Siaga
TNI-Polri Jelang 212
Bambang Soesatyo ; Ketua
Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
|
KORAN SINDO, 29 November
2016
Apakah NKRI dan Pemerintah RI saat ini sedang menghadapi ancaman
yang teramat-sangat serius? Mudah-mudahan saja, suatu hari nanti rakyat akan
diberi tahu tentang sosok-sosok petualang politik yang ingin melakukan makar.
Hingga Sabtu (26/11) pekan lalu Presiden Joko Widodo bahkan
masih mengingatkan urgensi menjaga keberagaman Indonesia. Berbicara kepada
komunitas nelayan di Pelabuhan Perikanan Untia, Makassar, Presiden
menegaskan, “Saya ingin mengingatkan mengenai keberagaman kita, kemajemukan
kita. Bangsa kita ini bermacam- macam, beragam.
Sukunya ada 626 dari Sabang sampai Merauke. Bahasa lokal ada
1.100-an, macam-macam. Inilah anugerah Allah yang diberikan kepada bangsa
kita,” kata Presiden. Praktis sepanjang paruh kedua November 2016, publik
dipancing untuk menyimak beberapa kata dan ungkapan yang sebelumnya jarang
didengungkan. Antara lain kata makar, keutuhan NKRI, maklumat kapolri, dan
maklumat para kapolda, serta ada rencana menguasai Gedung DPR.
Pertanyaannya, apa yang sesungguhnya sedang terjadi di bawah
permukaan yang tidak diketahui masyarakat kebanyakan? Benarkah ada petualang
atau avonturir politik yang coba memperkeruh suasana dengan tujuan akhir
menggulingkan pemerintahan yang sah? Benarkah ada kekuatan tertentu yang
menggalang dan mengerahkan massa untuk menguasai Gedung DPR? Penguasaan massa
atas Gedung DPR dipersepsikan sebagai upaya mengulang skenario 1998—saat
mahasiswa menguasai Gedung DPR— untuk kemudian memaksakan Sidang Umum MPR.
Semua yang mengemuka akhir-akhir ini adalah persoalan yang
sangat serius dan sensitif. Memang, semua berawal dari pernyataan bersama
Kapolri dan Panglima TNI. Dalam konferensi pers bersama di Mabes Polri,
Jakarta, Senin (21/11) Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengungkap
informasi tentang ada rencana “penyusup” pada aksi demo lanjutan 4 November
(semula direncanakan 25 November 2016). Para penyusup itu punya agenda
tersembunyi, yakni akan menduduki Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
“Info yang kami terima, 25 November ada aksi unjuk rasa. Namun,
ada upaya tersembunyi dari beberapa kelompok yang ingin masuk ke dalam DPR,
berusaha ‘menguasai’ DPR,” kata Jenderal Tito. Blak-blakan Jenderal Tito juga
mengatakan bahwa Polri tahu ada sejumlah pertemuan yang membahas soal rencana
menguasai DPR dan menggerakkan massa. Tak hanya sampai di situ.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo juga mengaku pihaknya
telah dihubungi seorang ulama besar yang menjelaskan ada rencana makar.
“Seorang ulama besar mencium ada penggulingan (pemerintahan) dan memberi tahu
saya,” kata Jenderal Gatot di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri),
Jakarta, Kamis (24/11). Karena itu, Polri bersama TNI akan menjaga ketat
demonstrasi itu jika aksi itu berpotensi pada upaya menggulingkan
pemerintahan.
Jumlah prajurit TNI-Polri yang diturunkan akan lebih banyak dari
aksi sebelumnya. Termasuk mengatur strategi jika berujung pada makar. “Kalau
itu bermaksud menjatuhkan atau menggulingkan pemerintah, termasuk pasal
makar,” ujar Jenderal Tito. Agar keadaan tidak semakin memburuk, Kapolri
Jenderal Tito terpaksa mengeluarkan maklumat yang berisi ketentuan untuk demo
2 Desember 2016.
Dalam maklumat itu, Polri tidak mengizinkan aksi gelar sajadah
di Jakarta maupun di daerah pada Jumat, 2 Desember 2016. Bagi Polri, meski
kebebasan mengemukakan pendapat diatur dalam undangundang, itu tidak absolut.
Menurut Jenderal Tito, aksi Bela Islam III yang akan menggelar sajadah
sepanjang Jalan Jenderal Sudirman hingga MH Thamrin akan mengganggu hak orang
lain di jalan protokol tersebut. “Maka itu, kami akan melarang kegiatan itu,”
tegas Jenderal Tito.
Jika aksi itu tetap dilaksanakan, akan dibubarkan paksa. Bila
ada perlawanan dari massa, bahkan akan dikenakan Pasal 108 KUHP yang ancaman
hukumannya lima tahun penjara. Maklumat itu kemudian ditindaklanjuti oleh sejumlah
kapolda, termasuk Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan. Sedangkan
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan jajarannya bersama Polri
siap menghadapi upaya makar yang diduga disusupkan dalam aksi 2 Desember
2016. Prajurit TNI sudah disiagakan menangkal upaya menjatuhkan pemerintahan
yang sah.
“Saya sudah menyiapkan para Pangkotama (Panglima Komando Utama)
menyiapkan prajurit untuk dilatih, disiapkan yang sehat. Untuk diketahui
masyarakat NKRI bahwa prajurit TNI sejak dia masuk, dididik, disumpah. Para
prajurit saya sudah memenuhi syaratsyarat dari agama apa pun yang dianut
untuk melakukan jihad. Saya peringatkan, prajurit saya bukan penakut,” tegas
Jenderal Gatot dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta.
Petualang
Politik
Polri dan TNI kemudian sibuk menyiagakan prajurit. Pada Sabtu
(19/11) misalnya empat satuan setingkat kompi (SSK) Brigade Mobil Kepolisian
Daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dikirim ke Jakarta. Satuan
dengan jumlah personel 400 prajurit itu dikerahkan untuk membantu pengamanan
di Jakarta.
Apa yang bisa dimaknai dari pernyataan bersama Kapolri dan
Panglima TNI tentang makar serta peningkatan kesiagaan prajurit Polri dan TNI
di sejumlah daerah? Sesungguhnya, baik Kapolri maupun Panglima TNI ingin mengatakan
atau menjelaskan kepada semua elemen masyarakat bahwa ada petualang atau
avonturir politik yang ingin menunggangi aksi umat menyuarakan aspirasi atas
proses hukum kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI
Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok.
Seperti diketahui, sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas)
berencana menggelar aksi Bela Islam III yang semula dijadwalkan 25 November,
kemudian digeser ke 2 Desember 2016. Warning dari Panglima TNI dan Kapolri
itu sebaiknya tidak dianggap remeh atau disederhanakan. Harus dipahami bahwa
dalam merespons setiap ancaman, baik TNI maupun Polri memiliki pola
pendekatan yang berbeda dengan asumsi atau persepsi masyarakat sipil.
Polri dan TNI diwajibkan untuk tidak menoleransi ancaman sekecil
apa pun. TNI dan Polri bahkan akan dipersalahkan jika menyederhanakan setiap
ancaman yang dapat merusak stabilitas keamanan atau mengganggu ketertiban
umum. Dengan begitu, ketika Kapolri dan Panglima TNI mengemukakan ada agenda
makar, pijakan dari pernyataan bersama itu pastilah informasi intelijen.
Masyarakat sipil boleh saja menyederhanakan informasi intelijen.
Tetapi, Panglima TNI, Kapolri, bahkan Presiden sekali pun, harus
memercayai informasi intelijen sebab baik komunitas intelijen dari Badan
Intelijen Negara (BIN), Polri, maupun komunitas intelijen TNI adalah mata dan
telinga negara. Karena itu, sah adanya ketika Panglima TNI Jenderal Gatot
Nurmantyo percaya bahwa Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian tidak asal
bicara soal ada upaya makar.
Jenderal Gatot yakin bahwa pernyataan Kapolri itu sudah
berbasiskan data dan informasi yang akurat. Ada kemungkinan pergerakan massa
dalam jumlah besar pada demonstrasi di Jakarta akan dimanfaatkan pihak-pihak
tertentu untuk membuat kondisi keamanan Indonesia bergejolak. TNI dan Polri
tentu saja belajar dari ricuh skala kecil yang terjadi setelah aksi damai 4
November. Ricuh serupa, apalagi dalam skala yang lebih besar, tentu saja
tidak bisa dibiarkan terjadi lagi.
Maka, wajar jika Polri dan TNI menjadi lebih proaktif dalam
mengelola keamanan terkait rencana aksi Bela Islam III itu. Sisi positif dari
kesiagaan Polri dan TNI itu adalah mencegah terjadi hal yang lebih buruk.
Tidak satu pun komponen masyarakat yang ingin melihat kondusivitas dirusak
oleh para petualang politik. Hak masyarakat untuk mengawal proses hukum kasus
Ahok harus dihormati. Karena itu, aksi Bela Islam III tidak dilarang.
Sebaliknya, Polri dan TNI justru ingin melindungi dengan memberi
pengawalan ketat atas aksi itu. Namun, karena aksi damai Bela Islam III itu
berpotensi disusupi oleh para petualang politik untuk merusak stabilitas
pemerintahan, menjadi kewajiban TNI dan Polri mencegahnya. Kesiagaan TNI dan
Polri saat ini merupakan respons terhadap para petualang politik yang
coba-coba menunggangi aksi damai Bela Islam III.
Publik pasti penasaran dan ingin tahu siapa saja yang ingin
menunggangi aksi damai itu. Maka, pada saatnya nanti, Polri diharapkan mau
mengungkap identitas para pihak yang ingin melakukan makar itu. Pada akhirnya
pernyataan bersama Kapolri dan Panglima TNI tentang ada upaya makar dengan
menunggangi rencana aksi damai 2 Desember (212) tentu harus
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Terutama karena pernyataan itu agak
sensitif dalam konteks perpolitikan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar