Ujian
Demokrasi Pascaaksi 4 November
M Alfan Alfian ; Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
|
KORAN SINDO, 25 November
2016
Salah satu cara menjelaskan dinamika politik yang berkembang
pascaaksi 4 November 2016 berikut ketegangannya adalah melalui pendekatan
sistem. Pendekatan ini bisa rumit atau kompleks, tetapi secara sederhana
dapat diringkas oleh adanya aksi-aksi beberapa kelompok kepentingan di ranah
informal sebagai masukan penentu kebijakan di ranah formal. Resultan dari
semua proses itu menjadi realitas politik baru yang terus bergerak dinamis,
menuju titik kesetimbangannya. Kelompok-kelompok kepentingan yang menggelar
aksi 4 November pada hakikatnya disatukan oleh isu bersama, yakni dugaan
penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang terkesan direspons
lambat oleh aparat. Mereka lantas menggumpal menjadi kelompok penekan (pressure group) yang demikian
fenomenal.
Selang dua minggu setelah aksi tersebut, pihak kepolisian
menetapkan Ahok sebagai tersangka. Tapi, tampaknya tekanan belum sepenuhnya
mereda, terutama dalam kaitannya dengan mengapa Ahok tidak ditahan. Hal ini
dikaitkannya dengan masalah keadilan. Mereka merencanakan aksi 2 Desember
2016.
Respons balik terhadap aksi 4 November pun cukup marak. Presiden
Jokowi yang tidak menemui massa aksi melakukan safari ke
organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam, terutama Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah. Komunikasi politik dengan para ulama diperluas, termasuk yang
digalang partai-partai politik.
Presiden juga berkunjung ke kalangan tentara dan kepolisian. Pun
mengundang elite-elite partai ke Istana, termasuk Prabowo Subianto yang partainya
berada di luar pemerintahan. Isu yang selalu ditekankan adalah menjaga
persatuan dan Bhinneka Tunggal Ika.
Tampaknya, Presiden hendak memperkuat komunikasi politik dengan
ulama dan kekuatan pendukungnya. Ekses-ekses politik pasca-aksi 4 November
hendak diantisipasinya. Tekanan-tekanan lanjutan yang dilempar oleh elemen-elemen
tertentu pascaaksi 4 November juga memperoleh reaksi dari Kapolri, Panglima
TNI, dan Menko Polhukam. Mereka mencoba meyakinkan bahwa aksi-aksi lanjutan
pascapenetapan Ahok sebagai tersangka tidak perlu dilakukan, karena proses
hukum telah dilakukan. Yang menarik, diingatkan aksi pun bisa berubah makar.
Kalau itu terjadi, aparat kepolisian dan militer siap bertindak tegas. Polisi
berdalih sinyalemen itu dalam rangka pencegahan, kendati menuai kritik membatasi
kebebasan berdemokrasi.
Di ranah non-elite, reaksi juga muncul dari aksi-aksi yang
mengesankan sebagai tandingan. Secara massa, jumlahnya tidak sebanding dengan
banyaknya peserta aksi 4 November. Tetapi, secara opini aksi-aksi yang
mengedepankan jargon Bhinneka Tunggal Ika tersebut tak dapat diabaikan.
Beberapa media massa dalam dan luar negeri pun terkesan berupaya
menampilkannya sebanding dengan aksi 4 November.
Menilik isu dan jargon yang berkembang yang mengemuka sekarang
seolah-olah tengah muncul polarisasi dalam masyarakat yang tak terelakkan.
Yang satu ”kelompok Islam”, satunya lagi ”Bhinneka Tunggal Ika”. Generalisasi
demikian, sadar atau tidak, naif dan berbahaya. Apalagi kalau ada kesan
”kelompok Islam” identik dengan mereka yang menghendaki makar. Harus ada
klarifikasi yang mampu menjelaskan dalam konteks apa isu-isu tersebut
mengemuka.
Dalam ujaran-ujaran Presiden, pejabat pemerintahan, kepolisian
dan yang lain, terkesan kuat, maksudnya Bhinneka Tunggal Ika tengah dalam
ancaman politik identitas. Kelompok yang mengedepankan identitasnya secara
eksklusif berarti menafikan realitas pluralisme, mengancam bangsa, dan
Pancasila. Maka, Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila, pun hadir sebagai
tameng, sekaligus alat pukul terhadap mereka yang ditengarai mengedepankan
politik identitas yang destruktif.
Hari-hari ini pemerintah tengah diuji kemampuannya, kalau bukan
kecanggihan komunikasi politiknya. Ikhtiar Presiden Jokowi membangun
komunikasi politik dengan berbagai pihak seharusnya bermuara pada
meningkatnya kepercayaan (trust)
sebanyak mungkin kelompok masyarakat dengan beragam kepentingan.
Presiden berada pada posisi politik yang kuat dan tidak boleh
dikesankan kurang percaya diri dalam merespons perkembangan politik
belakangan ini. Manajemen komunikasi politik pemerintah harus efektif, justru
karena pendekatannya yang inklusif dan diterima. Sehingga, semua pihak merasa
dirangkul, bukan ditinggalkan atau merasa dikonfrontasikan. Ikhtiar membangun
kepercayaan publik secara luas, tidak saja menjadi tugas pemerintah, tetapi
juga elite-elite terkait, termasuk partai-partai politik.
Kalau partai efektif, maka isu-isu yang berkembang dalam
masyarakat cukup dipercayakan kepada mereka. Sayangnya, fungsi penyerapan
aspirasi dan pengambilalihan isu-isu strategis kalau bukan krusial oleh
partai-partai dalam maknanya yang lebih positif dalam manajemen konflik,
tidak terjadi. Seolah-olah isu-isu pokok yang disuarakan para kelompok
penekan terpisah dari eksistensi dan kepentingan partai-partai. Fenomena ini
seolah menegaskan kegagalan partai dalam sistem.
Hal sedemikian cukup menggelisahkan, mengingat ketika semakin
banyak isu politik muncul dari kelompok kepentingan dan penekan, potensi
konflik semakin meluas dengan melibatkan elite dan massa. Di atas semua itu,
hari-hari ini demokrasi kita tengah diuji, bagaimana antar-elite yang
berseberangan secara isu mampu saling merespons secara elegan dan damai. Pun,
bagaimana mereka mampu meredakan situasi politik yang menegangkan melalui
jalan keluar yang bijak.
Dari sisi cara pemerintah dan aparat mengatasi isu dan aksi atau
unjuk rasa, demokrasi harus menjadi ukuran. Disisi lain, kelompok-kelompok
penekan juga tidak boleh memaksakan kehendak dan naif. Aturannya jelas,
manakala terjadi pelanggaran hukum, siapa pun bisa ditindak. Aparat memang
sering dilematis, tetapi jangan sampai dikesankan bahwa mereka sekadar alat
kekuasaan politik. Tantangan bangsa semakin tidak mudah ke depan. Persaingan
global tak terelakkan.
Dalam rumus neo-developmentalis, stabilitas politik diperlukan
untuk menjamin pembangunan bidang ekonomi. Tapi tentu kini caranya berbeda
dengan di masa lalu yang represif dan monolitik. Tantangan pemerintah dalam
bidang politik adalah membuat stabilitas yang terjadi kuat dalam paradigma
demokrasi. Demokrasi membutuhkan daya persuasi yang kuat untuk membangun
konsensus dalam bingkai kebersamaan. Ia membutuhkan kesabaran, bukan jalan
pintas melalui ancaman-ancaman.
Dari sisi kelompok penekan yang tak terelakkan membawa
simbol-simbol Islam juga harus mempertimbangkan hal-hal yang membuat dunia
menilai demokrasi dapat berkembang baik di Indonesia yang berpenduduk muslim
terbesar. Mereka juga ikut bertanggung jawab atas terselenggaranya proses
demokrasi yang substansial dan bermaslahat, tak sekadar prosedural. Mayoritas
umat Islam Indonesia tentu bukan kelompok anti, atau bahkan tak paham,
demokrasi. Demokrasi Indonesia tidak boleh didegradasi oleh tindakan-tindakan
yang fatalistik, justru oleh penekanan identitas kelompok yang berlebihan.
Di tengah ingar-bingar politik kita dewasa ini, sesungguhnya
banyak isu bersama yang perlu memperoleh perhatian, terutama soal kemandirian
dan kedaulatan bangsa. Ke depan kita harus keluar sebagai bangsa yang
mandiri, maju, dan bermartabat.
Semoga resultannya akan ke sana, setelah semua pihak mampu
mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa politik saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar