Reformasi
Koperasi untuk Ekonomi Desa
M Dawam Rahardjo ; Rektor
Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta
|
KOMPAS, 21 November
2016
Dalam visinya koperasi dicita-citakan sebagai ”soko guru
perekonomian Indonesia”. Namun, dalam realitasnya hinggakini, koperasi baru
hanya menjadi ”sapu lidi” yang menghimpun yang kecil dan lemah. Padahal,
menurutKetua Dekopin Nurdin Halid, koperasi ”pilar negara”. Bersama sektor
negara dan sektor swasta, koperasi berada di buritan perkembangan ekonomi
nasional.
Mengingat usinya yang hampir satu abad sejak tahun 1947, gerakan
koperasi tidak bisa hanya merasa prihatin, tetapi juga harus memikirkan suatu
gerakan reformasi dengan memahami persoalan yang dihadapi guna melakukan
repositioning dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Pokok
persoalan
Walaupun dalam kenyataannya, koperasi merupakan sektor yang
paling tertinggal, pemerintah sering membanggakan ”prestasi” koperasi, yang
jumlah unitnya mencapai 209.488 dan anggotanya mencapai 36.443.953pada tahun
2014. Namun, jika dihitung rata-rata jumlah anggotanya, hanya 174 orang per
unit. Padahal, pada masa Orde Baru, jumlah anggota koperasi unit desa (KUD)
ditargetkan minimal 2.000 orang per unit.
Jumlah unit yang aktif diklaim mencapai 70 persen. Namun, jika
dilihat dari data yang melakukan rapat anggota tahunan, hanya 38 persen. Ini
artinya yang aktif hanya 38 persen sehingga yang tidakaktif62 persen. Yang
tidak aktif ini karena tidak memiliki program yang dijalankan sehingga tidak
ada yang bisa dilaporkan dalam rapat anggota tahunan. Atau manajemen tidak
mampu melaksanakan program yang realistis. Yang tidak melakukan rapat anggota
tahunan berarti tidak transparan danakuntabel. Karena tidak memiliki
kegiatan, sisa hasil usaha (SHU) per koperasi juga kecil, rata-rata Rp 71
juta per unit dan per anggota hanya Rp 408.000 per tahun atau Rp 34.000 per
bulan per anggota. Dengan ukuranupah minimum regional, yang terkecil adalah
di Provinsi Maluku Utara, yaitu Rp 1.681.266, dan tertinggi Provinsi DKI
Jakarta Rp 3,1 juta. Hal tersebut menunjukkan koperasi Indonesia adalah
organisasi ”soko lidi” yang terdiri dari koperasi-koperasi kecil dan lemah.
Kunci kekuatan koperasi sebenarnya adalah persatuan dari yang
lemah atau yang miskin apalagi yang pendapatan per kapita anggotanya besar,
sebagaimana dikatakan ahli koperasi Jerman, Hanna. Koperasi dengan jumlah
anggota minimal 2.000 orang adalah mungkin karena penduduk per kecamatan di
Jawa 30.000-40.000 orang. KoperasiCredit Union (CU), umpamanya, jumlahnya
hanya 917 unit. Namun, jumlah anggotanya mencapai 2.500-7.200 orangatau
rata-rata 2.760 orang.
Koperasi CU terbesar adalah Lantang Tipo dari Kalimantan
Baratdengan jumlah anggota 123.777 orang, sedangkan yang terkecil koperasi
Papa Diwi dari Maumere,Nusa Tenggara Timur, dengan jumlah anggota 1.003 orang
dengan nilai aset Rp 2,230 miliar, jadi hampir tiga kali lipat dari
modalkoperasi nasional yang besarnya hanya Rp 958 juta.Jumlah anggota
koperasi menunjukkan adanya semangat berkoperasi, justru di desa miskin di
Kalimantan Barat atau NTT. Masalahnya adalah kemampuan mengorganisasikan
anggota masyarakat.
Nilai aset CU total pada tahun 2015 sebesar Rp 23 triliun atau
rata-rata Rp 23.191.276.Ini menunjukkan bahwa CU adalah unit usaha keuangan
mikro, sebagai organisasi sapu lidi. Namun, dengan penggabungan koperasi
primer dalam satuan kecamatan, koperasi akan bisa membentuk usaha skala
menengah, bahkan besar dengan nilai aset kira-kira Rp 2,3 miliar. Demikian
juga jika jumlah anggota bisa ditingkatkan.
Arah reformasi
Berdasarkan realitas di atas, maka arah reformasi koperasi,
pertama-tama adalah peningkatan kapasitaskelembagaan(institutional capacity
building) dengan perbaikan tata kelola koperasi yang baik (good cooperative
governance), yaitu dengan penerapan prinsip-prinsip transparansi melalui
rapat anggota, akuntabilitas dengan memilih tenaga-tenaga profesional,
kewajaran (fairness) dengan memberikan renumerasi terhadap tenaga-tenaga
profesional dan independensi dengan memilih ketua dan manajer koperasi
kompeten dan berintegritas.
Dengan peningkatan tata kelola koperasi itu, target pertama yang
perlu ditetapkan adalah peningkatan jumlah anggota minimal 2.000 orang.
Berdasarkan pengalaman BMT INTI Yogyakarta yang berbasis usaha asuransi
mikro, dengan cara menabung sedekah harian Rp 500, dapat dihimpun modal yang
mencukupi untuk memberikan fasilitas kredit mikro hingga Rp 5 juta kepada
2.000 pengusaha mikro anggota koperasi sehingga jumlah anggota keseluruhan
adalah 4.000 orang. Karena itu, target koperasi selanjutnya peningkatan aktivitas
koperasi dengan cara menabung, dengan berbagai metode dengan cara mencontoh
CU.
Berdasarkan pengalaman CU di daerah-daerah miskin, maka
masyarakat memiliki banyak kesempatan usaha produktif di bidang pertanian dan
kehutanan yang menghasilkan bahan mentah. Dengan hasil tersebut, keuntungan
koperasi sangat terbatas. Karena itu, yang perlu dikembangkan di daerah
perdesaan adalah industri pengolahan hasil- hasil pertanian dan kehutanan,
sebagai disarankan oleh Bung Hatta, guna menciptakan nilai tambah. Dengan
meningkatnya nilai tambah tersebut, volume usaha koperasi menjadi membesar
sehingga, sebagaimana disarankan Bung Hatta, koperasi bisa berfungsi menjadi
lembaga pembentukan modal (capital formation).
Dewasa ini, Bank Indonesia dan Bank Dunia memprihatinkan
ketidakmampuan perbankan dalam meningkatkan akses orang miskin terhadap
pelayanan keuangan. Sebenarnya koperasi adalah lembaga ekonomi perdesaan yang
mampu melakukan inklusi keuangan itu. Namun, koperasi harus mampu menghimpun
modal murah. Dewasa ini permodalan koperasi masih 47 persen tergantung dari
luar, khususnya pemerintah.
Karena itu, sasaran reformasi koperasi ketiga adalah memperkuat
modal. Berdasarkan sistem perbankan, koperasi dewasa ini sebenarnya tidak
memiliki modal karena yang dihitung sebagai modal adalah simpanan, kecuali
simpanan pokok yang bisa dianggap sebagai modal yang jumlahnya
kecil.Sebenarnya simpanan adalah dana pihak ketiga (DPK). Agar menjadi
pruden, nilai modal paling tidak 12 persen dari nilai aset yang membentuk faktor
kecukupan modal.
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang
dibatalkan Mahkamah Konstitusi, yang sekarang masih berlaku sebelum ada UU
pengganti yang baru,memberi kesempatan kepada koperasi untuk menerbitkan
saham guna memperkuat permodalan.
Dalam pengalaman koperasi kelapa sawit rakyat Setia
kawanBatulicin, Kalimantan Selatan, koperasi tidak berhasil memperoleh kredit
start up dari bank untuk mendirikan industri pengolahan hasil kelapa sawit.
Namun, dengan menerbitkan saham Rp 2,5 juta per lembar, terjual 52.000 lembar
saham senilai Rp 130 miliar yang mencukupi sebagai modal mendirikan industri
kelapa sawit skala besar. Di Israel, pemerintah mendirikan lembaga keuangan
start up guna membiayai inovasi sehingga bisa melahirkan usaha baru lewat
lembaga inkubasi.
Dengan demikian, maka sasaran reformasi koperasi adalah,
pertama, perbaikan tata kelola koperasi. Kedua, peningkatan jumlah anggota
koperasi per unit. Ketiga, membentuk modal dan keempat membentuk industri
pengolahan guna menciptakan nilai tambah. Kelima, membentuk lembaga inkubasi
koperasi.
Dengan reformasi tersebut, pengembangan ”koperasi sapu lidi”
akan membuka jalan bagi terbentuknya koperasi ”soko guru”ekonomi perdesaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar