Ada
Apa dengan Rush Money?
Haryo Kuncoro ; Direktur
Riset SEEBI; Pengajar di Universitas
Negeri Jakarta
|
TEMPO.CO, 28 November
2016
Belakangan ini, santer beredar
ajakan menarik dana secara massal dari bank (rush money) yang disebarkan
melalui media sosial. Pihak kepolisian mencatat sedikitnya ada 70 akun yang
menyebarluaskan isu tersebut. Ajakan ini terkait dengan akan dilakukannya demonstrasi
pada 2 Desember mendatang. Walhasil, tensi kegelisahan masyarakat kian
tinggi. Kekhawatiran atas kondisi keamanan seperti demonstrasi pada 4
November lalu berakumulasi dengan keamanan secara ekonomi.
Fenomena ini mengingatkan pada
krisis ekonomi 1997/1998, turbulensi ekonomi yang dimatangkan dengan
kegaduhan politik yang berujung pada pergantian rezim. Salah satunya ditandai
dengan antrean panjang untuk mengambil uang tunai di bank.
Membandingkan kedua kasus di
atas tentu saja tidak adil. Sistem keuangan saat ini memiliki fondasi yang
kuat. Beberapa indikator, seperti rasio kecukupan modal, manajemen risiko,
dan cadangan wajib, memperlihatkan bahwa bank dalam status sehat untuk
menjalankan fungsinya.
Fungsi perbankan menjembatani
antara pemilik dana dan pihak yang butuh dana. Perbankan menghimpun dana dari
nasabah. Hasilnya diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dana debitor. Jika
kebutuhan debitor lebih besar daripada dana terhimpun, bank menyertakan modal
sendiri dan/atau mencari sumber pendanaan lain.
Intinya, bank menjalankan
misinya melalui proses transformasi antara simpanan masyarakat dan maturitas
jangka pendek menjadi kredit dengan maturitas lebih panjang. Bank biasanya
menyimpan kas untuk cadangan sendiri sebesar 5-10 persen dari total dana
nasabah.
Namun sesehat apa pun perbankan
niscaya akan sempoyongan jika mengalami penarikan dana massal. Bank yang
kekurangan likuiditas bisa ambruk. Mata uang rupiah akan terpuruk, pasar
saham anjlok, dan investor akan melarikan uangnya ke luar negeri. Dampak
terbesarnya adalah instabilitas perekonomian.
Secara konseptual, penarikan
dana massal disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kondisi internal perbankan.
Saat bank dalam proses menuju kebangkrutan, misalnya, nasabah secara
bersama-sama akan menarik dananya. Kasus Bank Duta pada dekade 1990-an
menjadi pelajaran penting bank bangkrut karena kesalahan sendiri.
Kedua, kondisi ekonomi yang
ekstrem. Pengalaman di Argentina dan Meksiko pada awal 1980-an menjadi bukti
konkretnya. Perekonomian kedua negara itu didera krisis utang yang memacu
inflasi yang hebat. Akibatnya, rakyat lebih memilih menarik uang tunai dari
bank untuk mengejar kenaikan harga.
Akar dari kedua kemungkinan itu
sebenarnya adalah kepercayaan. Artinya, rush money bisa terjadi kapan saja, terlepas
dari kesehatan bank dan kondisi perekonomian yang kondusif, jika kepercayaan
telah hilang. Imbasnya, nasabah yang sudah tidak percaya serentak menarik
dana guna menghindari risiko yang lebih buruk.
Jadi, rush money kalaupun
betul-betul terjadi tidak berada pada ranah mana pun. Jika faktor kepercayaan
dijadikan dasar, ini pun masih bisa diperdebatkan apakah obyektif karena
kalkulasi teknis finansial atau hanya sebatas sentimen yang bersifat
subyektif.
Konsekuensinya, penarikan dana
juga masih harus ditelusuri lagi atas dasar bentuk simpanannya. Jika simpanan
berjenis tabungan, penarikan telah dibatasi sampai nominal tertentu setiap
hari. Apabila rekening tabungan ini sekaligus akan ditutup, jumlahnya pun
relatif kecil (sekitar 10 persen) untuk menggoyang likuiditas perbankan.
Jika berbentuk deposito
berjangka, penarikan dana yang belum jatuh tempo niscaya akan terkena
penalti. Nasabah yang rasional tentu akan menghitung ulang untung-ruginya.
Sangat boleh jadi, imbal hasil bersih yang diperoleh nasabah tidak cukup
material untuk dibawa pulang.
Dengan skenario pesimistis
tabungan dan deposito akan dicairkan seluruhnya, bank tentu sudah punya
mekanisme untuk mengantisipasi risiko semacam ini. Langkah awalnya, bank yang
terkena rush money akan menarik cadangan wajibnya yang disimpan di Bank Indonesia.
Berikutnya, bank akan meminjam dari bank lain untuk memenuhi kebutuhan
likuiditas nasabahnya. Kalaupun tidak mencukupi, bank akan meminjamnya dari
bank sentral sebagai lender of the last resort. Intinya, bank sehat tapi
"kelimpungan" terkena rush money alih-alih mismanagement harus
tetap hidup. Istilah populernya, "too big to fail".
Dalam konteks inilah, upaya
penyelamatan Bank Century, yang kemudian menimbulkan polemik, sebenarnya
dilatarbelakangi spirit agar masyarakat tidak terpengaruh kondisi sebuah
bank. Kondisi ini potensial berefek sistemik, bukan hanya perbankan, tapi
juga menjalar pada sektor riil.
Di sisi lain, aspek ideologis
dipakai untuk alasan ajakan mencairkan uang di bank konvensional. Maka, opsi
pengalihan dana menuju perbankan syariah sangat terbuka. Dalam hal ini, dana
masyarakat sejatinya masih berada dalam sistem perbankan nasional sehingga
stabilitas perekonomian tetap terpelihara.
Risiko yang masih harus
diantisipasi adalah potensi migrasi dana ke luar negeri, alih-alih menuju bank
syariah di dalam negeri. Mata rantainya akan menyambung dari penarikan dana,
pembelian valuta asing, penurunan cadangan devisa, dan fluktuasi kurs.
Pelarian modal ke luar negeri sayangnya terjadi di saat Trump effect masih
berlangsung.
Namun perekonomian, sektor
keuangan, dan industri perbankan Indonesia secara umum masih cukup tahan
meredam gejolak rush money. Walhasil, tidak ada alasan yang andal untuk
menyikapi rush money secara berlebihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar