama sekali bukan permainan lari cepat, melainkan maraton.
Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah ketahanan, bukan semata-mata
kecepatan.
Pembangunan infrastruktur, deregulasi kebijakan, serta investasi
di bidang kesehatan dan pendidikan menjadi kunci. Jika kita berhasil
mengonsolidasikan kebijakan domestik dengan benar, dalam jangka menengah kita
justru akan diuntungkan dengan perkembangan dunia yang diawali dengan situasi
politik di AS.
Era negara maju (AS, Eropa, dan Jepang) sudah mulai pudar. Dan,
kekuatan pasar secara alamiah akan selalu mencari sumber pertumbuhan baru.
Maka dari itu, jangan menyia-nyiakan kesempatan emas, dengan berlama-lama
berkubang pada masalah politik.
Bidang yang belum banyak diperhatikan secara intensif adalah
pembangunan manusia lewat sektor pendidikan dan kesehatan. Sudah waktunya
Presiden dan jajarannya memberikan perhatian besar pada dua bidang ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar