Melihat
Senyum Koruptor
Moh Mahfud MD ; Ketua
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 19 November
2016
Kolom saya, ”Melihat Derita Koruptor”, yang dimuat di rubrik ini
Sabtu (12-11-16) pekan lalu mendapat tanggapan beragam. Ada yang merespons
melalui Twitter, ada yang melalui grup-grup WA, dan ada yang mengirim SMS
atau direct messages kepada saya. Pada umumnya, penanggap merasa ikut sedih
melihat koruptor yang keluarganya berantakan. Seperti yang saya tulis,
koruptor itu hidupnya sangat menderita. Ada yang anaknya menghilang karena
malu, istrinya hidup susah ke sana kemari tidak ada lagi yang menghormati.
Ada yang anaknya dijauhi oleh teman-temannya dan tidak ada yang
mau mengambilnya sebagai jodoh. Ada yang harus menjadi wali nikah, tapi
berangkat dari penjara dan dikawal sehingga pernikahan menjadi mencekam,
bukan hikmat. Mantan mahasiswa saya, Iwan Wibisono, yang kini tinggal
Melbourne, Australia menyatakan setuju dengan tengarai saya bahwa banyak
pejabat yang buang badan dan menimpakan korupsi yang dilakukannya kepada anak
buahnya.
Namun, Iwan menunjuk juga bahwa banyak pejabat yang pasang badan
untuk mengelola pemerintahan dengan baik dan membuat kebijakan namun akhirnya
dikriminalisasi dan masuk penjara. Soalnya, apakah membuat kebijakan itu bisa
dikriminalisasikan? Untuk masalah yang diajukan Iwan itu sebenarnya sudah
pernah menjadi diskusi gemuruh di Indonesia, baik pada masa pemerintahan Pak
SBY dulu maupun pada masa pemerintahan Pak Jokowi sekarang.
Pemerintah menyerukan agar kebijakan yang dibuat oleh para
pejabat tidak dikriminalisasikan agar para pejabat tidak takut membuat
kebijakan. Saya sendiri sering mengatakan, secara hukum, sejak dulu memang
kebijakan tidak boleh dikriminalisasikan. Membuat kebijakan adalah bagian
penting dari tugas-tugas pemerintahan. Jadi tidak perlu ada seruan, apalagi
instrumen hukum baru, agar kebijakan tidak dikriminalisasikan.
Sejak dulu pun sudah begitu hukumnya. Sampai kini, rasanya,
belum ada kasus pembuat kebijakan dikriminalisasi. Semua pejabat yang dihukum
memang dihukum karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana korupsi. Sebaliknya yang bisa membuktikan bahwa yang dilakukannya
adalah kebijakan, ya tidak diapaapakan. Clear,kalau soal itu.
Banyak juga penanggap yang membandingkan dengan fakta lain,
misalnya, banyak koruptor yang tidak tampak menderita. Bahkan keponakan saya,
Firman, mengatakan ada temannya yang baru keluar penjara karena korupsi
sekarang menjadi pejabat lagi di satu kabupaten di Jawa Timur. Jadi, ada
koruptor yang tidak menderita seperti yang saya gambarkan dalam tulisan
”Melihat Derita Koruptor” itu.
Buktinya lagi, mereka masih bisa tersenyum- senyum sambil
melambaikan tangan kepada para wartawan pada saat digelandang ke tempat
tahanan atau digiring ke ruang sidang pengadilan. Itu pun adalah fakta yang
tak terbantahkan. Banyak koruptor yang bertingkah, misalnya, masih
marah-marah kepada wartawan seakan-akan dia masih pejabat. Ada juga yang,
seperti kata beberapa penanggap, yang tertawa- tawa dan tiba-tiba berubah
penampilan menjadi religius misalnya memakai baju koko atau berjilbab.
Tetapi itu semua tidak mengurangi keyakinan saya bahwa di dalam
batinnya para koruptor itu tetap sangat menderita. Mereka tahu bahwa harga
diri mereka sudah tergeletak di comberan, mereka tahubahwaanakdanistrinya
sudah tersisih dari pergaulan normal masyarakat. Dapatlah dikatakan bahwa senyum
mereka itu sebenarnya senyum iblis. Kok disebut senyum iblis? Ya, karena
menurut agama, sebenarnya, predikat koruptor itu sama dengan predikat iblis,
yakni makhluk terlaknat.
Di dalam kitab suci disebutkan bahwa iblis dilaknat karena tidak
patuh pada perintah Tuhan dan di dalam Hadis Nabi ditegaskan bahwa Tuhan
melaknat penerima suap dan pemberi suap alias koruptor. Jadi, koruptor itu
statusnya sama belaka dengan iblis, kelompok makhluk terlaknat. Sekelompok
penanggap lain yang masuk melalui WA dan Twitter kepada saya mengatakan,
tidak benar juga kalau dikatakan koruptor itu menderita.
Buktinya, banyak koruptor yang masih bisa bergembira di dan dari
penjara. Bahkan, ada yang menyebut penjara itu menjadi kantor atau hotel
mewah bagi para koruptor karena bisa mengatur sendiri tempat tidur dan tempat
menerima tamu layaknya pejabat yang memimpin kantor. Ada yang bisa
berkeliaran dan dipergoki di tempat umum dengan full dress yang mewah.
Tentang itu semua pun tidak dapat dibantah.
Mantan Wakil Menkumham Denny Indrayana saat melakukan inspeksi
mendadak pernah menemukan ruangan mewah yang di-setting seperti kantor dengan
fasilitas elektronik yang canggih di sebuah lembaga pemasyarakatan. Ada home
theatre segala. Tempat itu ternyata menjadi semacam kantor seorang narapidana
yang terbukti menyuap seorang jaksa dan keduanya sama-sama dipenjarakan.
Melalui rubrik ini pada tahun 2012, saya juga pernah menulis
kesaksian sahabat saya (almarhum) Slamet Effendi Yusuf kepada saya.
Ceritanya, suatu hari Slamet mengontak temannya yang sedang meringkuk di
penjara karena korupsi. Slamet ingin menyambung silaturahim dengan temannya
itu dan ingin menunjukkan bahwa rasa persahabatannya masih melekat.
Disepakatilah, sang napi koruptor itu akan menerima kunjungan
Slamet pada Minggu pukul 8.00 pagi. Pada waktu yang dijanjikan, Slamet datang
ke lapas tersebut. Ternyata begitu tibadisana, melalui call yangmasuk ke
telepon genggamnya, Slamet diminta datang ke sebuah hotel mewah. Temannya
yang statusnya dipenjarakan itu sudah menunggu untuk breakfast di hotel mewah
tersebut.
Bayangkan, orang dijebloskan ke lapas ternyata masih bisa
berkeliaran dan menjamu pembesuknya di hotel mewah. Jadi benarlah, para koruptor
itu tak semuanya terlihat menderita, tetapi masih bisa berjalan- jalan dan
tersenyum lebar. Tetapi bagi saya, senyuman mereka itu tak lebih dari
senyuman iblis yang terkutuk. Bahkan, para pejabat dan pegawai yang
memfasilitas koruptor dengan kemewahan dan berkeliaran bisa juga digolongkan
iblis-iblis yang harus ditertibkan oleh pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar