Bangsa
yang Tidak Bahagia
Aprinus Salam ; Kepala
Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM)
|
KORAN SINDO, 28 November
2016
Bangsa hadir dan diperlukan
untuk dicintai dan sekaligus dibenci. Dalam tarikan energi itu bangsa
Indonesia hidup dan bertahan.
Sayangnya, negara dan
masyarakat tidak mampu mengelola dengan baik dua energi yang sangat penting
itu sehingga sebagai bangsa kita hidup dalam perasaan galau. Sebagai bangsa,
kita bukan bangsa yang bahagia. Secara historis misalnya ada masa lalu yang
dicintai (dan dikagumi), yakni abad ke-7 hingga abad ke-16, suatu masa yang
sering dianggap sebagai masa kejayaan Nusantara dengan kerajaan besarnya
seperti Sriwijaya dan Majapahit.
Tetapi, ada masa lalu yang
dibenci, yakni masa penjajahan. Masa penjajahan adalah masa yang kita terima
dengan perasaan benci. Karena masa penjajahan itu pula, kita menyenangkan
diri dengan kisah-kisah kepahlawanan dan pahlawan yang layak dicintai. Kita memang
membenci penjajahan, dalam arti kita membenci segala bentuk intervensi dan
gangguan dari luar ke dalam bangsa kita. Tetapi, itu bukan berarti kita
membenci bangsa Eropa yang pernah menjajah kita.
Bahkan banyak dari kita yang
menyukai dan mencintai Eropa dan Amerika. Dalam konteks ini, negara pernah
gagal mengelola perasaan cinta dan benci pada satu bangsa tertentu, padahal
bangsa itu tidak pernah menjajah di dan pada masa lalu yang kita benci. Banyak
contoh lain misalnya tradisi dan modernitas. Kitamencintai tradisi karena
nilai-nilai kearifannya, tetapi benci pada tradisi yang snobis dan merasa
paling luhur sendiri.
Kita membenci modernitas dan
kapitalisme karena telah menggerus kemanusiaan kita, tetapi kita mencintainya
karena modernitas telahmembebaskan kita dari belenggu tradisi yang
mengungkung. Kita membenci pembangunan yang merusak lingkungan, tapi kita
mencintainya dengan menikmati hasil pembangunan. Secara umum, mungkin kita
akan berpendapat bahwa untuk menuju bangsa yang bahagia sebaiknya energi
cinta dimaksimalkan dan energi benci diminimalkan atau dihilangkan.
Asumsi itu pun ternyata tidak
benar karena sebagai bangsa ada ihwal kebencian juga sangat perlu dibangun
dan dipertahankan. Kita tetap perlu memelihara kebencian terhadap segala macam
kejahatan. Negara perlu membantu bangsanya untuk memelihara terusmenerus
perasaan benci untuk melawan dengki, hasut, keserakahan, ketamakan,
kerakusan, dan sebagainya. Tetapi, kita juga perlu mengurangi rasa cinta yang
berlebihan terhadap segala bentuk kesuksesan, keberhasilan, kemenangan, dan
kekayaan.
Hal itu disebabkan energi cinta
terhadap hal itu bisa menimbulkan cara-cara kejahatan untuk mendapatkannya.
Itulah sebabnya, negara juga tidak perlu mengeksplorasi bangsanya untuk
menjadi bangsa yang serbasukses, bangsa yang harus selalu berhasil dan
menang, atau menjadi bangsa yang kaya.
Titik Kesetimbangan
Bangsa adalah sekumpulan
manusia yang terikat dalam satu perjanjian historis, politik, dan kultural
manusia-manusia yang terlibat dan terhimpun di dalamnya. Artinya, bangsa
adalah himpunan manusia dan kemanusiaan yang terkonstruksi sedemikian rupa
oleh sejumlah aturan dan beragam kesepakatan. Tetapi, sebagai himpunan
manusia dan kemanusiaan, substansi tertinggi bangsa adalah bahwa bangsa
merupakan penjelmaan energi manusia-manusia yang cinta dan benci ada di
dalamnya. Kita tidak bisa bertanya kenapa cinta dan benci harus ada.
Karena, hal itu sama dengan
mempertanyakan apa itu ruh yang tersembunyi di dalam diri kita sehingga kita
bisa hidup dan ada. Pertanyaannya, bagaimana mengelola cinta dan benci agar
mendapatkan titik kesetimbangan tertentu. Dalam pemahaman inilah kita telah
mendapat satu pedoman yang sangat pantas untuk dielaborasi kembali, yakni apa
yang telah disebutkan dalam Pembukaan UUD 45. Dalam Pembukaan UUG 45, teks
secara eksplisit telah menandaskan tiga faktor penting dalam mengelola
ketimpangan bangsa dan negara.
Tiga faktor penting itu adalah
faktor spiritualitas (atas berkat Allah Yang Mahakuasa dan seterusnya),
intelektualitas (mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya), dan
emosionalitas (kemerdekaan, keadilan kesejahteraan, kemakmuran). Persoalannya
bahwa justru titik tekan negara dalam mengelola bangsanya lebih
meng-akomodasi dimensi atau faktor emosionalitas. Cinta dan benci tidak
mendapat kontrol atau titik kesetimbangan.
Hal tersebut juga berkaitan
dengankarakternegara Indonesia yang, walaupun telah memiliki Pancasila, dalam
praktiknya modernisme, kapitalisme, pembangunanisme, dan sekularisme menjadi
”ideologi” dominan dalam rangka mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran.
Sebagai akibatnya, energi cinta dan benci menjadi menonjol dan tak
terkendali. Implikasi tidak terkendalinya energi cinta dan benci itu dapat
kita lihat dari banyak konflik, kerusuhan, dan kekerasan atas nama cinta dan
benci itu sendiri.
Menuju Bangsa Bahagia
Jika titik kesetimbangan itu
tidak diupayakan, jangan pernah berharap kita akan menjadi bangsa yang
bahagia. Suatu kondisi keseimbangan antara spiritualitas, emosionalitas, dan
intelektualitas. Pertanyaan berikutnya, kenapa kita perlu menjadi bangsa yang
bahagia? Belajar dari sejarah peradaban bangsa dan negara di seluruh muka
bumi, tidak ada bangsa dan/atau negara yang abadi. Itu artinya, bangsa dan
negara itu fana dan sementara.
Bukan mengurangi semangat,
tulisan ini justru ingin membangun dan menguatkan semangat bahwa karena
kebangsaan kita ini sangat sementara, kelolalah rahmat kesementaraan itu
secara maksimal. Tujuan tertinggi dari kehidupan bukan mendapatkan
keberhasilan, kemenangan, atau kesuksesan bangsa, jika hal itu didapatkan
dengan dan dalam penderitaan bingung dan galau berkepanjangan, bahkan
frustrasi. Perlu sesuatu yang lebih teleologis dan abadi.
Negara perlu menanamkan
kesadaran bersama bahwa faktor spiritualitas dan intelektualitas sangat diperlukan
untuk mengontrol energi cinta dan benci. Negara wajib membuat bangsa Indonesia
bahagia. Bangsa yang bahagia sekaligus selamat dunia akhirat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar