Penjara
Tak Membuatnya Jera
Noor Huda Ismail ; Yayasan
Prasasti Perdamaian
|
TEMPO.CO, 22 November
2016
Bom gereja meledak lagi. Kali ini sasarannya adalah Gereja
Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur. Pelakunya, Juhanda, mantan narapidana teroris
bom buku 2011. Sebagai bangsa, kita telah "terperosok pada lubang yang
sama".
Sejak bom Hotel Marriot kedua pada 2009, aksi terorisme di
Indonesia melibatkan mantan narapidana terorisme. Keterlibatan yang kedua
kalinya, mereka naik "kasta" karena adanya peningkatan peran dan
aksi. Misalnya, Urwah, salah satu pelaku pengeboman Hotel Marriot 2009.
Ketika pertama kali Urwah ditangkap, ia hanya berperan menyembunyikan
informasi keberadaan Noordin M. Top. Dalam aksi kedua, Urwah menjadi salah
satu perancang serangan maut itu. Demikian juga dengan Afif alias Sunakim,
pelaku bom Sarinah 2016. Awalnya, Afif hanya terlibat dalam pelatihan militer
di Aceh pada 2010. Setelah bebas, ia menjadi pelaku utama serangan di awal
tahun ini.
Pola tersebut terulang kembali dengan pelaku serangan bom di
Samarinda. Wajar jika kemudian Kepala Polri Jendral Tito Karniavan menyatakan
niat negara untuk mengevaluasi program deradikalisasi yang selama ini
dijalankan. Mungkin, langkah evaluasi pertama yang perlu kita lakukan adalah
dengan memahami "titik balik" kehidupan narapidana terorisme di
dalam dan di luar penjara.
Pada kasus Juhanda, terlihat jelas bahwa penjara justru menjadi
"sekolah" yang membuatnya naik "kasta". Dalam wawancara
dengan penulis, Pepi Fernando, pelaku utama bom buku 2011 mengatakan:
"Dalam aksi yang kami lakukan (bom buku 2011), Ju (panggilan Juhanda)
tidak terlibat apa pun. Semua aksi di Jakarta dan dia (Ju) di Aceh".
Dalam kasus terbarunya ini, Ju "dikorbankan oleh mentor-mentor pengecut.
Mereka memberi Ju beban yang tidak berani mereka pikul sendiri".
Bagi Pepi, para mentor itu bukanlah sosok misterius yang susah
diendus oleh aparat karena mereka ini adalah para tahanan teroris pendukung
ideologi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang biasa disebut sebagai
ISIS-ers, di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Kurun 2011–2014 tampaknya
telah menjadi "titik balik" kehidupan dan komitmen Juhanda. Ia
dikelilingi oleh narapidana ISIS-ers dan bahkan dinikahkan dengan seorang
akhwat (wanita) dari jaringan ISIS-ers di Kalimantan.
Rupanya, penjara tidak menjadikan para narapidana terorisme ini
jera dan putus dengan dunia luar. Mereka sangat aktif memantau apa yang
terjadi di luar tembok penjara melalui telepon pintar yang mereka dapatkan
secara sembunyi-sembunyi. Setelah deklarasi ISIS oleh Al Baghdadi pada 2014,
narapidana terorisme terbagi menjadi dua kelompok besar.
Pertama, mereka yang dengan gegap gempita mendukung. Inilah yang
disebut kaum ISIS-ers. Sebagai bukti komitmen mereka terhadap ISIS, secara
umum mereka menolak bersikap kooperatif terhadap pembinaan dari negara,
terutama pihak lembaga pemasyarakatan dan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme. Bagi mereka, pegawai penjara dan staf BNPT adalah Anshorut toghut
atau pendukung penguasa lalim yang tidak tunduk terhadap hukum Islam. Sikap
resistansi mereka ini ditunjukkan dengan membuat kelompok kecil dan melakukan
konsolidasi antar-mereka.
Kedua, kelompok yang menolak ISIS. Mereka ini lebih lunak,
kooperatif, dan menerima program pembinaan, baik dari LP maupun institusi
lain, seperti lembaga swadaya masyarakat. Pada kelompok ini, BNPT relatif
telah berhasil merangkul sebagian napi terorisme di dalam dan di luar penjara
dengan membantu mereka dengan pemberian modal untuk usaha kecil.
Karena penolakan para ISIS-ers ini, program pembinaan dari LP
dan BNPT hampir tidak menyentuh mereka. Negara "kedodoran"
menyikapi jenis narapidana seperti ini. Bahkan, ISIS-ers juga enggan mengurus
hak-hak mereka, seperti pembebasan bersyarat. Mereka menilai hak-hak semacam
itu bermuatan ideologis karena ada persyaratan harus menandatangani surat
kesetiaan kepada NKRI. Karena itu, mereka lebih memilih bebas murni.
Fenomena resistansi ISIS-ers lumrah terjadi di LP yang memiliki
warga binaan kasus terorisme. Misalnya di LP Pasir Putih Nusakambangan,
terdapat sekitar 23 orang narapidana kasus terorisme. Delapan di antaranya
bersikap kooperatif dan menolak memberikan dukungan kepada ISIS. Selebihnya
memilih menjadi pendukung gerakan radikal ISIS dan menolak pembinaan. Yang
tergolong kelas ideolog, seperti Aman Abdurrahman, ditempatkan di blok
isolasi. Adapun pengikut ISIS yang lain ditempatkan satu blok tersendiri.
Juhanda berada dalam kelompok yang menolak program
deradikalisasi ini. Ia kemudian justru "dibina" oleh ISIS-ers bernama
Agung alias Ayas asal Samarinda, yang terlibat dalam pelatihan militer Poso,
di bawah komando Santoso. Meskipun Juhanda tidak kooperatif, ia masih
mendapatkan remisi Idul Fitri selama satu bulan pada 2014. Sebelumnya, ia
juga mendapatkan remisi khusus pada oktober 2013 selama satu bulan dan remisi
umum pada Agustus 2013. Dengan akumulasi remisi tersebut, Juhanda bebas murni
pada 28 Juli 2014.
Pada fase inilah barangkali BNPT kehilangan momentum emas untuk
melakukan koordinasi pihak terkait, seperti dinas sosial, tokoh masyarakat,
atau bahkan pihak keluarga Juhanda, ketika ia bebas. Dalam rentang waktu dua
tahun setelah bebas, negara dan masyarakat tidak hadir dalam kehidupan
Juhanda. Ia justru diterima dengan tangan terbuka oleh komunitas ISIS-ers di Samarinda
atas rekomendasi Agung. Dalam kelompok kecil inilah "titik balik"
Juhanda mendorongnya menjadi pelaku bom di Samarinda yang menewaskan Intan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar