Sebaran
Ideologi Kekerasan
Noor Huda Ismail ; Peneliti
Terorisme; Kandidat PhD Politik dan Hubungan Internasional Monash University
Australia; Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian
|
DETIKNEWS, 23 November
2016
Apa yang menyebabkan Juhanda, lelaki Sunda itu tega melempar bom
rakitan ke sebuah tempat suci umat Kristiani di Samarinda? Apa yang mendorong
Afif alias Sunakim menyalakkan senapan di depan kedai kopi Starbucks di Jl MH
Thamrin awal tahun 2016 ini?
Mengurai akar penyebab aksi terorisme itu sangatlah sulit.
Namun, paling tidak ada dua cara pandang.
Yang pertama disebut dengan pendekatan strukturalis. Bagi
pengusung pendekatan ini, aksi terorisme itu adalah bentuk reaksi dari sebuah
kelompok yang terpinggirkan untuk melawan sebuah kelompok yang mereka
bayangkan menindas diri mereka.
Dalam kasus radikalisasi di Prancis, ilmuwan sosial Prancis,
Giles Kepel melihat faktor ekonomi, sosial dan marjinalisasi kaum imigran dan
anti Islamlah yang menjadi pemantik utama rasa kekecewaan yang berakhir pada
sikap militansi.
Namun jika cara pandang ini yang dipakai di Indonesia, kenapa
hanya ada segelintir orang seperti Juhanda dan Afif saja yang menjadi
teroris? Padahal ada ribuan orang merasakan hal yang sama? Apakah mereka yang
termarjinalkan itu seperti 'daun kering' yang mudah disapu oleh 'angin' dan
kemudian jika tergesek sedikit saja mereka akan terbakar?
Oleh karena itu, pandangan pertama itu ditolak oleh Oliver Roy
yang juga ilmuwan sosial Prancis. Pandangan kedua yang diwakili Roy ini
percaya bahwa terorisme merupakan sebuah kasus individual yang sangat
spesifik. Biasanya, dimulai dari proses pelepasan diri individu dari kelompok
besar yang menjadi arus utama.
Di Indonesia, maka kelompok besar itu bisa seperti NU,
Muhammadiyah. Bagi Roy, individu yang tidak terwadahi oleh organisasi ini,
akan mencari atau membentuk kelompok sendiri yang lebih kecil. Di sinilah
mereka merasa terwadahi. Oleh karena itu, dalam kaca mata Roy, melihat
nilai-nilai yang diyakini, "titik balik" kehidupan pribadi dan juga
kondisi psikologis pelaku itu jauh lebih penting.
Melihat kasus terorisme yang muncul di Indonesia, kedua faktor
"struktural" dan "individual" ini tidaklah berdiri
sendiri. Kedua faktor ini bekerja dengan baik apabila diikat oleh sebuah
ideologi atau keyakinan para pelaku. Ideologi inilah yang menjadi cara
pandang melihat dunia, tata nilai dan bahkan arahan gerak mereka.
Namun, ratusan individu yang kemudian menjadi pelaku terorisme
di Indonesia itu, lebih dari 70% nya bergabung ke kelompok kekerasan bukan
karena pesona ideologi kelompok ini. Mereka terseret ke dunia kekerasan ini
lebih karena jaringan sosial seperti hubungan pertemanan, guru-murid,
anak-bapak, suami-istri, paman-keponakan, dan hubungan kekerabatan lainnya.
Dalam kultur masyarakat Indonesia yang unsur "pakewuh"
atau "merasa tidak enak hati" masih sangat kuat, maka seringkali
individu ini menjadi sosok yang lemah ketika berhadap dengan sosok yang
mempunyai posisi sosial yang lebih tinggi. Pada saat itu, biasanya individu
tidak mampu lagi berpikir kritis karena adanya tekanan kelompok sosial ini.
Apalagi jika mereka telah diikat dalam persaudaaran ideologi yang sama dengan
doktrin: "sami'na wa atho'na" (saya mendengar dan saya akan taat) .
Misalnya sosok Setiawan, seorang mantan narapidana terorisme
dari Semarang. Semua stereotype sempit yang sering dilabelkan kepada kelompok
ini seperti berjanggut dan celana cingkrang tidak ada pada dirinya. Ia sangat
sopan dan sarjana ekonomi UNDIP. Bahkan, salah satu keluarga dekatnya,
sekarang menjadi salah satu menteri di kabinet Jokowi.
Namun, karena dia diminta tolong oleh ustad pengajiannya untuk
menjemput tamu, ia tidak bisa menolak. Sang tamu kemudian menginap di
rumahnya lima hari. Ia baru tahu siapa identitas tamu sebenarnya adalah
Noordin M Top, setelah ia dicokok oleh Densus 88 ketika ia ikut rapat 17
Agustusan di kampungnya. Ironisnya, Setiawan baru paham ideologi kelompok ini
justru ketika ia di dalam penjara!
Menurut Setiawan, paling tidak, ada 3 ciri utama pendukung
ideologi kekerasaan ini.
Pertama. Mereka seolah-olah menjadi "panitia masuk
surga". Dengan mudah mereka akan mengkafirkan orang lain. Untuk tujuan
ini, memakai teks agama secara sepotong-potong yang disesuaikan dengan
ideologi mereka.
Kedua. Mereka menjadi fanatik dan menutup diri. Oleh karena itu,
merekapun tidak menerima perbedaan dalam cara memahami teks agama yang ada.
Padahal fakta di lapangan, dalam pemahaman fiqihpun ada berbagai macam mazhab
seperti Hambali, Syafii, Maliki dan lain-lain.
Ketiga. Mereka ingin ada perubahan yang revolusioner yaitu
mengganti sistem pemerintah yang sekuler menjadi, yang menurut mereka, lebih
Islami. Untuk mencapai hal ini, mereka tidak enggan memakai kekerasan.
Untuk memutus 'oksigen' hidup kelompok ini tidaklah mudah.
Karena bagi masyarakat tertentu, para pelaku ini masih sering disebut sebagai
"mujahid". Apalagi beberapa media masih terus menganggap setiap
aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ini sebagai rekayasa dan pengalihan
isu (padahal korbannya benar-benar ada).
Oleh karena itu, sudah saatnya negara untuk tidak hanya
menekankan pendekatan keamanan dan masyarakat harus siap memberikan
kesempatan kedua bagi mereka yang ingin memulai hidup baru ketika mereka
sudah berubah ideologi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar